Banyak cara yang dilakukan masyarakat untuk mengurangi ketegangan antar negara. Tahun 2010, dua orang
dosen seni Carnegie Mellon University, Jon Rubin dan Dawn Weleski
memperkenalkan Conflict Kitchen, restoran take-out dengan jendela kecil di 124
South Highland Avenue, East Liberty, Pittsburgh yang hanya menyajikan masakan
khas dari negara yang berseteru dengan Amerika Serikat. Tampilan restoran
dan menu makanan yang ditawarkan selalu berubah setiap empat bulan tergantung
pada negara yang saat itu berkonflik dengan Amerika. Sebagai contoh, ada sebuah
restoran milik warga Venezuela yang diberi nama La Cocina Arepas dan Bolani
Pazi.
Perubahan juga
dilakukan pada pembungkus makanan untuk membantu mendidik konsumen tentang
rincian konflik. Mereka memiliki kalender editorial yang pintar (meluncurkan
sebuah restoran pop-up baru setiap empat bulan) dan menggunakan setiap aspek
dari pengalaman (dari pembungkus, makanan datang hingga signage dan menu) untuk
meningkatkan konten guna membantu pelanggan mereka lebih memahami dunia.
Selama bertahun-tahun
Rubin dan Weleski telah memberikan berbagai wawancara, memberikan wawasan untuk
kepentingan dan tujuan mereka. Menurut Rubin, Conflict Kitchen memformat ulang
hubungan sosial yang sudah ada melalui pertukaran ekonomi dengan melibatkan
masyarakat umum dalam diskusi tentang negara, budaya dan orang-orang yang
merasa mengetahui sedikit tentang luar retorika polarisasi politik AS dan lensa
sempit headline media.
Dalam pandangan kedua dosen tersebut, konflik yang paling banyak menjadi kepedulian mereka adalah konflik Amerika dan Iran. Karena itulah, menu pertama kali yang muncul dalam resto mereka adalah masakan Iran yang disebut "Kubideh Kitchen" atau kubideh sandwich. Selama perang saudara di Afghanistan,
restoran ini menyajikan menu "Bolani Pazi" atau dingkat dengan
Bolani. Sejak pembukaan pada tahun 2010, restoran telah memperkenalkan masakan
dari Iran, Afghanistan, Kuba, Korea Utara, Venezuela, Palestina, dan yang
terbaru, Iroquois.
Pada Juni 2010,
Conflict Kitchen mengadakan acara makan bersama secara simultan di Pittsburgh
dan Teheran. Pengunjung restoran di kedua kota itu bergabung melalui webcam.
Masing-masing pengunjung makan makanan
yang sama - ayam rebus dengan delima dan kenari, sup daging sapi – dan
saling berbincang. Menurut Waleski,
makan makanan yang sama yang disediakan untuk setiap orang diawali dengan
pengalaman mereka melalui bau dan rasa makanan.
Dalam beberapa tahun
terakhir, gastrodiplomacy – bagaimana
negara-negara melakukan diplomasi budaya melalui promosi masakan mereka – menjadi
semakin popular sebagai strategi diplomasi publik dan membangun serta
meningkatkan nation brand. Dalam literature tentang diplomasi, diplomasi publik
adalah komunikasi kebijakan, budaya dan nilai-nilai ke publik asing, sementara
itu gastrodiplomacy adalah tindakan memenangkan hati dan pikiran public asing melalui
perut. Dengan kata lain, gastrodiplomacy menggunakan kelezatan kuliner suatu
negara sebagai sarana untuk melakukan diplomasi publik dan untuk meningkatkan brand
awareness sebuah negara.
Dalam menciptakan merek
bangsa yang lebih kuat melalui peningkatan kesadaran kuliner dan budaya,
gastrodiplomacy membantu meningkatkan soft power - kekuatan daya tarik.
Gastrodiplomacy adalah bentuk diplomasi publik yang menggabungkan diplomasi
budaya, diplomasi kuliner dan nation branding untuk membuat suatu budaya asing menjadi
nyata melalui penciptaan sensasi rasa dan sentuhan.
Sementara diplomasi
publik memberi perhatian pada budaya lokal untuk menemukan cara untuk berbagi
sesuatu yang asing; gastrodiplomacy memperkenalkan budaya melalui poin masuk
yang lebih akrab seperti rasa. Ini
menawarkan publik asing dengan cara di mana mereka bisa berinteraksi dengan
budaya yang berbeda melalui keramahtamaan yang tampil di restoran, atau bahkan di rumah. Gastrodiplomacy
membantu membiasakan orang asing - terutama untuk publik tertentu -- yang enggan untuk
bepergian. Melalui pengalaman kuliner mereka dibujuk seakan menemukan
bagian-bagian dari dunia lain.
Contoh lain dari
gastrodiplomacy adalah event makan bersama yang digagas menyusul serentetan
kekerasan terhadap mahasiswa India di Melbourne, Australia pada tahun 2010.
Saat itu, beberapa anggota masyarakat sipil Australia berusaha mengurangi
konflik dengan melakukan diplomasi kuliner sebagai sarana untuk menjembatani
kesenjangan diantara masyarakat (Rana, 2011). Beberapa organisasi seperti the
Uniting Church di Melbourne menyelenggarakan makan malam bulanan bagi mahasiswa India. Disitu mereka membahas
ketidakamanan dan kesulitan hidup di Australia sebagai sarana untuk membantu
mereka merasa lebih diterima, dan sebagai salah satu jalan untuk melakukan
dialog lintas budaya.
Acara yang menggunakan
tema 'Vindaloo against Violence' ini muncul di Facebook dan menjadi viral
begitu lebih dari 17 000 orang mendaftar untuk ambil bagian dalam kampanye perdamaian
melalui makan malam di restoran India di
Melbourne tersebut. Vindaloo melawan Kekerasan berusaha menggunakan masakan
India dan restoran sebagai titik fokus untuk membawa masyarakat India-Australia
dan lebih luas lagi ke meja yang sama untuk meningkatkan pengetahuan budaya guna
menghilangkan kekhawatiran masyarakat
India dari permusuhan dan isolasi (Alhinnawi, 2011).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar