Judul Buku : Digital Mastery: Membangun
Kepemimpinan Digital untuk Memenangkan Era Disrupsi
Penulis : Priyantono Rudini dan Mardi
FN Sinaga
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama, 2017
Tebal Buku : 220 Halaman termasuk sampul
Ketika saya ditawari oleh menulis review tentang buku Digital Mastery karya Priyantono Rudito
dan Mardi FN Sinaga ini saya langsung tertarik. Dari judulnya, saya tahu buku
itu tentu akan membahas tentang disrupsi atau gangguan industri yang belakangan
ini banyak dibicarakan orang.
Namun
demikian, ada yang mengusik rasa keingintahuan saya tentang bagaimana
pengalaman perusahaan-perusahaan besar di Indonesia menghadapi perubahan
disrupsi tadi.
Hal lain adalah karena saya “kenal” penulisnya sebagai
sesesorang yang sangat lekat dengan modal manusia. Karenanya saya makin
penasaran untuk mengetahui perspektif penulis buku ini dari sisi faktor manusia
dalam menghadapi perubahan yang mengggangu.
Dalam diskusi kelas integrated
marketing communication di kelas postgraduate program STIKOM LSPR Jakarta
beberapa hari lalu, beberapa mahasiswa sempat menyinggung soal lebih sulitnya
perusahaan besar berdaptasi terhadap perubahan ketimbang perusahaan yang lebih
kecil.
Perusahaan kecil jauh lebih lincah ketimbang perusahaan besar sehingga
peluang untuk “gagal” bisa terjadi lebih awal ketimbang perusahaan kecil.
Kebetulan penulis buku ini terlibat dalam langsung dalam pengelolaan modal
manusia sebuah perusahaan BUMN.
Dalam 20 tahun terakhir, ada satu kata yang paling
“ditakuti” para eksekutif atau pengusaha mapan, disruptive. Tak peduli, perusahaan di industri apapun, yang
bergerak cepat atau lambat saat ini terganggu perubahan pasar dan teknologi.
Banyak perusahaan yang gagal menghadapi perubahan tersebut. Tak peduli
perusahaan yang bagus atau jelek, yang inovatif ataupun tidak.
Kata disruption
atau disruptive kini menjadi kata
kunci bisnis yang mudah dijumpai. Segala sesuatu dan semua orang tampaknya
mengkarakteristikkan kegiatan dan gagasannya sebagai disruptive. Atau jika
mereka tidak masuk dalam disruptive, mereka berharap bahwa hanya persoalan
waktu saja yang membawa mereka pada sesuatu yang disruptive.
Tepat 20 tahun lalu, profesor dari Harvard Business School, Clayton
Christensen, menulis buku The innovator’s
dilemma : when new technologies cause great firms to fail. Butuh waktu
hampir 15 tahun bagi Clay untuk dinobatkan sebagai pemikir manajemen bisnis paling
berpengaruh di dunia pada tahun 2011 dan 2013. Selama itu pula orang masih
belum sadar benar adanya ancaman nyata di depan mata mereka.
Orang baru benar-benar sadar ketika muncul Uber, GoJek,
AirBnB, dan sebagainya. Orang baru sadar ketika banyak perusahaan retail yang
tutup menjadi korban dari perubahan. Sejatinya, bisnis Uber, GoJek dan sebagainya
bukanlah baru.
Bisnis itu sudah ada sejak puluhan tahun silam. Namun yang
membedakan saat ini adalah tingkat pengetahuan dan kesibukan, kebutuhan dan taste serta tuntutan orang yang berubah.
Perubahan itu makin dipercepat dengan berkembangnya teknologi digital.
Perusahaan-perusahaan tersebut – setidaknya hingga saat ini -- berhasil
memanfaatkan perubahan tersebut.
Ketika Clay menulis buku itu, ada pertanyaan kunci yang
diajukan untuk dicari jawabannya, kenapa perusahaan bagus pun bisa menjadi
korban perubahan. Kenapa perusahaan yang dikelola dengan baik yang memiliki
antena kompetitif, mendengarkan dengan cerdik pelanggan mereka, berinvestasi
secara agresif dalam teknologi baru, namun masih kehilangan dominasi pasar.
Sears Roebuck, misalnya, selama bertahun-tahun dianggap
sebagai salah satu pengecer paling cerdas di dunia. Pada puncaknya Sears
menyumbang lebih dari 2 persen dari seluruh penjualan eceran di Amerika
Serikat.
Tak kalah pentingnya, perusahaan itu yang mempelopori beberapa inovasi yang penting
bagi kesuksesan pengecer yang paling dikagumi saat ini: misalnya, manajemen
rantai pasokan, merek toko, katalog, dan penjualan kartu kredit. Namun,
perusahaan itu terpaksa tutup.
Joshua Gans, profesor manajemen strategis di Universitas
Toronto Rotman School of Management, setuju bahwa manajer harus waspada
terhadap ancaman disruptive dan
guncangan yang membuat orang keluar dari zona kenyamanan mereka.
Tapi dia
mengingatkan bahwa pendulum telah berayun terlalu jauh: banyak orang yang
"melihat disruptive di mana-mana
dan digunakan untuk membenarkan keputusan manajerial yang berisiko dan tidak –
yang pada akhirnya -- untuk kepentingan mereka.
"Ini sangat bagus untuk menantang keyakinan Anda," tulisnya
dalam The Disruptive Dilemma,
"tapi itu tidak berarti Anda harus terus menganggapnya tidak ada".
Gans mengajak orang untuk fokus pada disruptive yang
digunakan dalam istilah bisnis, yakni
dengan mengidentifikasi cara-cara baru untuk memahami hal itu dan menyarankan
alat-alat baru untuk mengelola perubahan itu. Gagasan yang muncul setelah
hampir dua puluh tahun yang lalu Clayton Christensen mempopulerkan istilah
disruptive dalam bukunya The Innovator's Dilemma dengan menulis bahwa
disruptive merupakan seperangkat risiko yang dihadapi perusahaan.
Dalam buku Digital Mastery ini, Priyantono Rudito dan Mardi
FN Sinaga menulis, ada kesamaan di balik gelombang disrupsi industri tersebut,
yakni teknologi digital. Teknologi ini telah mengubah pengalaman konsumen,
mengubah proses perusahaan dan memaksa perusahaan untuk menemukan kembali model
bisnisnya. Perubahan konsumen itulah yang membuat sesuatu yang dulu penting dan
dibanggakan perusahaan menjadi kurang relevan bagi konsumen.
Dalam situasi demikian, perusahaan memiliki dua pilihan,
melakukan sesuatu atau tidak. Yang pasti bila perusahan tidak berubah dan
menemukan kembali model bisnisnya mereka akan ditinggalkan kosumennya.
Sebaliknya, kalau perusahaan memilih yang kedua, apa yang harus mereka lakukan?
Sesuai dengan tesis awal buku ini mengajukan alternatif agar perusahaan tidak
tergerus profitabilitasnya, perusahaan melakukan transformasi digital.
Dakam konteks itu, perusahaan harus berinvestasi digital,
mengadopsi teknologi digital dan mengimplementasikannya, mentransformasi model
bisnis dan menawarkan value segar dan – setidaknya – baru. Segar dan baru
disini bisa jadi barangnya tidak baru tapi konsumen mendapatkan pengalaman baru
akibat perubahan proses yang dideliver oleh perusahaan.
Kenapa saya katakan prosesnya? Ambil contoh
Netflix. Barang yang ditawarkannya bukanlah baru, tapi proses pendeliveran
produknya yang baru membuat pengalaman konsumen berubah total. Lagi-lagi ini
dimeungkinkan karena teknologi digital.
Jadi seperti yang ditulis di buku ini, aplikasi teknologi
digital ditujukan untuk mendongkrak kinerja bisnis dan keuangan perusahaan. Itu
yang dilakukan Amazon atau Google. Dari perspektif inilah kompetensi Rudito
sebagai orang yang sangat memperhatikan faktor manusia di dalam perusahaan
masuk. Sebab secanggih apapun teknologi, kalau dijaankan oleh manusia yang
tidak tepat dan kompeten bisa dipasikan akan menemui kegagalan.
Rudito menguji gagasan itu melalui penelitian dengan
menjadikan perusahaan tempat penulis bekerja sebagai obyeknya. Melalui
serangkaian penyebaran kuesioner kepada ratusan responden dan diskusi kelompok
berfokus pada belasan eksekutif perusahaan, sampailah penulis pada kesimpulan
bahwa untuk menjadi digital mastery, yang dibutuhkan adalah digital capability (kemampuan
digital) dan digital leadership capability (kemampuan kepemimpinan digital).
Kemampuan digital merujuk pada kemampuan perusahaan dalam
menerapkan teknologi digital untuk meningkatkan daya saing. Sedangkan kemampuan
kepemimpinan menyangkut kemampuan mengarahkan dan menggerakkan perubahan. Untuk
meningkatkan daya saing melalui kemampuan kemampuan digital dapat dilakukan
dengan tiga cara; memperkayak pengalaman konsumen, menntransformasi proses
operasi dan menemukan kembali model bisnis.
Transformasi digital menuntut adanya kepemimpinan yang memiliki
visi; mampu melibatkan seluruh karyawan di semua level organisasi; tata kelola
transformasi yang solid dengan menyelaraskan sistem, proses, data, teknologi
dan karyawan agar bergerak dalam satu arah menuju visi; dan kemampuan untuk
mewujudkan hubungan harmonis-sinergis antara orang teknik (IT) dan orang bisnis
sehingga transformasi benar-benar menghasilkan nilai bisnis.
Buku ini sangat berharga bagi mereka yang ingin mendalami
masalah modal manusia, terutama dalam konteks perubahan mengganggu yang akhir-akhir
ini seakan-akan jadi sesuatu yang mengkhawatirkan. Meski harus diakui bahwa
untuk mengaplikasikan temuan ini butuh penyesuaian-penyesuaian karena
bagaimanapun lingkungan dan kebutuhan masing-masing perusahaan tentu berbeda.
Namun demikian, ada satu hal yang penting dari buku ini, yakni bagaimana pun
perubahannya, faktor manusia menjadi sangat penting.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar