Dalam 150 tahun sejarahnya, Nokia telah berkali-kali melakukan
perubahan. Dimulai sebagai pabrik kertas di Finlandia pada tahun 1865 dan
kemudian pindah ke industri lain dan negara lainnya, badai perubahan telah
menciptakan ancaman sekaligus peluang bagi Nokia. Nokia belum memantapkan
dirinya sebagai perusahaan yang memproduksi peralatan jaringan dan telepon sampai
tahun 1980an, ketika teknologi mobile lepas landas.
Pada tahun 2007, perusahaan ini merupakan pemain dominan di bisnis
ponsel, dengan pangsa pasar global 40% berkat teknologi yang unggul dan
keuntungan skala yang sangat besar. Namun bagaimanapun, hanya dalam waktu lima
tahun kemudian, Nokia mengalami krisis yang parah: kapitalisasi pasarnya turun
96%. Perusahaan itu seakan membakar uang tunai, dan kerugian operasional lebih
dari $ 2 miliar dalam enam bulan pertama tahun 2012 saja.
Sebagai tanggapan, Nokia melakukan perubahan yang dramatis. Pertanyaan
strategis besar yang pertama adalah nasib bisnis telepon seluler. Dalam perang
ekosistem mobile, iOS Apple dan Android Google dengan cepat menangkap pasar
yang lebih besar dan makin membesar, dan mulai memberikan sinyal-sinyal yang
menunjukkan bahwa strategi pengembangan ponsel dengan basis Windows tidak
mungkin mampu menyelamatkan perusahaan. Sebagai gantinya, Nokia memutuskan
untuk menjual bisnis telepon selulernya ke Microsoft. Divestasi tersebut merupakan
bagian dari kesepakatan senilai $ 7,2 miliar pada bulan September 2013.
Setelah divestasi, Nokia memiliki tiga portofolio bisnis
yang sangat berbeda: infrastruktur jaringan, layanan pemetaan, dan lisensi
teknologi dan paten. Hal ini membawa perusahaan ke keputusan strategis besar
berikutnya: Haruskah Nokia mengembangkan dirinya sebagai perusahaan portofolio,
atau haruskah ia memfokuskan kegiatannya?
Fenomena diatas menggambarkan perusahaan atau organisasi selalu menghadapi tantangan besar untuk bisa mengelola perubahan baik internal maupun eksternal secara efektif. Agar bisa bertahan di tengah arus perubahan lingkungan yang semakin dinamis, perusahaan atau organisasi harus terus-menerus melakukan perubahan strategi, struktur, proses, budaya dan melakukan adaptasi secara cepat. Bila perusahaan atau organisasi tidak mampu melakukan perubahan, mereka sulit bertahan atau berkembang.
Perdebatan soal daya beli yang muncul masyarakat dalam beberapa pekan terakhir masih meninggalkan sisa. Pesan yang ingin disampaikan adalah bahwa bisnis saat ini memang telah berubah. Ambil saja pernyataan bahwa daya beli masyarakat turun, hal itu memaksa perusahaan untuk beradaptasi dengan perubahan itu. Demikian pula bila pernyataan banwa dewasa ini ada pergeseran pola belanja masyarakat benar. Konsekuensinya adalah perusahaan harus beradaptasi dengan perubahan itu.
Bedanya, bila perubahan yang terjadi adalah karena
penurunan daya beli, sifat perubahan itu itu sementara. Ini kaena bisa saja
dalam beberapa bulan mendatang daya beli masyarakat naik. Kalau perubahan itu
karena pergeseran cara belanja misalnya, maka perubahan itu bersifat sustain. Artinya,
kalau sekarang orang senang berbelanja online atau mengkonsumsi media online
dan meninggalkan media konvensioanl seperti cetak, maka perubahan itu bisa
dipastikan permanen. Dalam waktu yang lama, orang sulit kembali ke media cetak.
Karena itulah para pemilik perusahaan mungkin cukup arif dalam
mensikapi perubahan ini. Dalam beberapa hari ini, ada kabar sebuah perusahaan
hipermarket kesulitan membayar utangnya kepada pemasok. Alasannya bisnis sedang
lesu. Pertanyaannya adalah apakah kelesuan itu karena pergeseran pola belanja
konsumen atau karena penurunan daya beli? Sekali lagi saya katakan, kalau
kelesuan karena penurunan daya beli ada harapan situasi akan berbalik kea rah yang
positif saat daya beli meningkat. Akan tetapi, bila kelesuan karena pergeseran
pola belanja, saya tidak akan bila kondisinya akan bisa berbalik bila
perusahaan tidak melakukan perubahan menyeluruh termasuk model bisnisnya.
Banyak kasus perusahaan yang tutup karena perubahan yang orang menyebutnya sebagai disruptive ini karena mereka merasa nyaman dan enggan untuk berubah. Anda mungkin membayangkan bahwa orang akan berubah bila
berada dalam kondisi tertekan. Namun banyak kasus menunjukkan bahwa ketika
orang tertekan yang terjadi orang semakin pasif (Coleman, 1994). Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa orang akan berubah ketika sadar bahwa pengelola
perusahaan sebenarnya berada kondisi yang berbeda dengan perusahaan lain dan
dia sebenarnya bisa seperti perusahaan orang lain yang saat ini kinerjanya
bagus bila melakukan perubahan. Persoalannya, seringkali rencana perubahan tidak berjalan mulus. Yang terjadi, seringkali muncul penolakan atas rencana perubahan itu.
Lalu bagaimana caranya? Disinilah peran penting komunikasi.
Komunikasi seperti apa? Bertentangan dengan kebanyakan studi, Goodman dan Truss
(2004) menemukan bahwa dalam mendorong orang untuk berubah, bukan tergantung
pada banyaknya informasi yang diberikan kepada mereka. Sebab menurut penelitian
Goodman dan Truss tersebut, tidak terdapat banyak perbedaan antara mereka yang
telah menerima banyak informasi dan mereka yang tidak.
Penelitian tersebut menunjukkan bahwa meskipun sudah
menerapkan sebuah rencana strategi komunikasi terbaik, namun dalam beberapa
kasus masih terdapat karyawan yang merasa belum menerima informasi yang cukup
pada waktu yang tepat dan sesuai dengan yang diharapkan. Oleh karena itu,
memastikan strategi komunikasi perubahan yang tepat disesuaikan dengan jenis
perubahan adalah sangat penting.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar