Tanggal 20 Oktober 1990, saat eskalasi krisis Teluk Persia meningkat, seorang gadis Kuwait belasan tahun, Nayirah, memberikan kesaksian di depan _Congressional Human Rights Caucus_.
Di forum bergengsi dan terbatas itu dia pernah melihat tentara Irak mengeluarkan ratusan bayi Kuwait dari inkubator dan membiarkannya mereka mati di lantai rumah sakit (MacArthur, 1992).
Cerita itu membuat wartawan bersemnagat untuk memburu informasi dimana kira-kira posisi Nayirah saat dia menyaksikan kekejaman itu dan meminta konfirmasinya untuk membuat cerita (baca berita) makin kuat dan eksklusif.
Pimpinan komite dalam Senat menegaskan bahwa mereka sengaja merahasiakan identitas saksi tersebut karena alasan keamanan dan melindungi keluarganya di Kuwait yang saat itu jatuh ke tangan Irak. https://www.youtube.com/watch?v=LmfVs3WaE9Y
Nayirah al-Sabah sendiri mengaku berada di Kuwait saat pasukan Irak menyerbu negara kecil tapi kaya itu. Meskipun hidupnya dalam bahaya sebagai anggota keluarga kerajaan, secara sukarela dengan nama samaran dia bekerja di Rumah Sakit Al-Adan.
Kedutaan Besar Amerika Serikat di Kuwait City juga memeri penegasan bahwa saat itu Nayirah memang berada di sana. Karena itu para wartawan merasa tidak punya alasan untuk mempertanyakan kebenaran kisahnya ketika dia bersaksi menyusul pelariannya dari Kuwait. http://www.nytimes.com/1992/01/17/opinion/l-pr-firm-had-no-reason-to-question-kuwaiti-s-testimony-879692.html
Testimoni Nayirah menjadi pembicaraan publik. Bahkan Presiden George Bush mengutip cerita tentang kejadian di rumah sakit Kuwait itu sebanyak enam kali. Tujuh senator mengutip cerita itu sebagai alasan untuk melakukan pemungutan suara untuk memberi kekuasaan penuh kepada Bush atas Perang Teluk.
Setelah mendengar testimoni Nayirah, para anggota Senat AS terusik dan prihatin atas kekejaman yang dilakukan tentara Irak itu. Kekejaman tentara Irak itu disamakan dengan kekejaman Nazi.
Kurang dari tiga bulan kemudian Amerika Serikat menyerang Irak. Mereka berhasil mengusir tentara Irak dari Kuwait yang saat itu nyaris tanpa perlawanan berarti dari tentara Irak.
Setelah pembebasan Kuwait oleh tentara AS, seorang reporter televise ABC mewawancarai para dokter rumah sakit yang tinggal di Kuwait saat Irak menduduki negara itu.
Dia mendapati bahwa cerita yang disampaikan remaja bernama Nayirah itu tidak benar. Investigasi lanjutan menunjukkan bahwa tanpa diketahui sebagian besar anggota caucus senat, gadis Kuwait berusia 15 tahun itu adalah putri Duta Besar Kuwait untuk Amerika Serikat.
New York Times juga menulisnya di kolom opini redaksi. Tulisan itu kemudian diikuti oleh berita-berita di program televisi "60 Minutes" dan "20-20" yang menyebutkan hal sama tentang remaja putri 15 tahun itu.
Beberapa anggota kongres yang ikut dalam komite akhirnya mengetahui identitas sebenarnya dari saksi gadis remaja itu. Nayirah ternuata memiliki hubungan dekat dengan _Hill and Knowltown_ (H&K), perusahaan konsultan public relations (PR) yang disewa oleh _Citizens for a Free Kuwait_, sebuah organisasi yang didanai oleh pemerintah Kuwait dalam pengasingan yang melobi kongres untuk intervensi militer AS.
Dalam sebuah buku tentang Robert Keith Cray, vice president yang kemudian menjadi CEO H&K di Washington, DC, penulis lepas Susan Trento melaporkan bahwa Hill and Knowlton yang mengatur acara dengar pendapat di Kongres tersebut.
Mereka melatih Nayirah yang memberikan kesaksian dalam sidang tersebut, melatih peserta sidang, menuliskan narasi kesaksian yang harus dihafalkan Nayirah, membuat rekaman video yang merinci dugaan kekejaman tersebut dan memastikan bahwa ruangan tempat Nayirah memberi kesaksian itu penuh dengan wartawan dan kamera televisi (Trento, 1992).
H&K dikabarkan menerima dana sebesar $10,7 juta dari Citizens for a Free Kuwait. Dengan uang itu, H&K - antara lain - mengadakan konferensi pers dengan menghadirkan seorang pejuang kebebasan Kuwait, Hari Doa Nasional (National Prayer Day) untuk para prajurit Kuwait dan Amerika Serikat dan aksi demonstrasi "Free Kuwait" di 21 kampus.
Dana itu juga digunakan untuk mempromosikan tur keliling kesenian Islam, menghasilkan iklan dan siaran pers video, mengatur makan siang dengan wartawan dan menghabiskan lebih dari $ 1 juta untuk pooling di kalangan orang Amerika tentang pendudukan tentara Irak di Kuwait dan opsi pengiriman pasukan AS ke Kuwait (Trento, 1992).
Investigasi wartawan kemudian menemukan bahwa Vice president itu sebelumnya diketahui pernah membela hak azasi manusia di Turki, yang dikritik karena memenjarakan orang tanpa proses yang sesuai dan menyiksa serta membunuh mereka. H&K juga pernah melobi pemerintah Indonesia, yang sejak tahun 1975 – menurut versi vice president itu, telah membunuh lebih dari 100 ribu orang di Timor Timur. http://www.nytimes.com/1992/01/15/opinion/deception-on-capitol-hill.html
Peristiwa itu memunculkan pertanyaan apakah kegiatan ekstensif dan mahal yang dilakukan perusahaan konsultan PR itu yang membuat Amerika Serikat berperang? Jawabannya sebagian orang mungkin mengatakan tidak.
Seperti yang Trento katakan, upaya H&K yang berhasil di Perserikatan Bangsa-Bangsa, Kongres dan media karena dalam setiap kasus, ada audiences yang menerima atau setuju. Para diplomat, anggota kongres, dan senator menginginkan sesuatu untuk mendukung posisi mereka. Di sisi lain, media menginginkan cerita visual yang menarik.
Namun demikian harus diakui bahwa kampanye Hill and Knowlton itulah yang mungkin mendorong pengambil keputusan dan opini publik untuk bergerak ke arah yang telah mereka tuju.
Meskipun perang mungkin saja terjadi tanpa adanya kampanye oleh H&K, muncul pertanyaan apakah kampanye semacam itu etis.
Seperti Trento (1992) catat, pada akhirnya, pertanyaannya bukan etis tidaknya H&K yang berhasil mengubah opini publik secara efektif tersebut, tapi juga apakah usaha gabungan dari pemerintah, kepentingan asing, perusahaan swasta PR di Amerika Serikat sendiri, kepentingan luar negeri, dan kampanye berbentuk lobi harus menenggelamkan perdebatan rasional tentang etika terhadap praktik yang tidak biasa?
Idealnya, ketika dipraktekkan secara etis dan bertanggung jawab, public relations menjadi fungsi komunikasi yang sangat penting bagi organisasi, bangsa dan bahkan dunia, dalam membantu mengembangkan pemahaman di antara kelompok-kelompok dan pada akhirnya mengurangi konflik. Sebaliknya, bila dipraktekkan secara tidak etis dan tidak bertanggung jawab, bagaimanapun, praktek seperti bisa dianggap sebagai manipulasi dan penipuan.
Grunig dan Hunt (1984) mengidentifikasi empat model PR atau empat cara khas organisasi mempraktikkan PR. Model ini adalah: 1. model press agentry, 2. model informasi publik, 3. model asimetris dua arah, dan 4. model simetris dua arah. Berbeda dengan pandangan lapangan yang populer, teoretikus humas menekankan pentingnya tanggung jawab sosial dan etika dalam hubungan masyarakat.
Teori PR digunakan untuk menganalisa beberapa kasus hubungan masyarakat internasional. Efek dan etika dari kampanye internasional ini dianalisis dan direkomendasikan agar bagaimana cara PR internasional dapat berkontribusi pada diplomasi global tanpa menyamarkan atau merusak proses tersebut (Gorsevski, 2004).
Diakui atau tidak, peran humas (PR) dan propaganda paling sering dipandang sebagai bagian integral dari pembuatan perang atau perdamaian. Carl Jacobsen misalnya mencatat bahwa pendekatan kajian PR dalam kasus Perang Teluk misalnya, membuat kampanye PR yang dilakukan dua firma terkemuka Wall Street, Hill and Knowlton (dan Ruder Finn?) membagun sinisme publik.
Orang mungkin mengasosiasikan PR sebagai bagian dari kepentingan perang dan menghasilkan uang kotor sehingga anggota gerakan perdamaian cenderung menghindar dari upaya menciptakan citra media yang apik yang seharusnya diperankan oleh PR (Jacobson, 2000).
Padahal, public relations dan propaganda bisa menjadi bagian penting dari gerakan perdamaian dan keadilan. Gandhi, misalnya, berhasil menunjukkan bahwa perjuangan membangun perdamaian dan keadilan dapat dilakukan tanpa kekerasan.
Gandhi menuliskan seruannya untuk melakukan pembangkangan pembangkangan sipil tanpa kekerasan di koran-koran guna mengusir penjajah Inggris dari India. Artinya, apa yang diinginkan Gandhi dan media bisa tercapai tanpa harus dilakukan dengan atau menimbulkan kekerasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar