Tanggal 27 November
2013 pusat data Target, pusat perbelanjaan terbesar nomor dua di AS dibobol
hacker. Petugas Target menemukan pembobolan itu dan menginformasikannya kepada
Departemen Kehakiman AS pada tanggal 13 Desember. Pada 15 Desember, Target
menggunakan tim forensik pihak ketiga dan serangan tersebut berhasil dikurangi.
Pada tanggal 18
Desember, blogger yang biasa menulis tentang keamanan data, Brian Krebs,
menuliskan cerita tentang pembobolan itu dan di posting blognya. "Raksasa
ritel nasional Target sedang dalam penyelidikan atas pelanggaran data yang
berpotensi melibatkan jutaan catatan kredit dan kartu debit pelanggan,"
kata Krebs. "Sumber tersebut mengatakan bahwa pelanggaran tersebut
tampaknya telah dimulai pada atau sekitar hari Jumat hitam 2013 yang sejauh ini
merupakan hari belanja paling sibuk di tahun ini."
Kasus itu menjadi jauh
lebih menarik perhatian publik karena pengumuman Target yang menyebutkan
terdapat sekitar 110 juta pembeli dengan kartu kredit / debit, yang melakukan
pembelian di salah satu cabang Target selama serangan tersebut yang diambil
pembobol data. Dalam ukuran memori, data yang dicuri tersebut mencapai 11
gigabyte data. Itu berarti ratusan jutaan informasi pribadi dan finansial
mereka telah disusupi.
Mungkin Anda berpikir,
dalam penanganan krisis, perusahaan besar lebih pintar. Tidak juga, karena
berdasarkan pengalaman penulis buku ini bekerja di perusahaan dengan beragam
ukuran selama bertahun-tahun, perusahaan besar tidak selalu melakukan hal-hal
yang lebih baik daripada perusahaan yang lebih kecil. Bahkan, untuk alasan
organisasi dan inersia budaya, perusahaan besar terkadang melakukan hal-hal
yang jauh lebih buruk.
Beberapa bukti
mendukung itu. Lihat saja krisis yang dialami perusahaan-perusahaan dengan nama
besar yang terjadi beberapa waktu lalu. Krisis telah mendominasi berita selama
beberapa tahun terakhir: tumpahan minyak BP, saringan emisi diesel Volkswagen,
Toyota yang tiba-tiba, saklar pengapian GM, dan pelanggaran data yang dilakukan
Target. Krisis-krisis tersebut memiliki kesamaan, yakni tanggapan awal oleh
organisasi yang mengerikan. Respon yang meraba-raba itu seperti menuangkan
bensin ke api. Ini memberi nyala api kemarahan publik, membiarkan panas di
sekitar kejadian dan naik ke tingkat yang tidak terkendali.
Respon krisis organisasi
melibatkan respons komunikasi public, yakni memastikan masyarakat umum, media,
karyawan dan pemangku kepentingan lainnya memahami tentang (1) apa yang telah
terjadi, dan (2) apa yang Anda lakukan mengenai hal itu. Krisis cenderung
menciptakan gejolak dan bergema lama setelah drama awal. Ledakan sebuah pabrik
misalnya hari ini sedang dilakukan penyelidikan pemerintah, besok muncul
gugatan class class, dan seterusnya. Dalam kasus ini, sebuah respons yang
efektif dapat mengurangi perbedaan antara krisis yang dikelola dan yang
mengelola Anda.
Dalam buku Chief Crisis Officer: Structure and
Leadership for Effective Communications Response, James F. (Jim) Haggerty
menjelaskan secara mendalam tentang alasan setiap perusahaan dan organisasi
perlu mengidentifikasi Chief Crisis Officer. Sebagai antisipasi, memiliki
seseorang yang mempunyai kewenangan penuh, memimpin dalam mempersiapkan
organisasi untuk respons komunikasi krisis, dan merespons secara efektif kapan
krisis yang tak terelakkan terjadi, sangatlah penting. Dengan menggunakan
beragam contoh, strategi, dan taktik yang sering terjadi dalam kehidupan nyata,
buku ini membantu memecah berbagai bentuk krisis menjadi bagian-bagian komponen
dan memberikan strategi yang penting.
Lalu apa yang bisa
dilakukan perusahaan dan Chief Crisis Officer-nya? Langkah pertama adalah
belajar. Pelajari cara-cara di mana organisasi Anda rentan melakukan hal-hal
dengan cara yang salah. Pelajari bahwa ada cara yang lebih baik untuk melakukan
sesuatu: strategi yang dapat meminimalkan kemungkinan krisis akan lepas
kendali. Belajarlah untuk
Response terhadap
krisis merupakan tindakan yang vital. Dalam konteks ini, waktu menjadi sangat
berharga dan menentukan. Mengapa elemen waktu kritis? Karena di hampir semua
kasus, bukan krisis tapi respon pada tahap awal yang menentukan apakah kejadian
tersebut akan menyebabkan kerusakan jangka panjang pada perusahaan dan
reputasinya atau tidak. Secara khusus, tanpa kontrol atas situasi krisis (entah
nyata atau virtual) dan tanpa arus informasi yang tepat untuk menginformasikan
tanggapan yang terkoordinasi, seorang pimpinan menciptakan atmosfir yang
memungkinkan terjadinya krisis. Oleh karena itu, momen awal kunci tersebut
menentukan apakah terjadi pukulan krisis, atau ledakan awal krisis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar