Buku Protest Inc.: The Corporatization of Activism tulisan Peter Dauvergne and Genevieve LeBaron ini mengungkap kerjasama antara Non-Gonernment Organization dan perusahaan multinasional.
Ibarat kata, aksi protes massa sudah menjadi makanan sehari-hari sejak 1998. Bahkan protes telah berkecamuk sejak krisis keuangan global tahun 2008. Di seluruh dunia, para siswa dan pekerja dan pemerhati lingkungan turun ke jalan. Ketidakpuasan mencuat, termasuk di negara-negara terkaya sekalipun, seperti aksi protes yang gaungnya mendunia, Occupy Wall Street, tahun 2011.
Pada awal tahun 1970an, Greenpeace adalah kelompok kecil pemerhati
lingkungan yang ada di British Columbia Kanada. Sekarang markas besar
Greenpeace di Amsterdam mengelola merek yang nilainya ditaksir mencapai jutaan
dolar, dengan sejumlah cabang di seluruh dunia, ribuan karyawan, dan jutaan
pendukung keuangan.
Sejarah Greenpeace adalah salah satu tantangan keberanian
dan keberanian. Organisasi Non-Pemerintah (LSM) tersebut telah lama memprotes
konsumsi yang tidak berkelanjutan dan konsumsi yang boros. Tapi seperti setiap
LSM multinasional, Greenpeace mendapat tekanan besar agar bisa mendapatkan hasil
jangka pendek, yakni mengumpulkan dana yang dibutuhkan untuk membayar staf dan
keuangan proyek kegiatan yang sedang dikembangkan.
Pada tahun 2011 salah satu 'kemenangan' Greenpeace yang
besar adalah keberhasilannya meyakinkan produsen boneka Barbie Mattel untuk
menghapus kayu hutan hujan ilegal dari kemasan kotak kardusnya. Kampanye ini
pasti memiliki kelebihan, dan Greenpeace mungkin menganggapnya sebagai sebuah
kemenangan. Tetapi tidak. Memuji Mattel dan menyebut ini sebuah kemenangan memang
dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap merek Greenpeace, namun juga
melegitimasi perdagangan dan konsumsi yang telah lama ditentang oleh
Greenpeace, dan yang merupakan akar pola pertumbuhan dan perkembangan yang
tidak berkelanjutan.
Semua LSM ingin mendapatkan kepercayaan publik, dan dalam
beberapa tahun terakhir mereka berhasil dengan baik. Pada tahun 2014 Edelman
Trust Barometer – selama tujuh tahun berturut-turut menempatkan LSM sebagai
institusi paling terpercaya di dunia. Mereka telah berada di puncak di atas
kelompok bisnis, media, dan pemerintah.
Merek terpercaya seperti Amnesty International dan WWF
sekarang sejajar dengan Coke, McDonald's, dan Nike. Seperti yang ditunjukkan
Nathalie Laidler-Kylander, John Quelch, dan Bernard Simonin, dalam dekade
terakhir, Amnesty International dan WWF tetap berada di antara lima merek
paling terpercaya di Eropa, dengan Amnesty di urutan 1 di tahun 2004,
mengalahkan Microsoft dan Michelin. Tahun itu Amnesty berada di peringkat 13 di
Amerika Serikat, tepat di belakang merek perusahaan seperti UPS, Proctor &
Gamble, dan Johnson & Johnson.
Nilai merek beberapa LSM bahkan menyaingi bisnis yang menjadi ikon keberhasilan perusahaan.
Pada tahun 2001 Interbrand telah memperkirakan bahwa nilai merek Habitat for
Humanity adalah US $ 1,8 miliar - yang pada saat itu membuatnya setara dengan
Starbucks. Dalam kata-kata bekas direktur komunikasi Greenpeace Jonathan
Wootliff dan eksekutif humas Christopher Deri, LSM telah menjadi "Merek
Super Baru." Karena itu dimaklumi bila perusahaan sangat ingin untuk
bermitra dengan mereka. Dengan melakukan hal itu biaya mereka relatif sedikit,
namun pengembaliannya bisa sangat besar. Ini meningkatkan reputasi mereka untuk
tanggung jawab sosial, mengalihkan kritik mereka, dan membantu mengiklankan
produk mereka.
Di sisi lain, banyak LSM yang juga tertarik untuk bermitra
dengan perusahaan multinasional. Beberapa hanya menginginkan lebih banyak uang
untuk membayar staf dan menjalankan proyek yang lebih besar. Tapi kebanyakan
masuk dalam permainan bermitra agar bisa mengakses corporate boardrooms.
"Kami bisa menghabiskan 50 tahun melobi 75 pemerintah nasional," kata
mantan presiden WWF Canada kepada wartawan Simon Houpt pada tahun 2011,
"atau orang-orang ini di Coke misalnya dapat mengambil keputusan ... dan
keseluruhan rantai pasokan global berubah dalam semalam. Dan itu singkatnya,
mengapa kita melakukan kemitraan. "
Protest Inc.: The Corporatization of Activism
Peter Dauvergne and Genevieve LeBaron
Penerbit: Polity Press, 2014
Protest Inc: The
Corporatization of Activism mengungkap gambaran yang sangat berbeda tentang
aktivisme global. Seiring berkumpulnya jutaan aktivis akar rumput melawan
kapitalisme, justru aktivis secara lebih luas tindakannya semakin mencerminkan
manajemen bisnis dan menggemakan seruan untuk solusi berbasis pasar.
Selama dasawarsa yang lalu, publik menyaksikan beberapa
bahkan banyak organisasi non-pemerintah yang bermitra dengan perusahaan minyak
seperti ExxonMobil, raksasa pengecer diskon seperti Walmart, raksasa rantai
makanan cepat saji seperti McDonald's, dan produsen merek seperti Nike dan
Coca-Cola. LSM menghendaki miliarder menjadi dermawan, menjadi pelopor atau
pendorong kesejahteraan, dan mengubah paradigmnya dalam memandang konsumen
sebagai wellsprings reformasi.
Selama dua dekade terakhir, menurut penulis buku ini, organisasi aktivis semakin
terlihat, berpikir, dan bertindak seperti korporasi. Anda mungkin menganggap
klaim ini mengecewakan. Namun, kita melangkah lebih jauh lagi, dengan alasan
bahwa korporatisasi aktivisme memperdalam dan mempercepat semua penyebab dan
budaya. Jarang sekarang para aktivis "karir" menyerukan tatanan
ekonomi internasional baru, atau pemerintah dunia, atau mengakhiri perusahaan
multinasional. Hanya beberapa orang terpilih di pinggiran, dalam kata-kata
pendiri Greenpeace, Bob Hunter, yang masih berjuang untuk "menguasai
dunia" untuk membentuk "kesadaran global" baru.
Semakin banyak aktivis, terutama yang bekerja keras di dalam
organisasi advokasi besar, malah berbicara dalam bahasa yang ramah pasar.
Mereka menyerukan kapitalisme yang lebih lembut - untuk perdagangan yang adil,
untuk sertifikasi, untuk pasar eko. Dengungan adalah tentang bantuan bintang
rock dan kebajikan milyarder. Solusi untuk masalah global melibatkan kampanye
pembelian etis: menimbulkan sebab sosial merek dan menjual perasaan
"berbuat baik" ke "kelas cappuccino".
Apakah aktivis "karir" menjual untuk membayar staf
dan program dana? Sebagian. Tapi jauh lebih banyak yang terjadi. Perubahan
politik dan sosial ekonomi meningkatkan kekuatan bisnis untuk menggerakkan para
aktivis, termasuk tindakan keras di seluruh dunia terhadap perbedaan pendapat,
penguatan konsumerisme, privatisasi kehidupan sehari-hari, dan pergeseran
aktivis ke dalam institusi bisnis.
Aktivis akar rumput berjuang balik. Namun, bahkan saat para
pemrotes berbaris dan menduduki sebagian wilayah kota misalnya, semakin banyak
organisasi aktivis berkolaborasi dengan bisnis dan menganjurkan solusi
"yang ramah perusahaan". Buku tengara ini membunyikan alarm tentang
bahaya tren korporatisasi ini untuk masa depan perubahan transformatif dalam
dunia politik.
Selama dua dekade terakhir, organisasi yang dibentuk para aktivis
semakin terlihat, berpikir, dan bertindak seperti korporasi. Anda mungkin
menganggap klaim ini mengecewakan. Namun, realitasnya korporatisasi aktivis memperdalam
dan mempercepat semua penyebab dan budaya. Jarang para aktivis
"karir" sekarag menyerukan tatanan ekonomi internasional baru, atau
pemerintah dunia, atau mengakhiri perusahaan multinasional. Hanya beberapa –
jumlahnya bisa dihitung dengan jari -- orang terpilih di pinggiran seperti yang
dikatakan pendiri Greenpeace, Bob Hunter, yang masih berjuang untuk
"menguasai dunia" guna membentuk "kesadaran global" baru.
Semakin banyak aktivis, terutama yang bekerja keras di dalam
organisasi advokasi besar, malah berbicara dalam bahasa yang market-friendly.
Mereka menyerukan kapitalisme yang lebih lembut - perdagangan yang adil, sertifikasi,
dan pasar yang ramah lingkungan tapi tetap saja kapitalis. Mereka menyuarakan bantuan
bintang rock dan kebajikan milyarder. Padahal solusi untuk masalah global harusnya
melibatkan kampanye pembelian etis yang bagi merek itu berarti harus
ditunjukkan dengan perbuatan baik secara sosial.
Tidak diragukan bahwa sebagian besar aktivis masih ingin
mengatakan kebenaran kepada kekuasaan. Tapi sekarang mereka terjerat dalam
kekuatan ini. Mereka menjalin kemitraan dengan perusahaan besar - Walmart,
McDonald's, Nike. Jaringan aktivis WWF global, hanya sebagai satu contoh di
antara banyak orang, menerima dana dari dan bekerja sama dengan Coca-Cola
Company. Para pemimpin WWF tidak menyembunyikan alasan untuk bergabung.
"Coke," jelas Gerald Butts, yang pada saat itu adalah presiden dan
chief executive officer WWF Canada, "secara harfiah lebih penting, dalam
hal keberlanjutan, daripada Perserikatan Bangsa-Bangsa."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar