Tulisan ini dibuat dan dimuat Majalah SWA antara 1998-1999. Selama periode itu, Indonesia mengalami krisis ekonomi politik yang mendorong Presiden Soeharto setelah 32 tahun berkuasa mengundurkan diri.
Tak seorang pun menduga bahwa krisis keuangan di Asia akan berlangsung sedemikian parah dan
berkepanjangan. Rontoknya harga aset, memburuknya kondisi keuangan dan
ketidakmampuan perusahaan memenuhi kewajibannya, serta melemahnya kemampuan
ekonomi secara nasional sehingga berakibat pada menurunnya laju pertumbuhan
ekonomi sedemikian parah. Jauh di bawah perkiraan banyak orang.
Setahun atau dua tahun sebelum krisis, beberapa ahli --
termasuk yang tergabung dalam Dana Moneter Internasional (IMF) -- sudah
mengingatkan bahwa defisit neraca transaksi berjalan di Asia Tenggara sudah
sama atau malah lebih tinggi dari Amerika Latin saat dilanda krisis mata uang
pada tahun 1994. Mereka mengingatkan bahwa perekonomian Asia
tidak kebal terhadap krisis finansial.
Peringatan itu didasari pada asumsi bahwa dengan terjadinya
defisit anggaran, pemerintah menggunakan cadangan devisanya yang terbatas untuk
mempertahankan kurs mata uangnya. Kebijakan ini pasti tidak akan bertahan.
Karena impor yang makin menaik sementara pertumbuhan ekspor yang mendatar. Dan
usaha para investor untuk mengantisipasi keadaan buruk itu, akan membuat
serangan spekulatif terhadap nilai mata uang lokal tadi bertambah, apalagi saat
cadangan devisanya berada pada titik kritis.
Banyak analisis berpendapat bahwa penyebab utama krisis
ekonomi yang berlanjut menjadi depresi ini dikarenakan persoalan mata uang
negara-negara kawasan ini. Thailand
misalnya terpaksa membiarkan mata uangnya, baht, mengikuti keinginan pasar
setelah dihajar habis-habisan oleh spekulan. Namun, pendapat ini tak
menjelaskan mengapa Korea Selatan juga terjerambab dalam krisis ekonomi yang
sama. Juga mengapa Asia dijadikan objek
permainan para spekulan.
Paul Krugman, ekonom dan profesor pada Massachussets
Institute of Technology, dalam sebuah ceramahnya di Tokyo, Jepang, Januari
1998, mengatakan krisis Asia sekarang ini berlainan dari krisis-krisis yang
terjadi sebelumnya. Pertama,
menjelang krisis, semua neraca anggaran pemerintahan di Asia
itu berada dalam keadaan kurang lebih seimbang. Mereka juga tidak terlibat
dalam pengadaan kredit yang tak bertanggung jawab atau melakukan ekspansi
moneter. Tingkat inflasinya juga cukup rendah.
Kedua, meski
memang terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi pada 1996, negara-negara Asia itu tidak mengalami masalah pengangguran tenaga
kerja yang cukup berarti menjelang krisis terjadi. Dengan kata lain, tidak ada
rangsangan untuk mengambangkan kurs mata uang dan melakukan kebijakan moneter
ekspansif seperti yang umumnya terjadi pada krisis di Eropa tahun 1992. Ketiga, di negara-negara yang terkena
krisis itu terjadi siklus "tumbuh kilat-hancur" dalam pasar aset yang
mendahului krisis mata uang: saham dan harga tanah meningkat tajam dan juga
lalu hancur dengan tajam.
Terakhir, di semua
negara itu para pialang finansial (financial intermediary) tampaknya menjadi
pemain utama. Di Thailand, peranan itu dimainkan oleh apa yang dinamakan
"perusahaan finansial", sebuah lembaga nonbank yang meminjam uang
dalam jangka pendek - seringkali dalam dolar AS - dan meminjamkan uang itu pada
investor spekulan yang umumnya - tidak hanya - bergerak dalam usaha realestat.
Di Korea Selatan, bank konvensional terlibat dalam peran seperti ini: mereka
meminjam uang dalam jangka sangat pendek dan meminjamkan pada
perusahaan-perusahaan besar untuk investasi yang - kemudian baru ketahuan -
sangat spekulatif .
Namun, Morris Goldstein dari Institute for International Economics berpendapat bahwa seperti
halnya krisis keuangan yang menimpa beberapa negara sebelumnya, krisis
disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berkaitan. Dalam kasus ini terdapat
tiga faktor yang dominan. Pertama, sektor finansial yang lemah. Kedua, pesoalan
eksternal. Dan ketiga, efek penularan (contagion) yang berawal dari Thailand
ke negara-negara lainnya.
Menurut Goldstein, lemahnya sektor finansial inilah yang
membuat krisis Asia semakin menyusup ke dalam.
Selama 1990-an, di negara-negara ASEAN (Thailand, Malaysia, Filipina, dan
Indonesia) berlangsung booming kredit karena tumbuhnya banyak bankdan lembaga
keuangan yang melebihi sektor lainnya. Longgarnya kredit ini dipicu oleh makin
derasnya arus masuk dana swasta luar negeri. Sebagian besar dana-dana itu masuk
ke sektor properti atau surat-surat berharga. Ketika ada usaha untuk menyejukan perekonomian dan mempertahankan kurs mata
uang, secara tidak langsung menekan harga properti dan meningkatkan risiko
munculnya kredit bermasalah. Kebetulan upaya mengakhiri booming kredit itu
terjadi lebih awal di Thailand dan Indonesia sehingga dampaknya paling awal
kelihatan.
Analisis lain
berpendapat bahwa depresi ekonomi yang terjadi belakangan dipicu oleh dua hal.
Pertama, kejangakan sikap pemerintah dalam mengelola ekonomi negara. Asumsinya
begini, investor lebih suka memegang mata uang negara yang tingkat inflasinya
rendah dan stabil. Itu sebabnya, jika suatu negara menerapkan sistem kurs yang dikaitkan dengan
mata uang tertentu, setiap kali pemerintah menutup defisit anggaran dengan mencetak
uang baru, investor cenderung untuk melepas mata uang tersebut.
Ini karena
pencetakan mata uang baru yang berarti mendorog terjadinya inflasi. Kondisi ini
akan berpengaruh pada cadangan devisa. Selanjutnya pemerintah tak lagi
mempunyai kemampuan untuk mempertahankan nilai mata uangnya. Situasi inilah
yang dimanfaatkan para spekulan untuk mempermainkannya. Namun, untuk gambaran
ini tak sepenuhnya benar, sebab defisit anggaran negara-negara di kawasan Asia
tidak terlalu parah.
Krisis keuangan
juga bisa terjadi bila pemerintah menggunakan kebijakan moneter untuk
mempertahankan mata uangnya. Misalnya dengan menaikkan suku bunga. Kebijakan
ini dalam kenyataanya memperlemah kemampuan dunia usaha. Perputaran roda
ekonomi justru makin lambat. Dalam kondisi ini, jika pasar bersikap ragu
terhadap komitmen pemerintah untuk mempertahankan nilai mata uangnya, mereka
akan menyerang mata uang negara tersebut. Namun, lagi-lagi hal ini tak berlaku
umum.
Menurut Direktur
Pelaksana IMF Michel Camdessus, krisis finansial Asia disebabkan oleh kebijakan
pemerintah yang buruk dan bukan ulah para hedge funds atau "perusak
misterius". ''Saya belum pernah melihat para spekulan beraksi, jika
perekonomian makro suatu negara itu kuat dan kebijakan-kebijakan pemerintahnya
mantap,'' kata Camdessus seperti dikutip The
Asian Wall Street Journal (3/12/1998).
Dalam kasus Thailand misalnya, problem sebenarnya adalah
kombinasi lemahnya fundamental ekonomi makro dan keengganan pemerintah untuk
mengatasi itu. Cepat menyebarnya krisis Thailand ke seluruh kawasan itu, selain
disebabkan karena kekhawatiran investor bahwa hal sama akan terjadi di
negara-negara tetangganya, juga karena "tidak adanya transparansi"
dalam perekonomian-perekonomian Asia itu sendiri. Ini menyebabkan para investor
yang semula cenderung memilih tidak mempertanyakan problem menyangkut kredit
macet (yang melibatkan kolusi erat perbankan, perusahaan swasta dan pemerintah)
menjadi memutuskan bahwa lebih aman bagi mereka untuk mempercayai "yang
terburuk".
William Nicol,
staf ahli OECD (Organization for Economic Cooperation and Development)
berpendapat, spekulasi uang dapat di atasi Korea, Jepang, dan Asia Tenggara,
bilamana negara-negara tersebut telah membereskan utang-piutangnya sedini
mungkin (Kompas, 29 Desember 1997).
Menurut Nicol, perkembangan perekonomian negara mana pun, dalam kapasitas
tinggi tidak dapat terus-menerus seluruhnya di danai oleh kredit pinjaman.
Tetapi, kesalahan itu bukan hanya pada para peminjam (borrower), tapi juga pada
mereka yang meminjamkan dana.
Mereka
terus-menerus menawarkan kelebihan dana mereka untuk investasi di mana saja,
tanpa memeriksa dengan teliti kemungkinan keuntungan yang masuk akal yang dapat
diraih dari sesuatu proyek. Misalnya, 19 Desember 1997 lalu Filipina menerima
bantuan Bank Dunia sebesar US $ 3 miliar dengan bunga rendah. Padahal proyek
yang disodorkan itu nilainya US $ 2,5 miliar.
Menurut mantan
Menteri Perdagangan Indonesia Prof. Dr. Satrio Budihardjo (Billy) Yoedhono,
seharusnya perbankan memeriksa dengan perhitungan rinci,
kemungkinan-kemungkinan keuntungan yang dapat diraih, apakah itu yang berjangka
panjang dalam paket dana pensiun atau asuransi jiwa, ongkos pembangunan
infrastruktur proyek negara, dan proyek jangka pendek yang harus jatuh tempo,
dengan penjadwalan tertentu. Mereka juga yang harus menentukan apakah
penjadwalan itu pantas atau tidak.
Hal itu
menunjukkan adanya ketidakefisienan di sektor riil dan rapuhnya sistem
perbankan yang ditunjukkan dengan lemahnya kontrol. Dengan demikian, pada
dasarnya, krisis yang terjadi di beberapa negara Asia -- termasuk Indonesia --
bukan hanya disebabkan oleh faktor fundamental, namun juga sektor riil yang
diperparah oleh kegagalan sektor finansial. Sektor finansial disini bukan hanya
sekadar perbankan, tapi juga lembaga keuangan lainnya.
Menurut laporan
Bank Dunia, ada empat persoalan mikro ekonomi yang membuat Indonesia menjadi
negara yang paling parah menderita krisis. Dalam laporan ini bank Dunia
mengakui bahwa krisis Thailand memang menyebabkan serangkaian kejatuhan mata
uang negara-negara sekelilingnya. Tetapi terdapat empat faktor yang membuat
ekonomi Indonesia terpuruk. (The Asian Wall Street Journal, 20 Juli 1998).
Pertama,
pembengkakan utang swasta -- terutama yang tidak dilindung nilai (hedge) yang
berlangsung sejak 1992. Kedua, krisis perbankan. Soal ini sebenarnya sudah
diketahui sejak beberapa tahun sebelumnya, namun perbankan masih saja melakukan
ekspansi kredit. Penegakan disiplin yang dilakukan Bank Indonesia belum
berhasil mengendalikan persoalan pemberian kredit dalam satu group, konsentrasi
kredit, dan kriteria kelayakan kredit. Selain itu, sejumlah besar bank modalnya
masih di bawah standar dan insolvent.
Ketiga, mencakup
persoalan pemerintahan yang bersih. dalam laporan tersebut disebutkan bahwa
sebelum Juli 1997, beberapa survey yang dilakukan saat pasar modal bergairah
terdapat beberapa persoalan yang muncul di permukaan. Beberapa investor
menunjukkan rasa keprihatinannya tentang birokrasi, suap, korupsi, insider trading,
dan kesehatan sistem finansial Indonesia. Menurut Bank Dunia, Indonesia
memiliki sistem perundangan yang lemah, pemerintah tidak transparan dalam
mengambil kebijakan, dan kuatnya pengaruh politik dalam kegiatan-kegiatan
bisnis.
Sementara itu di
bidang politik, terdapat persoalan politik yang kurang menguntungkan. Seperti
dimaklumi, krisis keuagan mulai meng'gigit' Indonesia enam bulan sebelum Sidang
Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Celakanya, sampai lima bulan
Indonesia memasuki krisis, masih belum ada tanda-tanda yang jelas sekitar
pengganti Soeharto. Padahal, karena persoalan umur dan kesehatan, soal suksesi
ini menjadi sangat penting. Yang keempat adalah soal gelombang panas El Nino.
Musim kemarau berkepanjangan yang disebabkan gelombang panas ini menyebabkan
kekeringan dan kebakaran hutan. Akibatnya, banyak terjadi kegagalan panen atau
mundurnya masa tanam beberapa komoditi pangan.
Namun di balik
semua itu terkandung pergulatan di kalangan elite pemerintahan sekitar
penanganan krisis. Saat-saat awal terjadinya krisis di Thailand -- yang
ditandai dengan jatuhnya nilai baht -- misalnya, kalangan elite pemerintahan
Indonesia menganggap sebagai persoalan rutinitas. ''Sebab kita kan mempunyai
banyak pengalaman dengan penurunanan rupiah. Ketika wafatnya Ibu Tien Soeharto,
kasus 27 Juli 1996, berobatnya Presiden Soeharto ke Jerman. Dan setahun
sebelumnya, ketika terjadi krisis Meksiko, kita selamat,'' kata mantan Gubernur
Bank Indonesia Soedradjad Djiwandono.
Saat itu, senjata
yang dimainkan Indonesia adalah pelebaran kurs batas intervensi dan memperketat
likuiditas. Namun, ketika pelebaran batas kurs intervensi tidak mampu
membendung kekuatan pasar, pemerintah -- menurut pengamat ekonomi Dr. Rizal
Ramli -- mulai panik. Likuiditas sangat diperketat. Suku bunga dinaikkan, dana
BUMN ditarik dan dikonversi ke Sertifikat Bank Indonesia, dan penghentian
perdagangan Surat Berharga Pasar Uang (SBPU). Hal ini membuat Indonesia
kekeringan rupiah.
Sampai pada
keputusan Indonesia meminta bantuan Dana Moneter Internasional (IMF), elite
pemerintahan nampaknya tidak seia sekata lagi. Keputusan itu menunjukkan
kemenangan kalangan teknokrat yang lebih cenderung kepada ekonomi pasar. Kubu
teknokrat -- antara lain Soedradjad, Menko Ekuin Prof Salef Afiff -- beranggapan
bahwa dengan meminta bantuan IMF, kepercayaan pasar terhadap rupiah diharapkan
pulih. Namun, menurut Menteri Keuangan Kabinet Pembangunan VII Fuad Bawazier,
Pak Haryto tak sepenuhnya yakin. Itu sebabnya, menurut Fuad, keputusan itu
bukan sepenuhnya diambil Pak Harto. Karena pada dasarnya Pak Harto lebih
memilih kerjasama bilateral.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar