Para ekonom berpendapat bahwa nilai mata uang suatu negara ditentukan oleh berbagai faktor. Prinsipnya tetap pada hukum permintaan dan penawaran. Dari sisi penawaran, jumlah uang beredar secara relatif mempengaruhi nilai tukar. Suatu mata uang akan berkurang nilainya apabila jumlah uang yang beredar lebih banyak. Selain itu, nilai mata uang suatu negara meningkat apabila memiliki kombinasi pertumbuhan jumlah uang beredar yang lebih rendah dan pertumbuhan keluaran nyata yang lebih cepat. Sebaliknya, suatu negara dengan pertumbuhan ekonominya yang mandek, mungkin akan memiliki nilai mata uang yang semakin menurun.
Di sisi permintaan, pasar uang nampaknya peka terhadap perubahan suku bunga. Apabila suku bunga di dalam negeri meningkat sementara suku bunga di luar negeri konstan, maka penanam modal akan melihat adanya tambahan alasan untuk membeli mata uang lokal di pasar tunai. Namun, peranan suku bunga ini bergantung pada penyebab perubahannya. Misalnya, meski pun suku bunga di dalam negeri membumbung tinggi namun bila perekonomian negara tersebut mengalami hiperinflasi, kecil kemungkinan membuat investor bereaksi dengan meningkatkan investasi.
Fenomena tersebut sekaligus menggambarkan bahwa selain sebagai alat tukar, uang merupakan alat penyimpan nilai. Seseorang akan berusaha mempertahankan nilai bersih aset yang dimilikinya dengan melakukan investasi di banyak negara dalam berbegai bentuk. Ini antara lain dilakukan dengan membeli aset di banyak negara. Aset tersebut dibeli dan mendapatkan keuntungan dalam mata uang lokal. Sebagai contoh untuk membeli obligasi atau saham di Indonesia, orang harus datang dengan rupiah dalam bentuk cek rekening giro atau mata uang.
Para pemegang surat berharga Indonesia tersebut akan mendapatkan pembayaran kembali di kemudian hari dalam mata uang rupiah. Bukan dalam dolar misalnya. Itu berarti investor tersebut harus berspekulasi dengan nilai tukar mata uang tersebut di masa depan. Sebab bila rupiah secara relatif turun terhadap dolar misalnya, maka secara relatif penghasilan -- dalam bentuk rupiah -- yang diterimanya menurun karena jumlah rupiah yang diperlukan untuk menukar dolar makin banyak.
Disini -- dalam nenentukan portofolionya -- investor akan membandingkan antara risiko dan nilai tukar yang diharapkannya. Pengalaman akhir-akhir ini telah memberikan kekuatan bagi investor untuk melihat beberapa hal seperti perkiraan jumlah mata uang yang beredar di masa mendatang, perkiraan soal kebijakan pemerintah terhadap aset swasta, dan reaksi terhadap intervensi nilai tukar resmi.
Beberapa studi menunjukkan bahwa investor akan melepas aset mereka di dalam suatu negara manakala negara bersangkutan mempunyai neraca pembayaran -- netto antara ekspor dan impor -- atau transaksi berjalan (neraca jasa dan barang) timpang. Menurut Peter H Lindert dan Charles P Kindleberger dari University of California at Davis (International Economics), defisit yang terjadi pada neraca perdagangan atau transaksi berjalan merupakan suatu tanda bahwa negara tersebut memberikan uang lebih banyak daripada menghasilkannya dari luar negeri.
Ketidakseimbangan itu berarti mengirimkan uang kepada orang-orang asing yang biasanya menginginkan untuk memegang sesedikit mungkin dan mencoba melepaskannya secepat mungkin. Defisit neraca perdagangan atau transaksi berjalan juga merupakan tanda bahwa seseorang di suatu negara lebih cenderung membeli barang dan jasa yang dinyatakan dalam mata uang asing. Dengan demikian ingin memegang lebih banyak dalam valuta asing.
Model-model teori sebelumnya menyatakan bahwa krisis neraca pembayaran terjadi ketika fundamental makro ekonomi rusak karena tak sejalan dengan rejim kurs tetap. Dua puluh tahun lalu, ekonom MIT Paul Krugman mengembangkan model dimana ekspansi kredit dalam negeri yang terlalu besar secara bertahap menyebabkan kehilangan cadangan devisa. Pada akhirnya, suatu serangan pada mata uang domestik akan memaksa pemerintah menghapus kurs intervensinya dan membiarkannya mengambang mengikuti hukum pasar.
Ekspansi kredit yang terlalu besar merupakan hasil dari kebutuhan pendanaan guna menutup defisit anggaran pemerintah atau untuk menyuntik perbankan yang sakit. Selanjutnya, dampak berantai dari ekspansi kredit tersebut akan mendorong kenaikan harga relatif barang-barang domestik, terutama produk-produk yang tidak dijual di pasaran internasional (ekspor). Kondisi ini akan membuat kurs real meningkat dan memberikan kontribusi bagi defisit perdagangan atau merosotnya surplus perdagangan. Jika terdapat ketidakpastian kebijakan kredit atau tingkat cadangan devisa yang merupakan senjata bagi pemerintah untuk mempertahankan kurs mata uangnya, maka suku bunga akan meningkat.
Selain karena krisis neraca pembayaran, teori lain menunjukkan bahwa rejim kurs tetap dapat dipertahankan sepanjang kebijaksanan tersebut sejalan dengan kebijakan lainnya. Teori ini menunjukkan bahwa bisa saja krisis mata uang terjadi tanpa disebabkan oleh rusaknya fundamental makro ekonomi (Obstfel, 1994). Misalnya, pemerintah mencabut sistem kurs tetap karena pertahanan dengan suku bunga tinggi mengakibatkan lonjakan biaya pinjaman domestik yang tinggi atau karena sistem perbankan melemah secara serius. Dengan kata lain, kebijakan makro ekonomi bukanlah sebagai penentu melainkan diambil sebagai respon terhadap ekspektasi pelaku pasar.
Kaminsky, Lizondo, dan Reinhart (Leading Indicator of Currency Crises. IMF., 1998) mengajukan metode baru bagi kerangka peringatan dini terjadinya krisis neraca pembayaran. Sistem ini menyatakan bahwa krisis mata uang terjadi karena berbagai macam faktor baik ekonomi maupun politik. Variabel yang sangat berguna tersebut seperti cadangan devisa, ekspansi kredit domestik, kredit ke sektor publik, kurs, dan inflasi domestik. Selain itu, pertumbuhan output, neraca perdagangan, kinerja ekspor, dan defisit anggaran sebagai indikator yang berguna untuk memperkirakan terjadinya krisis. Sementara itu struktur utang luar negeri dan neraca pembayaran tidak begitu bermanfaat untuk meramal suatu krisis.
Beberapa studi menunjukkan adanya keterkaitan antara krisis neraca pembayaran dengan krisis perbankan. Pertama, terkurasnya cadangan devisa akan menyebabkan penurunan secara tajam kemampuan bank untuk memberi kredit sehingga membuat banyak usaha non keuangan bangkrut. Konsekuensinya bakal terjadi krisis perbankan. Kedua, devaluasi akan membuat bank-bank yang mempunyai eksposure utang luar negeri tak mampu bayar. Meski posisi mata uang asingnya kecil, namun bila jumlah kredit yang disalurkan untuk sektor-sektor yang tidak menghasilkan devisa (seperti real estate) dan usaha-usaha nonkeuangan tadi bankrut, hal itu tentu akan membuat perbankan menjadi lemah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar