Studi yang dilakukan USC Annenberg Global Communications
baru-baru ini menunjukkan bahwa 87% profesional percaya bahwa istilah public
relations kini tidak terlalu menggambarkan pekerjaan yang mereka lakukan dalam
lima tahun terakhir ini. Bagaimana tidak, konteks komunikasinya kini berkembang
dari one to public menjadi one on one.
Garis pemisah antara PR dan disiplin komunikasi pemasaran lainnya juga semakin kabur. Selain itu, survey tersebut menggambarkan bahwa 60% eksekutif pemasaran percaya bahwa PR dan pemasaran akan menjadi sangat selaras dalam waktu dekat.
Garis pemisah antara PR dan disiplin komunikasi pemasaran lainnya juga semakin kabur. Selain itu, survey tersebut menggambarkan bahwa 60% eksekutif pemasaran percaya bahwa PR dan pemasaran akan menjadi sangat selaras dalam waktu dekat.
Saat ini kita melihat kecenderungan semakin banyaknya
strategi public relations yang menempatkan pembicaraan atau berbagi konten
melalui media sosial di garis terdepan. Rilis berita akan menjadi berita utama
yang menarik perhatian atau kontroversial bila lebih banyak orang mere-tweets
dan mendiskusikannya.
Hasilnya kita juga melihat – ini karakter dari publisitas – terkadang orang sengaja menyampaikan pandangan atau menimbulkan sesuatu yang kontroversial. Ini karena konten dinggap sebagai kunci kesempatan yang lebih besar untuk di-share dan menjadi pembicaraan.
Hasilnya kita juga melihat – ini karakter dari publisitas – terkadang orang sengaja menyampaikan pandangan atau menimbulkan sesuatu yang kontroversial. Ini karena konten dinggap sebagai kunci kesempatan yang lebih besar untuk di-share dan menjadi pembicaraan.
Tidak jarang orang meminta tolong kepada temannya atau
influencer di Twitter misalnya untuk mere-twitt berita atau informasi yang
disampaikannya. Bahkan tak jarang, publisitas dibangun dengan insentif seperti
yang dapat kita jumpai di Facebook. Peluang-peluang ini membuat profesional
public relations berada di bawah tekanan untuk mengukur keberhasilan program
dengan menggunakan metrik pembagian sosial (social sharing metrics).
Makin tumbuh dan berkembangnya media online dan sosial
membuat postingan breaking news di media online dan sosial, liputan berita
langsung (straight news) menjadi komoditas. Ketika Facebook mengumumkan
mendesain ulang platformnya, Anda dapat membaca cerita serupa tentang hal itu
di puluhan situs berita dalam hitungan menit kalau tidak mau disebut detik.
Konsekuensinya, saat ini makin banyak publikasi, dan juga jurnalis, bergulat dan berjuang sekuat tenaga agar bagaimana caranya liputan mereka berbeda dengan liputan orang lain.
Konsekuensinya, saat ini makin banyak publikasi, dan juga jurnalis, bergulat dan berjuang sekuat tenaga agar bagaimana caranya liputan mereka berbeda dengan liputan orang lain.
Mereka berusaha menawarkan dan menampilkan produk berita
yang berbeda dan unik. Karena semakin banyak publikasi yang meminta (dan bahkan
memerlukan) konten eksklusif, reporter menginvestasikan lebih banyak waktu
untuk 'menyelam sedalam-dalam'nya menggali informasi agar cerita mereka menjadi
berbeda dan unik.
Disini praktisi PR dituntut agar informasi yang mereka sampaikan kepada media dan reporter sesuai dengan kebituhan mereka. Konsekuensinya, praktisi PR harus bekerja lebih lama, teliti dan detail.
Disini praktisi PR dituntut agar informasi yang mereka sampaikan kepada media dan reporter sesuai dengan kebituhan mereka. Konsekuensinya, praktisi PR harus bekerja lebih lama, teliti dan detail.
Dengan makin bergesernya minat orang membaca ke menonton
video, disiplin ekahlian yang harus dimiliki praktisi dan agensi PR makin luas,
mulai dari pembuatan konten, komunikasi korporat, acara, pembinaan eksekutif,
komunikasi internal, produksi promosi tentang aset perusahaan, hubungan media,
multi media, media sosial, manajemen reputasi dan banyak lagi pekerjaan PR
lainnya.
Uraian pekerjaan untuk profesional PR makin luas cakupannya mulai dari kemampuan teknis seperti komunikasi strategis, penelitian, penulisan dan kreativitas, hingga pengembangan kampanye, integrasi sosial, presentasi dan tugas lainnya.
Uraian pekerjaan untuk profesional PR makin luas cakupannya mulai dari kemampuan teknis seperti komunikasi strategis, penelitian, penulisan dan kreativitas, hingga pengembangan kampanye, integrasi sosial, presentasi dan tugas lainnya.
Hari-hari ini era penulisan dan pendistribusian informasi
melalui siaran pers telah menurun kefektivannya, juga pitching media. Meskipun
proses ini penting dan masih relevan, menggabungkan visual dan video kreatif
dalam pengiriman informasi sangat membantu meningkatkan keberhasilan dalam
penempatan informasi tersebut di media. Jika klien tidak memiliki aset ini,
menjadi keharusan bagi agensi PR untuk mengembangkannya.
Klien mungkin juga mengharapkan Anda mengelola pekerjaan di
belakang situs web mereka dengan mengunggah siaran pers ke bagian blog,
menjadwalkan tautan untuk analisis sosial dan pemantauan web. Untuk
memperpanjang siklus hidup publisitas yang signifikan, orang kini makin
banyak memasukkannya ke dalam kampanye
sosial berbayar. Apakah Anda mempelajari keterampilan ini di kelas jurnalisme
perguruan tinggi Anda?
Statistik yang relevan selalu penting untuk memvalidasi
cerita tren, dan dengan alat survei online yang mampu mengumpulkan data secara
lebih mudah dari sebelumnya, saat ini banyak penawaran PR yang disertai dengan penelitian mulai dari pra
hingga hasilnya.
Dengan gerai berita yang haus akan visual namun kekurangan sumber daya, maka bangunlah Tim PR yang mampu menyajikan data menjadi lebih canggih, mengembangkan infografis dan visual lainnya agar data makin popular. Akhirnya, meski bukan yang terkahir, cobalah mulai memanfaatkan aplikasi interaktif untuk melengkapi cerita yang Anda buat.
Dengan gerai berita yang haus akan visual namun kekurangan sumber daya, maka bangunlah Tim PR yang mampu menyajikan data menjadi lebih canggih, mengembangkan infografis dan visual lainnya agar data makin popular. Akhirnya, meski bukan yang terkahir, cobalah mulai memanfaatkan aplikasi interaktif untuk melengkapi cerita yang Anda buat.
Tidak ada definisi tunggal tentang public relations (PR)
maupun public relations strategis (Strategic Public Relations). Maksudnya, ada
fenomena PR didefinisikan secara berbeda oleh berbagai praktisi dan akademisi
di mana kata “manajemen” adalah kata yang paling umum digunakan. Grunig dan
Hunt (1984, hal 6.) mendefisinikan PR sebagai “manajemen komunikasi antara
organisasi dengan publiknya”; sementara Ledingham dan Bruning (1998)
mendefinisikan PR sebagai “manajemen hubungan”.
Cutlip et al. (2006, hal. 1) berpendapat bahwa PR adalah
“fungsi manajemen yang membangun dan mempertahankan hubungan saling
menguntungkan antara organisasi dan publik yang mempengaruhi kesuksesan atau
kegagalan”. Namun demikian, Dozier dan Lauzen (2000) berpendapat bahwa
mendefinisikan PR “sebagai fungsi manajemen” adalah mengaburkan fokus pada
teori PR khususnya di tingkat organisasi.
Lages dan Simkin (2003) menyebut itu sebagai konseptualisasi
public relations tidak berhenti pada satu definisi namun berlangsungterus
menerus mengikuti perkembangan jaman. Dunia terus berkembang, begitu juga opini
publik; jarum jam dunia PR seakan kutu yang melompat lebih cepat. Itu sebabnya,
fungsi PR diperlukan untuk terus mengembangkan opini publik dan, jika perlu,
mempengaruh dan memodifikasi mereka (Wells dan Spinks, 1999).
Mengirim pitch berita dan press kit sudah ada sejak awal
abad 21. Praktek-praktek seperti ini bersama dengan fenomena terbaru
berhubungan dengan melalui media sosial, telah menjadi bagian utama dari
“hubungan masyarakat.”
Tapi bagaimana kita benar-benar mendefinisikan PR? Pada 2011
Humas Society of America (PRSA) menginisiasi kampanye untuk menjaring suara
publik tentang definisi public relations. Hasilnya, public relations
didefinisikan sebagai proses komunikasi strategis yang membangun hubungan
saling menguntungkan antara organisasi dan masyarakatnya.”
Tak sampai dua tahun kemudian, Wendy Zaas, wakil presiden
eksekutif di perusahaan PR Rogers & Cowan, percaya bahwa defisini tersebut
sekarang menjadi begitu kuno karena tidak membahas integrasi pemasaran dan
media sosial sebagai bagian dari disiplin. PR, katanya, seharusnya tidak lagi berdiri sendiri, karena
dunia komunikasi saat ini telah “bercampur” dan menuntut integrasi terbaik tiga
disiplin tadi (PR, marketing dan media sosial) dengan strategi cerdas dan
kreatif sehingga berdampak positif.”
Yang juga hilang dari definisi PRSA itu adalah konsep
tentang return on investment. Padahal, ROI sering menjadi tuntutan
klien.Intinya pengukuran dengan mempertimbangkan tujuan pemasaran dan strategi
pesaing itu sekarang telah menjadi standar. Simak pengalaman Unilever saat
meluncurkan es krim Magnum beberapa waktu lalu.
Barangkali ini pertama kali terjadi dalam sejarah pemasaran
eskrim di Indonesia. Sebuah merek eskrim—Magnum, dicari-cari konsumen. Tapi
hebohnya, eskrim tersebut seolah-olah raib dari pasar. Menurut Meila Putri
Handayani, Senior Brand Manager Teens, Adults, & Moo PT Unilever Indonesia
Tbk, pemilik merek Magnum, kelangkaan Magnum di pasar ini terjadi semata-mata
karena permintaannya jauh lebih besar dari yang diperkirakan. “Kampanye Magnum
telah membuat habit konsumen berubah,” kata Meila.
Meila mengatakan bahwa sebenarnya Magnum sudah diproduksi
dengan kapasitas besar, namun ternyata hal itu tetap tidak bisa memenuhi demand
yang luar biasa paska kampanye itu. Meila melihat fenomena itu sebagai sesuatu
yang menggembirakan. “Bayangkan, konsumsi eskrim di Indonesia selama ini sangat
rendah (terendah di dunia), hanya setara dua stick perorang per tahun,”
katanya.
Kampanye Magnum padaawal 2011, menurut Meila, telah mengubah habit konsumen es krim. “Ada segmen yang tidak terbiasa makan eskrim akhirnya masuk dalam kategori konsumen.” Mereka itu, kata Meila, adalah konsumen dari segmen usia lanjut, seperti nenek-nenek, yang ikut memperlebar pasar.
Demam Magnum ini, kata Meila, adalah buah dari kampanye yang
sudah direncanakan sejak dua tahun lalu. “Kami memang mematangkan konsepnya
dahulu,” katanya sambil menambahkan bahwa eksekusi yang baik biasanya 90%
berkat perencanaan yang matang. Perencanaan ini, katanya, termasuk riset pasar.
Riset kepada konsumen menunjukkan bahwa ada kesempatan buat
Unilever untuk menggarap segmen dewasa, mengingat segmen ini belum “terjamah”
produk es krim. Dan dari riset pula diketahui bahwa segmen dewasa ternyata
menggemari produk premium. Temuan menarik lain, orang dewasa mengonsumsi eskrim
untuk mendapatkan kepuasan.
“Dan kami menginterpretasikan kepuasan itu setara dengan cita rasa cokelat,” kata Meila. Maka kemudian Magnum memulai perjalanan barunya dengan mengaitkan brand ini dengan imaji kualitas cokelat Belgia.
“Dan kami menginterpretasikan kepuasan itu setara dengan cita rasa cokelat,” kata Meila. Maka kemudian Magnum memulai perjalanan barunya dengan mengaitkan brand ini dengan imaji kualitas cokelat Belgia.
Langkah selanjutnya, kata Meila, adalah mengemas strategi
komunikasi dengan penekanan pada perlakuan manis ala putri raja, pemanjaan, dan
pemenuhan fantasi yang penuh dengan pelayanan. “Maka lahirlah TVC dengan konsep
putri kerajaan itu.” Meila menambahkan bahwa target komunikasi TVC itu pada
awalnya adalah perempuan, khususnya yang berusia 25-35 tahun. Namun dia tak
menampik jika TVC itu bisa menarik segmen umum pada usia 18-45 tahun.
Meila menilai keberhasilan Magnum adalah karena menggunakan
strategi komunikasi 360 derajat, dan memaksimalkan semua media. “Sebagai
komunikasi yang terintegrasi, pesannya sama, yaitu “Magnum will indulge you
like a princess,” katanya. Hal ini menjadi benang merah dari semua komunikasi
yang digunakan, termasuk TVC, dan on-ground activity.
Namun, satu hal yang membedakan Magnum dengan merek lain,
adalah Magnum sangat fokus pada produk karena, kata Meila, dalam mengemas
produk, marketer terlalu berlebihan mengemas cerita. “Pada Magnum, product has
to be the hero,” katanya. Meski tidak merinci besarnya nilai penjualan Magnum,
Meila mengaku sangat puas. “Dari skala 1 sampai 10, nilai kepuasan kami 8,”
katanya sambil tersenyum
Pada penghujung 2012, Unilever melalui brand es krim
premium-nya, Wall’s Magnum, kembali begitu garang melakukan kampanye marketing
di berbagai media mulai dari print ad, TV Commercial (TVC) yang disutradarai
Bryan Singer, hingga menggunakan endorser sekelas Benicio Del Toro dan Caroline
Correa. Mengusung varian terbaru, yaitu Magnum Gold, Unilever memfokuskan diri
meluncurkan strategi komunikasinya secara serempak di seluruh channel pemasaran
dan tidak terkecuali lewat sosial media seperti Twitter.
Oky Andries, Brand Manager Wall’s Magnum mengatakan,
antusiasme terhadap varian baru ini muncul di setiap Negara. “Antusiasme pun
terlihat di social media milik Magnum @MyMagnumID, dimana para penggemar Magnum
menunggu kehadirannya di Indonesia, bisa dilihat di Twitter, banyak orang yang
membicarakan” ungkapnya.
Mengandalkan populasi follower yang mencapai 54.894 dan
ditambah rata – rata intensitas 6 – 7 tweets per hari, Magnum Gold saat itu
ingin terus membangun brand awareness. Konten yang disuguhkan pun turut
diperhatikan secara detil dan tidak jauh dari tips seputar es krim, gaya hidup
dan kesehatan, greetings, hingga quiz. “Lewat Twitter kami ingin engaged dengan
‘pleasure seeker’ kami – sebutan penikmat es krim magnum.”
Intensitas penggunaan twitter oleh Magnum dirasakan sangat
efektif dan sesuai dengan target market produk ini, segmen middle dan middle
up. “komunikasi yang dilakukan waktu itu menggunakan media digital, twitter –
sosial media memang menjadi salah satu pilihan karena informasi yang cepat
tersebar.” cerita Oky
Klimaksnya adalah ketika Magnum Gold benar – benar hadir di
Indonesia. Sebelum peluncurannya di Magnum Cafe pada 13 September 2012 lalu,
promosi diawali dengan pemberitahuan di official account Twitter milik Magnum.
Hasilnya follower akun Magnum itu ramai memperbincangkan kedatangan Magnum
Gold.
Mereka saling merekomendasikan produk Magnum kepada teman
maupun keluarganya sehingga saat itu dalam sekejap Magnum menjadi trending
topic worldwide. Apalagi saat acara peluncurannya dihadiri oleh sejumlah artis
dan sosialita. Dengan kata lain Magnum berhasil menciptakan viral word of mouth
Magnum Gold lewat Twitter.
Gamabarn itu mengukuhkan bahwa Facebook, Twitter, blog, dan
media sosial lainnya telah mengubah hubungan antara anggota masyarakat dan
orang-orang yang berkomunikasi dengan mereka. Proses public relations digunakan
dengan dimensi tunggal, yakni teori menyaring informasi dari bawah. Tetapi masa
depan PR sekarang menjadi konglomerasi, terutama difokuskan untuk memfasilitasi
percakapan yang sedang berlangsung sambil tetap di garis depan inovasi dalam
arena komunikasi.
“Sekarang tidak ada lagi yang namanya ‘media tradisional,”
kata Tim Tessalone, direktur informasi olahraga USC seperti dikutip Jarone
Ashkenazi di fastcompany.com. “Dengan siklus berita 365/24/7 dan dengan
berbagai platform media (termasuk media sosial) sekarang yang tersedia untuk
wartawan dan non-wartawan, praktisi PR harus tidak hanya tetap waspada, tapi
harus proaktif dan progresif.”
Dalam beberapa waktu terakhir, mncul terminologi baru dalam
leksikon public relations. Istilah seperti content marketing dan earned media
sering digunakan sebagai pengganti istilah public relations. Ada istilah
Storytelling atau Brand Journalism yang kini sudah menjadi praktek yang lazim
di banyak perusahaan. Brand journalism menceritakan kisah yang berhubungan
dengan keahlian merek Anda. Metode ini sangat berharga, karena melibatkan
audiense. Karena itu, mendorong mereka untuk tertarik untuk mempelajari lebih
lanjut tentang merek Anda.
Ada juga istilah visual media dan marketing. Dalam kosnsep
ini Kampanye PR tidak lagi hanya dinilai dari banyaknya tayangan, sehingga
pemanfaatan multimedia sangat penting. Media visual seperti YouTube, Facebook,
dan Vine dinilai lebih relevan dalam menentukan keberhasilan keberhasilan
kampanye PR. Ini karena praktisi PR harus memposisikan klien mereka agar bisa
menjadi Lady Gaga atau tren. Selain itu, agar efektif, setiap kampanye PR harus
didukung oleh strategi penjualan dan pemasaran yang tepat.
Belakangan juga munculkan kosa kata baru yang disebut
Niche-influencer. Ini sejalan dengan perkembangan teknologi yang membuat
hilangnya konsep satu teknologi atau satu penulis bisnis atau editor dalam
media. Setiap kategori telah pecah menjadi beberapa subkategori – misalnya di
bawah bisnis ada subdivisi untuk kewirausahaan, usaha kecil, bisnis
internasional, dll .– dan sangatlah penting bagi praktisi PR untuk menjangkau
niche influencer ini agar pengenalan merek bisa tumbuh efektif.
Public relations tidak lagi hanya berbicara tentang dan
memanfaatkan media tradisional. Saat ini, public relations bisa kokoh karena
dibangun di atas media tradisional dan strategi PR digital, dicampur dengan
keterlibatan sosial (social media, blogging, dll), merek jurnalisme,
kepemimpinan gagasan, strategi SEO, dan strategi konten, dan sebagainya. PR
masa depan melihat meningkatnya peluang praktisi PR untuk menyebarkan pesan
klien mereka begitu PR berkembang dan menciptakan kembali dirinya sendiri
bersama dengan era media sosial.
Bila PR dulu selalu dan akan selalu berbicara tentang
pengembangan konten dan manajemen, dalam lanskap multi-layar seperti sekarang,
terdapat teknologi inovatif yang bisa dimanfaatkan untuk menciptakan dan
menyebarkan konten. Saat ini, menurut Muck Rack, 92% wartawan lebih menyulai
pengiriman bahan press melalui email. Sekarang, Anda juga bisa men tweet siaran
pers Anda ke influencer yang ditargetkan dan mengomentari tren pasar di forum
dan blog.
“PR sekarang telah menjadi pilihan cara eksekutif
memposisikan dirinya sebagai otoritas dalam industri mereka. Menggunakan
pendekatan multi-platform, pimpinanperusahaan dapat mengomentari tren berita
untuk menjaga diri mereka sendiri dan perusahaan mereka saat perusahaan atau
bisnis mereka menjadi pembicaraan di media, terutama media sosial, “kata Ola
Danilina, CEO dan pendiri PMBC Group.
Ruang lingkup peluang bagi PR kininmeningkat. Karena itu
profesional PR harus terus mengadopsi ide-ide atau gagasan dan menerima
inovator. Agensi mungkin saja masih menguasai fakta-fakta tetapi mereka tetap
harus bekerja sama dengan pihaklain seperti influencer dan blogger, sehingga
mereka tidak menghadapi serangan balasan dari influencer tadi.
Pada intinya PR-nya masih tentang cerita tengan kehebatan,
tetapi masa depan PR adalah tentang menciptakan pengalaman yang bisa dibagi.
Hanya mengukur liputan media adalah cara masa lalu. Profesional PR sekarang
harus menargetkan untuk melibatkan audiense klien mereka dan menjadikan mereka
sebagai bagian dari siklus berita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar