Sebagian mungkin menyebut laman merek (brand page) dalam
Facebook misalnya sebagai sebuah komunitas. Dalam penelitian, penentuan apakah
laman merek termasuk dalam komunitas atau bukan menjadi penting karena berimplikasi
pada hasil yang selanjutnya berimplikasi pada rekomendasi praktik. Hal ini
disebabkan setiap pendefinisian yang berbeda akan menghasilkan indikator yang
berbeda. Selanjutnya indikator yang berbeda akan menghasilkan temuan yang
berbeda.
Dalam penelitiannya tentang keterlibatan pelanggan, Gummerus
et al. (2012) yang meneliti perilaku
pengguna terhadap merek di Facebook misalnya, menggambarkan laman merek sebagai
"komunitas merek Facebook." Hasil penelitiannya kemudian memberikan
gambaran bahwa dampak aktivitas sosial di halaman game Facebook tidak setinggi
yang diharapkan meskipun penelitian tentang komunitas merek menyatakan bahwa
hubungan pribadi antara anggota masyarakat menjadi sangat penting.
Gummerus e al. (2012) juga menemukan bahwa partisipasi aktif
pengguna cukup rendah. Padahal dalam komunitas, anggotanya biasanya sangat
aktif. Para penulis melacak ini kembali ke sifat permainan dan keengganan
anggota untuk menerbitkan konten di Facebook. Namun, ini juga menimbulkan
pertanyaan apakah mungkin perlu membedakan antara komunitas merek dan laman
merek di jejaring sosial.
Untuk menjawab pertanyaan ini, Zaglia (2013) melakukan pendekatan
netnografi untuk membuktikan keberadaan komunitas merek yang disematkan ke
jejaring sosial. Facebook dipilih sebagai subjek penelitiannya. Penulis
menyelidiki dua entitas berbeda di Facebook: subkelompok dan laman merek.
Subkelompok terbentuk berdasarkan topik tertentu; bisa hobi, kawasan geografis,
klub alumni atau merek tertentu. Halaman merek justru memiliki karakter papan bulletin
(bulletin board).
Zaglia (2013) memilih menganalisis dengan cara membandingkan
laman merek Canon Camera Malaysia yang memiliki 151.380 pengikut dan grup Canon
Digital Photography dengan 108.259 anggota yang merupakan sub-kelompok di
Facebook. Dalam penelitian eksploratifnya, Zaglia (2013) menemukan indikasi kuat subkelompok berfungsi sebagai
sebuah komunitas. Namun, temuannya tidak dapat diverifikasi pada laman merek
Canon.
Berdasarkan itu, dia menyimpulkan bahwa laman merek adalah
"bentuk komunitas merek yang lebih lemah." Temuan tersebut menyarankan
(a) konseptualisasi yang berbeda untuk laman merek dan (b) diferensiasi dari
komunitas merek. Muniz & O’Guinn (2001) mendefinisikan tiga karakteristik
sebuah komunitas: kesadaran akan jenis, ritual – bersama dan tradisi -- serta
tanggung jawab moral terhadap komunitas secara keseluruhan dan terhadap
anggotanya masing-masing. Kriteria ini tidak berlaku untuk laman merek di
jejaring sosial.
• Kesadaran akan Jenis:
Kesadaran jenis menyiratkan perasaan memiliki sesuatu yang
unik dan membedakan anggota komunitas masyarakat dari yang bukan anggota. Di
jejaring sosial (misalnya Facebook) sebaliknya, siapapun bisa
"menyukai" laman merek. Ada akses yang tak terbatas ke laman merek.
Tidak ada persyaratan selain profil aktif. Dengan kata lain, orang tidak harus
menjadi pelanggan merek bila sekadar ingin mengikuti sebuah merek.
Pengguna dapat terhubung ke berbagai halaman merek di
jaringan sosial. Rata-rata, pengguna online di Indonesia misalnya, terhubung ke sembilan merek melalui jejaring
sosial. Karena itu, merek yang membuat profil di jejaring sosial tidak memiliki
pengguna secara eksklusif. Laman merek disematkan ke dalam jaringan hubungan
antara pengguna yang merupakan teman atau keluarga. Hubungan ini biasanya juga
ada di dunia offline dan tidak ada
hubungannya dengan merek tapi dengan hubungan emosional antar manusia. Dalam
komunitas merek "tradisional", hubungan antara pengguna hanya
terbentuk karena merek yang mereka kagumi bersama. Orang-orang, yang
menyukai merek yang sama di jejaring sosial, bahkan tidak perlu terhubung satu
sama lain. Oleh karena itu istilah "komunitas" dalam konteks laman
merek kurang tepat.
• Ritual dan tradisi bersama:
Ritual dan tradisi berbagi merupakan suatu kebiasaan atau
praktik yang telah ada di dalam komunitas seiring dengan perjalanan waktu. Mereka
ditetapkan oleh anggota dan memberikan panduan tentang bagaimana warga
komuniktas tersebut perilaku. Melalui ritual dan tradisi budaya dan sejarah
masyarakat diakui.
Pengguna yang memiliki sebuah profil di jejaring sosial
(misalnya Facebook) dapat terhubung ke merek dengan cara mengklik "like"
laman sebuah merek. Mereka kemudian mendapatkan informasi atau update cerita dan
berita terbaru melalui newsfeed mereka.200 Dengan cara ini, mereka secara
otomatis menerima informasi tentang merek secara teratur. Mereka dapat
menelusuri laman merek dan mengirim komentar atau pertanyaan ke "wall"
merek tersebut.
Karena itu, interaksi dapat dilakukan jika dimulai atau
diinginkan oleh pengguna. Tidak ada kewajiban bagi pengguna untuk mengotorisasi
akses merek ke profilnya. Oleh karena itu, hubungan antara pengguna dan merek
di jejaring sosial dalam kebanyakan kasus "tidak terarah." 201 Dengan
"menyukai" suatu merek, mereka dapat secara pasif mengkonsumsi konten
yang disediakan oleh merek, namun mereka tidak harus aktif berkontribusi.
Pada akhirnya, tidak ada praktik umum yang dibagikan di
antara pengguna. Laman merek terutama dioperasikan dan diisi dengan konten oleh
perusahaan. Konsekuensinya, JAHN / KUNZ (2012) menyimpulkan bahwa motivasi
untuk berpartisipasi dalam ritual dan tradisi komunitas merek berbeda dengan laman
merek.
• Tanggung jawab moral
Tanggung jawab moral, menurut Muniz & O’Guinn (2001)
mengacu pada peraturan tidak tertulis yang ada dalam budaya suatu masyarakat
dan menyiratkan perasaan berkewajiban untuk bertindak demi masyarakat.
Laman merek di jejaring sosial sering digunakan untuk
melampiaskan perasaan kecewa. Karena kritik tersebut terlihat oleh publik,
pengguna mengharapkan umpan balik langsung dari merek. Dalam banyak kasus,
pengguna lain tidak ikut mendukung kritik yang disampaikan kepada merek. Terkadang
pengikut lainnya membela brand dan menjawab langsung ke pelanggan yang
mengeluh. Oleh karena itu, rasa tanggung jawab moral di antara pengikut dalam laman
merek tidak dapat ditiadakan sepenuhnya tapi jelas bukan karakteristik
konstitutif laman merek.
Singkatnya, beberapa argumen mendukung perbedaan konseptual
antara komunitas merek dan laman merek. Titik pusat perbedaan adalah adanya rasa
memiliki dalam komunitas namun tidak muncul pada laman merek. Namun, laman
merek dapat mengakomodasi bentuk komunitas. Subkelompok pengikut dapat
membangun hubungan antara satu sama lain dan menciptakan rasa kebersamaan. Tapi
hal tesebut tidak dapat digeneralisasikan. Oleh karena itu, perbedaan antara
kedua konsep itu wajib dan membenarkan fokus sendiri untuk halaman merek.
Konsep Laman Merek
Laman merek dapat didefinisikan sebagai situs yang disiapkan
oleh merek dalam jaringan sosial. Setiap pengguna bisa mengakses laman merek.
Saat dia mengklik tombol "like", dia secara otomatis mengikuti laman
merek dan mendapat update dari brand melalui newsfeednya.
Pengguna dapat mengkonsumsi secara pasif atau memanfaatkan
kesempatan mereka untuk berinteraksi secara aktif dengan merek. Mereka juga
dapat berkomunikasi dengan pengguna lain atau mengirim komentar, gambar atau
video, mengajukan pertanyaan atau menggunakan aplikasi.
Beberapa laman merek mungkin bisa menciptakan rasa
kebersamaan bagi sejumlah pengguna mereka. Itu biasanya sangat
interaktif. Laman merek lainnya sama seperti papan buletin tanpa interaksi
sama sekali. Namun, mereka mungkin bisa menjalin ikatan dengan audiens mereka
melalui konten informatif. Laman merek diintegrasikan ke dalam jejaring sosial
(misalnya Facebook). Karena itu, sebenarnya media tidak dimiliki oleh brand
maupun penggunanya.
Referensi:
Kleine-Kalmer B. 2016. Brand
Page Attachment: An Empirical Study on Facebook Users’ Attachment to Brand
Pages. Springer Fachmedien Wiesbaden
Tidak ada komentar:
Posting Komentar