Kemarin, saya sempat melakukan diskusi dengan sahabat saya Edy Priyono di grup Association for Marketing and Consumer Behavior, sebuah grup yang digagas oleh sahabat saya Prof Ujang Sumarwan, dosen perilaku konsumen dari Institut Pertanian Bogor. Dalam diskusi tersebut, Mas Priyono mengatakan bahwa dalam komunikasi yang penting adalah bagaimana caranya agar pesan yang dirancang oleh pengirimnya sampai ke target. Kalau misalnya, response yang diharapkan tidak sesuai, itu menunjukkan kegagalan komunikasi.
Menarik. Ini karena bagaimanapun dalam sitausi seperti
sekarang, saat interaksi orang dengan media semakin tinggi -- seseorang tidak
lagi mengandalkan satu media untuk mendapat informasi -- agar suatu pesan
sampai ke target ausidense sangatlah sulit. Saking sibuknya seseorang, dia
makin sulit fokus pada sesuatu yang mungkin datangnya mendadak. Bisa jadi dia
tidak memperhatikan pesan yang dikrimkan oleh seseorang sehingga pengirim pesan
gagal mendapatkan response yang diharapkan.
Dalam buku Uninformed:
Why People Know so Little about Politics and What We Can do about It, Arthur
Lupia dari University of Michigan menulis bahwa jajak pendapat, wawancara
media, dan percakapan sehari-hari mengungkapkan kebenaran yang meresahkan:
warga negara, meski bermaksud baik dan bahkan bergairah terhadap masalah saat
ini, hanya sedikit mengetahui tentang politik.
Ratusan survei mendapati banyaknya orang yang menjawab
pertanyaan mendasar tentang pemerintah secara tidak benar. Mengingat keadaan
yang tidak menguntungkan ini, tidak mengherankan jika orang yang merasa lebih
berpengetahuan sering mencemooh publik karena ketidaktahuannya. Beberapa ahli
bahkan berpikir, jangan-jangan warga masyarakat yang kurang mengetahui tentang
politik itu sengaja dibuat agar mereka tetap berada di luar politik.
Seperti yang ditunjukkan Arthur Lupia dalam Uninformed, kondisi
seperti itu sangat tidak konstruktif. Kritik terhadap ketidaktahuan publik itu
bisa jadi cuma kesalahpahaman. Banyak ahli percaya bahwa dengan hanya memberi
lebih banyak fakta kepada mereka akan membuat pemilih mereka lebih kompeten.
Namun, para ahli ini gagal memahami bagaimana kebanyakan orang belajar, dan
karenanya tidak benar-benar mengetahui jenis informasi apa yang relevan buat
mereka. Memberi mereka informasi yang menurut penerimanya tidak relevan tidak akan
mengatasi masalah. Dengan kata lain, sebelum mendidik masyarakat, mereka yang
mengkritik tentang ketidaktahuan publik itu perlu entrospeksi, apa yang
sebenarnya telah lakukan kepada mereka.
Lupia tidak hanya menawarkan kritik; dia juga punya
solusinya. Dengan memberikan gambaran dari banyak hasil penelitian mengenai
topik seperti rentang perhatian dan psikologi politik, dia menunjukkan
bagaimana sebenarnya kita bisa dapat meningkatkan kompetensi isu di antara para
pemilih di berbagai bidang mulai dari peraturan tentang kepemilikan senjata api
hingga perubahan iklim. Untuk mengatasi masalah tersebut, dia mengembangkan
sejumlah teknik untuk menyampaikan secara efektif informasi orang yang mereka
benar-benar peduli. Intinya, informasi yang disampaikan harus sampai dulu kepada mereka.
Perlu diketahui bahwa warga terkadang kurang memiliki
pengetahuan bahwa mereka sejatinya perlu menentukan pilihan politik secara kompeten.
Disini kuncinya adalah bagaimana membuat mereka memiliki pengetahuan yang lebih
besar sehingga dapat memperbaiki pengambilan keputusan politik mereka. Tapi
kita perlu memahami bahwa para pemilih tidak peduli atau memperhatikan banyak
informasi yang menurut para ahli penting.
Dalam konteks iklan, bila diceramti, sampai saat ini peran iklan
TV masih besar, meski harus diakui mungkin tidak sepenting dahulu. Berbeda
dengan dengan dulu, kata-kata yang paling penting tentang periklanan saat ini
adalah "relevansi, keterlihatan, dan data." "Kreatif" yang
dari dulu menjadi dogma periklanan masih penting, tapi tidak sekuat dulu, tulis
Jim Sterne dalam bukunya, Artificial
Intelligence for Marketing : Practical Applications.
.
Perubahan itu dipicu oleh semakin banyaknya iklan merek
membombardir konsumen sehingga bukan saja konsumen menghindari, mereka kini
juga aktif menggunakan aplikasi yang memungkinkan tidak menerima iklan.
Persoalannya adalah pemasar juga perlu menyampaikan keberadaan mereknya kepada
target market mereka. Karena itu, tantangan pengelola merek saat ini adalah
bagaimana merek itu sampai di depan pelanggan sasaran.
Beriklan di televisi saat ini mungkin masih yang murah. Tapi,
bagaimana jika sebuah iklan di televisi diabaikan karena berita besar tentang
gempa? Atau…lainnya misanya? Belum lagi persoalan bahwa orang menonton televisi
saat ini tidak lagi fokus pada televisi di depannya. Sambil menonton tevelisi,
mereka juga melakukan aktivitas lain chattingan atau melakukan aktivitas dengan
smartphonenya misalnya.
Pengelola merek bekerja dengan biro iklan untuk memastikan
koran, majalah, lokasi billboard, acara radio atau program TV sesuai dengan
merek. Ini karena merek itu dianggap terkait tidak hanya dengan mediumnya, tapi
juga gagasan tentang bagaimana media itu diproyeksikan. Misalnya, bila
seseorang ingin menjual obat penguat otot, Anda mempromosikannya melalui media
yang berfokus pada olahraga, kesehatan
pria – sehingga hubungan positif antara pesan / konten media dan tujuan
pemasang iklan untuk merek tersebut bersinergi.
Pemasar tahu bahwa jika mereka menempatkan merek mereka
dengan konten media yang tepat, di depan target mereka, hal itu akan mengarah
pada identifikasi merek, peningkatan merek, dan pertumbuhan penjualan. Karena
itu, yang ingin dicapai selain berapa banyak orang melihat iklan tersebut,
namun memasang iklan di depan orang yang tepat, terkait dengan konten yang
tepat, untuk membangun nilai merek, dan membuat produk lebih menarik bagi
pembeli sasaran.
Dalam periklanan dikenal istilah atribusi. Pada intinya
atribusi itu ada dua hal. Pertama, mencoba untuk mencari tahu apa yang terjadi,
bagaimana orang mendengar tentang kita, apa yang membuat mereka
mempertimbangkan kita, apa yang membuat mereka memutuskan untuk membeli? Kedua,
kita mencoba untuk mengetahui pengaruh relatif dari semua hal yang kita
lakukan. Semua itu memberikan kontribusi, namun bukankah tuntutan pemasang
iklan kini makin realistis? Bukanlah mereka selalu berusaha mengoptimalkan
anggaran dengan berhitung soal uang yang dihabiskan untuk beriklan untuk mendapatkan hal-hal yang sesuai.
Di era internet, semua yang peduli dengan pelanggan, dalam
mengambil keputusan penempatan iklan pemasar sangat mempertimbangkan metriks.
"Berapa banyak penempatan yang menerima iklan saya?"; "Berapa
banyak orang yang melihat iklan saya?" "berapa banyak orang yang mengklik
iklan saya?" "berapa banyak tampilan halaman yang dihasilkan situs
web ini?"; "Berapa banyak tampilan halaman yang dihasilkan oleh
penulis atau blogger?" Pertanyaan yang paling berat adalah "Apakah
kita mempunyai informasi tentang siapa peselancar internet yang mengikuti
mereka, dan mengirimkan iklan saat mereka melalui halaman dan situs web?"
Pada titik ini, konten tidak lagi penting. Beberapa kajian
menghasilkan berbagai teori dan model pemilihan media. Dua model yang mendapat
perhatian yang besar dari para pakar adalah media richness theory (Daft &
Lengel, 1986) dan model pengaruh sosial (Fulk, Schmitz, & Steinfield,
1990). Media richness theory
berpendapat bahwa pilihan media adalah fungsi kecocokan kompleksitas pesan
dengan kekayaan media (Lengel & Daft, 1988). Media disusun sepanjang
kontinum kekayaan berdasarkan empat kriteria: potensi umpan balik segera,
berbagai isyarat, bahasa alami, dan fokus pribadi (Trevino, Daft, & Lengel,
1990).
Proposisi dasar media
richness theory adalah bahwa ketika pesan yang disampaikan masih
samar-samar, yang berarti memiliki potensi multitafsir (D'Ambra & Rice,
1994; Lengel & Daft, 1988), komunikator menggunakan media yang peringkatnya
lebih tinggi berdasarkan empat kriteria kekayaan tersebut. Artinya, penggunaan
saluran komunikasi atau media yang “kaya” (seperti tatap muka langsung dan
telepon) dianggap lebih tepat untuk mengatasi situasi yang tidak jelas
(equivocal situations) yang memungkinkan terjadinya multiinterpretasi terhadap
informasi yang tersedia.
Di sisi lain, media yang “miskin” (seperti dokumen tertulis
atau komunikasi melalui mediasi komputer) tepat digunakan untuk mengurangi
ketidakpastian (dimana informasi sangat terbatas). Dalam konteks periklanan dan
kebutuhan konsumen melalui media sosial, jika beberapa penampil halaman
diketahui mencari meja kerja, iklan meja kerja yang ditempatkan di halaman yang
dibaca pembaca (calon pelanggan), terlepas apapun isinya, lebih efektif
ketimbang iklan dengan kreatif lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar