Tahun 2004, James Surowiecki menulis buku The Wisdom of Crowds: Why the Many Are
Smarter Than the Few and How Collective Wisdom Shapes Business, Economies,
Societies and Nations. Sebagaimana judulnya, tesis yang dibangun Surowiecke dalam
buku itu adalah sebuah prediksi atau keputusan hasilnya akan jauh lebih baik
bila keputusan atau prediksi itu didasarkan atas masukan atau sumbangan
informasi atau pemikiran dari banyak orang yang independen ketimbang yang hanya
berdasarkan pertuimbangan individu atau masukan sedikit orang, sekalipun
individu tersebut pintar.
Pertanyaannya adalah informasi seperti apa yang bisa membuat
keputusan atau prediksi menjadi efektif? Untuk itu Surowiecke mengajukan
kondisi bahwa suatu informasi secara kolektif bermanfaat bila, pertama terdapat
keragaman pendapat. Artinya, setiap orang harus memiliki informasi sendiri,
termasuk interpretasi terhadap fakta yang mereka ketahui. Karena itu, Surowiecki
menekankan perlunya keragaman di dalam suatu crowd untuk memastikan varians
yang cukup dalam pendekatan, proses berpikir, dan informasi pribadi.
Kedua, orang yang memberikan informasi tersebut harus bebas
merdeka. Ini berarti pendapat yang dikemukakan tidak dipengaruhi atau
ditentukan oleh lain, termasuk orang-orang di sekitar mereka. Ketiga, desentralisasi.
Disini, pendapat atau informasi yang disampaikan memiliki karakteristis kekhususan,
termasuk yang didasarkan pada pengetahuan dan memanfaatkan pengetahuan lokal.
Bencana
pesawat ulang-alik Columbia 2003, menurut Surowiecke terjadi karena manajemen
birokrasi hirarkis NASA yang menutup diri terhadap pendapat para insinyur
tingkat bawah.
Kegagalan intelijen AS mencegah serangan 11 September 2001
sebagian karena informasi yang dipegang oleh satu subdivisi tidak dapat diakses
oleh pihak lain.
Argumen Surowiecki adalah bahwa sebenarnya para analis
intelijen telah bekerja dengan baik saat mereka menentukan sendiri apa yang
harus dikerjakan dan informasi apa yang mereka butuhkan. Namun karena ketertutupan
birokrasi di diatasnya, membuat informasi yang disampaikan intelijen di
lapangan menjadi percuma. Karena itulah, yang keempat, adalah adanya agregasi.
Disini ada mekanisme dan aturan main yang berfungsi mengubah penilaian pribadi
menjadi keputusan kolektif.
Untuk membuktikan bahwa kecerdasan kelompok mengalahkan
kecerdasan individu, Surowiecki memberikan ilustrasi acara permainan TV Who
Wants to Be a Millionaire? (di Indonesia, permainan ini tayag di RCTI dengan
host Tantowi Yahya). Acara ini adalah sebuah pertunjukan sederhana. Seorang
kontestan mengajukan banyak pertanyaan pilihan, yang secara berturut-turut
semakin sulit, dan jika dia menjawab lima belas pertanyaan berturut-turut
dengan benar, dia berpeluang mendapatkan hadiah $ 1 juta.
Gimmick acara itu adalah jika seorang kontestan bingung
dengan sebuah pertanyaan, dia bisa meminta bantuan mealui tiga cara. Pertama,
dia bisa memiliki dua dari empat jawaban pilihan ganda yang dihapus (jadi
setidaknya dia akan memiliki lima puluh lima peluang jawaban yang benar).
Kedua, dia bisa menelepon seorang teman atau kerabat atau seseorang yang
menurut dia nilai paling cerdas yang dia kenal, dan meminta jawabannya
kepadanya. Ketiga, dia bisa meminta bantuan penonton di studio, yang akan
segera memberikan suaranya melalui komputer.
Setelah beberapa kali melakukan pengamatan atas acara itu, Surowiecki
menyimpulkan bahwa ternyata pada dasarnya individu yang cerdas yang paling
banyak menawarkan bantuan. Para "ahli" mempunyai keinginan yang besar
untuk menawarkan jawaban yang benar meski dia berada di bawah tekanan setidaknya
oleh keterbatasan waktu yang disediakan untuk memberikan jawaban itu. Dilihat
lebih jauh, ternyata 91% jawaban yang diberikan oleh orang-orang punya pikiran
bahwa mereka lebih baik bekerja dari pada duduk di depan pesawat televisi
benar.
Sejak 1 Oktober lalu, channel FOX menayangkan serial
berjudul Wisdom of the Crowd. Serial
itu bercerita soal gagasan seorang entrepreneur sosial yang ingi memberdayakan
masyarakat untuk menuntaskan pemasalahan di depan mereka. Idenya datang dari
tulisan Surowiecki. Didorong oleh tekadnya untuk menemukan pembunuh putrinya,
inovator teknologi Silicon Valley, Jeffrey Tanner, mengajak banyak orang masuk ke
dunia baru dengan menciptakan platform digital bagi orang-orang di seluruh dunia untuk berbagi dan
mengevaluasi bukti-bukti penyelidikan kriminal secara terbuka.
Dia menggunakan perangkat lunak sebagai landasan untuk
meluncurkan perusahaan baru dengan staf spesialis yang penuh gairah - termasuk
petugas polisi beneran yang mencari pembunuh putrinya. Meski dia sendiri –
sampai episode Senin kemarin -- gagal menemukan pembunuh putrinya, namun dia berhasil
merevolusi cara masyarakat dalam menyelesaikan kasus-kasus kejahatan di kawasan
Teluk San Francisco.
Sepintas tak ada yang baru dari gagasan dalam film serial
yang tayang di Fox sejak 1 Oktober lalu tersebut. Namun penggunaan perangkat
teknologi ditambah dengan unsur dramatisasi membuat serial itu menarik, minimal
buat saya, sekaligus memiliki makna sosial yang tinggi, yakni bagaimana menggalang
massa untuk menemukan solusi. Dengan perangkat teknologi terhubung melalui
internet, semua pengguna teknologi internet dan smartphone bisa memberikan
kontribusi atas pemasalahan kota, seperti bagaimana polisi mendapat sumbangan
informasi dari warga untuk menemukan pelaku kejahatan pembunuhan, termasuk yang
telah lama terjadi.
Dalam usahanya ikut membantu mengungkap kasus-kasus
kejahatan seperti pembunuhan dan penculikan, Tanner dan teman-temannya yang
tergabung dalam The Source dimulai dulu dengan menyebarkan misalnya, foto orang
yang dalam beberapa hari tidak pulang ke rumah. Seperti halnya kita menyebarkan
informasi melalui Facebook atau pesan langsung seperti WhatsApp dan sebagainya.
Setelah foto dosebar, mereka menunggu respon informasi dari orang-orang yang
terhubung yang jumlahnya mencapau 200 ribuan lebih dan tersebar di seluruh
dunia itu.
Tak ada yang baru dari model penyebaran itu. Tahun 1980an,
kita mengenal radio komunikasi antar penduduk. Konon seperti yang dikutip serial
NCIS 15 yang tayang pukul 06.00 Senin kemarin, radio antar penduduk ini banyak
membantu “menyambung kehidupan” karena menyebarkan informasi tentang peristiwa
9 September dan badai Katrina di AS. Dengan alat itu agen khusus McGee melacak an
berhasil mengidentifikasi Ricochet yang diduga mengetahui pembunuh seorang
marinir AS.
Tahun 1944, Departemen Kehutanan AS pernah mengalami
kesulitan untuk mengatasi asap akibat kebakaran hutan yang tidak terkendali.
Lalu, ide apa yang dibutuhkan untuk mengatasi masalah tersebut? Menakut-nakuti?
Membuat regulasi? Mengadakan hujan buatan? Tentu saja tidak. Departemen
Kehutanan AS muncul dengan ide kreatif dengan menciptakan maskot bernama Smokey
Bear di tahun 1944 yang disasarkan untuk mendidik generasi muda mengurangi
kebakaran hutan. Smokey Bear berhasil menurunkan kebakaran hutan sebesar 80%.
Smokey Bear merupakan ikon AS layaknya Mickey Mouse atau
Bugs Bunny. 95% penduduk dewasa dan 77% anak-anak 5-13 tahun di AS mengenali
Smokey Bear dan memberikan inspirasi pembuatan maskot kampanye anti polusi
bernama Woodsy Owl. Smokey Bear menjadi salah satu kisah komunikasi pemasaran
tersukses di AS yang bertahan sampai tiga generasi. Bahkan akhirnya Kongres AS
memutuskan menjadikan Smokey Bear milik pemerintah dibawah kendali Kementerian
Pertanian.
Hal yang sama pernah dicoba dilakukan oleh KPK di Indonesia
yang mencoba mengkomunikasikan ide anti-korupsi yang intangible. Ide yang cukup
kreatif dilakukan melalui inisiatif awal yang bagus dengan komik “Pemburu
Koruptor” Tiga tokoh utama ditampilkan yaitu Tara, Imel dan Tifa. Meskipun hasilnya belum terlihat karena memang
mengubah perilaku korupsi dalam perspektif pemasaran adalah sebuah pekerjaan
jangka panjang, kreatifitas KPK perlu dihargai karena kreatifitas memang tidak
ada batasnya.
Yang dilakukan Tanner, Departemen Kehutanan AS, KPK, dan
mungkin Anda adalah sesuatu yang sederhana namun kuat. Dalam situasi yang
tepat, kelompok akan menjadi sangat cerdas, dan seringkali lebih pintar
daripada orang terpandai secara individual. Suatu kelompok tidak perlu
didominasi oleh orang-orang yang sangat cerdas agar bisa pintar.
Bahkan jika
sebagian besar orang dalam kelompok tidak terlalu mengetahui atau mendapatkan
suatu informasi sehingga mereka lebih rasional sekalipun, itu masih dapat mencapai
keputusan yang secara kolektif lebih bijaksana. Intinya semakin banyak kepala yang
independen dan satu tekad adalah baik karena manusia bukanlah pembuat keputusan
yang dirancang dengan sempurna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar