"Tak seorang pun dilahirkan untuk membenci orang lain karena
warna kulit, latar belakang, atau agamanya. Orang harus belajar membenci, dan
jika mereka bisa belajar membenci, mereka bisa diajari untuk mencintai, karena
cinta datang secara alami ke hati manusia bukan sebaliknya. "
- Nelson Mandela, Long
Walk to Freedom
Ketika pada akhirnya
pengadilan memutuskan Nelson Mandela tidak bersalah pada Maret 1961, pemerintah
Perdana Menteri Hendrik F. Verwoerd (arsitek dan ahli ideologi terkemuka
apartheid) marah. Dia bereaksi dengan melipatgandakan tekanan terhadap warga kulit
berwarna dengan mengintensifkan upaya memarjinalkan mayoritas kulit hitam dan
mengabaikan peraturan hukum yang berlaku.
Amarah sang perdana
menteri tidak dilawan dengan kemarahan. Mandela malah mendekati pemerintah
apartheid untuk berdialog. Tak ada reaksi positif dari pemerintah. Yang dia
peroleh justru hukuman kurungan penjara, hingga pada akhirnya Mandela harus
memikirkan ulang strategi perjuangannya karena pada titik tertentu belum
menghasilkan. Pada akhirnya, Mandela harus menentukan pilihan, damai atau
perang.
Pertengahan 1961, Mandela
mulai sadar bahwa taktik anti-kekerasan telah gagal. Tekadnya sekarang melawan pemerintah apartheid. Mandela memimpin
sayap gerilyawan ANC (African National Congress), yang disebut Umkhonto kita
Sizwe (Tombak Bangsa, atau MK) melakukan perlawanan bawah tanah.
Dia terpaksa melawan
nuraninya sendiri. Dia memang mendirikan MK - kegiatannya termasuk perjalanan
ke seluruh Afrika untuk mengumpulkan senjata dan dana – namun Mandela lebih suka
berjuang tanpa amarah dan kekerasan. Namun apa daya, yang selama ini dikerjakan
belum membuahkan hasil. Tanpa teriakan amarah, peluru dan meriampun
ditembakkan. Peluru dan meriam bukan untuk membunuh warga kulit putih, tapi instalasi
pemerintah dan properti milik putih.
Itulah titik balik dari upaya dialog yang dilakukan Mandela.
Ketika dialog tidak ditanggapi, peluru dilepaskan, parang, tombak dan sejata
tajam lainnya dikerahkan. Perjuangan melalui MK adalah upaya terakhir. Itu
dilakukan untuk mencegah perjuangan anti-apartheid sekarat. Itu sebabnya
perlawanannya tidak membabibuta.
Orang pun memaklumi
langkahnya. Apalagi Mandela sudah menegaskan bahwa tujuan perlawanan bersenjatanya
bukan untuk memicu perang ras, tapi untuk mendorong pemerintah apartheid bernegosiasi.
Tetapi, "Jika sabotase tidak menghasilkan sesuatu yang kita
inginkan," katanya, "kami siap untuk melanjutkan ke tahap berikutnya:
perang gerilya dan terorisme," kata Mandela (Long Walk to Freedom: 246-247). Toh pada akhirnya, Mandela bisa menciptakan perdamaian dan membangun cinta dengan dialog.
Tak ada yang membantah
bahwa dialog telah digunakan selama berabad-abad untuk membantu menghasilkan
makna bersama. Dialog menghilangkan kebencian untuk membangun peradaban
modern, karena dialog -- menurut Aristoteles dan Plato serta
filosuf -- mampu mengklarifikasi dan
mengkomunikasikan pemahaman tentang filsafat yang sebenarnya kompleks. Maknanya
adalah bahwa serumit apapun persoalan, setinggi apapun kebencian, bisa direndahkan melalui dialog.
Bahkan untuk membuat
suatu bangsa menjadi makmur. Freire percaya bahwa hal itu bisa dilakukan melalui
dialog. Itu berarti komunikasi harus dilakukan secara terus menerus. Saat guru
dan peserta didik berdialog, selalu ada terobosan. Memang tidak mudah karena
dalam melakukan dialog selalu ada upaya memediasi realitas sosial.
Wajar karena dialog
merupakan bagian dari membuat perbedaan. Kenapa? Karena dialog merupakan bentuk
praksis kolektif yang secara langsung berkaitan dengan pembukaan selubung
kondisi ketidakadilan yang dikaburkan oleh kelas penguasa. Proses ini penting
dan bisa dimaknai sebagai peningkatan komunitas dan pembangunan modal sosial
yang mengarah pada keadilan dan perkembangan manusia.
Cukup banyak orang yang
mengatakan bahwa dialog adalah bentuk percakapan bermakna yang memiliki
landasan dalam mengidentifikasi, kesadaran, dan penghentian asumsi yang ada
sebelumnya untuk mencapai makna dan pengertian baru bersama (Schein, 1999).
Dalam bayangan Preskill dan Torres (1999), dialog inilah yang memfasilitasi
proses belajar yang implementasinya bisa dalam bentuk penyelidikan evaluatif,
mengajukan pertanyaan, dan mengidentifikasi dan mengklarifikasi nilai-nilai
yang ada, kepercayaan, asumsi dan pengetahuan ssebelumnya.
Melalui dialog,
individu membuat hubungan satu sama lain dan mengkomunikasikan pemahaman dan
sosial masing-masing yang dijadikan sebagai pemandu perilaku selanjutnya.
Dialog juga digambarkan sebagai "berbicara dengan" atau
"penyelidikan bersama, cara berpikir dan refleksi bersama" (Isaacs,
1999, hal 9). Bahkan -- tidak sekadar berbicara dan berpikir dengan -- dialog
merupakan cara dan bekerja bersama dengan orang lain.
Seringkali dalam
mendefinisikan dialog, ada penekanan pada struktur akar kata “dia” dan “logo”
yang menghasilkan definisi "makna yang mengalir melewatinya" (Bohm,
1996). Artinya, Bohm (1996) menggambarkan dialog sebagai bertujuan untuk
memasuki keseluruhan proses berpikir dan mengubah proses pemikiran secara
kolektif menjadi solusi bersama.
Dengan demikian, dalam
sebuah dialog, setiap orang tidak berusaha membuat gagasan atau sesuatu yang
diketahui sesuai dengan yang sudah diketahui dirinya. Sebaliknya, dapat
dikatakan bahwa kedua orang tersebut membuat sesuatu yang sama, yaitu
menciptakan sesuatu yang baru bersama (Bohm, 1996 hal. 2).
Dialog sering terjadi
dalam bentuk percakapan yang didasarkan pada pemikiran para partisipan yang
terungkap pada saat percakapan berlangsung. Agar bisa masuk ke dalam dialog,
yang harus ada adalah rasa kesetaraan di antara peserta. Tak ada rasa bahwa
saya lebih kuat dari dia. Tak ada rasa bahwa saya benar dan dia salah.
Masing-masing harus
mempercayai yang lain dan harus ada rasa saling menghormati dan cinta (care and commitment). Masing-masing
harus menyatakan problem dan apa yang mereka ketahui serta mempertanyakan apa
yang tidak dia ketahui, sehingga mereka bisa memahami satu sama lain. Dengan
cara itu, melalui dialog, pikiran yang ada akan berubah dan pengetahuan baru
akan tercipta (Mayo, 1999).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar