Beberapa waktu lalu, saya diundang Kantor Staf Presiden sebagai peserta Focus Group Discussion (FGD) tentang Nation Brand. Dal diskusi itu hadir para akademisi, pelaku bisnis baik bisnis online, kreatif seperti advertising dan musik, serta dari kalangan penggiat sosial. Ada sekitar 40an orang hadir dalam diskusi di Bina Graha dan dihadiri oleh Kepala Staf Presiden (saat itu) Teten Masduki.
Banyak masukan yang muncul, termasuk salah satunya dari seorang profesor, bintang film, dan artis penyanyi. Yang pertama menceritakan pengalamannya tentang situasi yang ditemui saat dia keluar dari bandara Bangka Belitung. Dia menjumpai banyak hal-hal yang mungkin bisa melemahkan branding. Sedangkan sang artis menceritakan pengalamannya saat mendampingi tetamunya dari luar negeri di Papua. Dia mengemukakan hal yang sama, yang bisa melemahkan branding.
Saya sendiri saya lupa mendapat giliran yang ke berapa untuk berbicara. Namun dalam forum itu saya menegaskan perlunya Indonesia untuk membangun nation brand. Sebab bagaimana pun saat ini hampir semua negara berlomba berebut investasi dan tamu wisatawan. Bila tidak sekarang, Indonesia tertinggal jauh oleh negara-negara lain, termasuk negara tetangga.
Saya mengilustrasikan bagaimana Sri Langka yang keamanannya selalu terganggu melakukan branding. India yang beberapa tahun lalu dilanda bom dan kasus pemerkosaan mahasiswa yang dilakukan oleh segerombolan remaja juga melakukan branding. Vietnam yang baru mengalami masa damai paska perjanjian Paris tahun 1975 dan disana sini masih dijumpai sisa-sisa ranjau juga melakukan branding. Alhamdulillah response teman-teman yang hadir positif.
Harus diakui bahwa Indonesia menghadapi banyak persoalan sosial yang mungkin bisa melemahkan reputasinya. Namun demikian hal tersebut bukannya tidak mungkin untuk diubah. Banyak negara yang berhasil mengubah citranya.
Banyak masukan yang muncul, termasuk salah satunya dari seorang profesor, bintang film, dan artis penyanyi. Yang pertama menceritakan pengalamannya tentang situasi yang ditemui saat dia keluar dari bandara Bangka Belitung. Dia menjumpai banyak hal-hal yang mungkin bisa melemahkan branding. Sedangkan sang artis menceritakan pengalamannya saat mendampingi tetamunya dari luar negeri di Papua. Dia mengemukakan hal yang sama, yang bisa melemahkan branding.
Saya sendiri saya lupa mendapat giliran yang ke berapa untuk berbicara. Namun dalam forum itu saya menegaskan perlunya Indonesia untuk membangun nation brand. Sebab bagaimana pun saat ini hampir semua negara berlomba berebut investasi dan tamu wisatawan. Bila tidak sekarang, Indonesia tertinggal jauh oleh negara-negara lain, termasuk negara tetangga.
Saya mengilustrasikan bagaimana Sri Langka yang keamanannya selalu terganggu melakukan branding. India yang beberapa tahun lalu dilanda bom dan kasus pemerkosaan mahasiswa yang dilakukan oleh segerombolan remaja juga melakukan branding. Vietnam yang baru mengalami masa damai paska perjanjian Paris tahun 1975 dan disana sini masih dijumpai sisa-sisa ranjau juga melakukan branding. Alhamdulillah response teman-teman yang hadir positif.
Harus diakui bahwa Indonesia menghadapi banyak persoalan sosial yang mungkin bisa melemahkan reputasinya. Namun demikian hal tersebut bukannya tidak mungkin untuk diubah. Banyak negara yang berhasil mengubah citranya.
Ambil contoh Thailand. Salah satu isu yang paling penting
menempatkan Thailand pada kerugian yang signifikan adalah citra pariwisata seks
Thailand. Kaitan kuat antara Thailand dan wisata seks dimulai selama Perang
Vietnam pada 1960-an dan 1970-an, ketika Thailand dan militer AS menandatangani
perjanjian yang memungkinkan tentara AS untuk datang ke Thailand untuk
‘Istirahat dan Rekreasi’ (Truong, 1990; Miller, 1995).
Sampai beberapa tahun silam, Thailand memiliki masalah
serius terkait perdagangan seks, seperti halnya banyak terjadi di negara
lainnya. Namun, ada persepsi bahwa masalah yang dihadapi Thailand jauh lebih
buruk karena banyak orang berpikir bahwa negara tersebut menyediakan akses yang
mudah pada layanan ini. Kusy (1991) mengklaim bahwa industri seks Thailand
telah menjadi objek wisata tersendiri. Dalam beberapa buku panduan wisata,
beberapa kawasan lampu merah ini sengaja direkomendasikan.
Berapa jumlah pelacur di Thailand, sangat bervariasi dan
menjadi subyek perdebatan kontroversial. Statistik yang dilaporkan oleh Kantor
Perburuhan Internasional (ILO) pada tahun 1998 menunjukkan bahwa dari total
104.262 karyawan di 7.759 perusahaan tempat layanan seksual, 64.886 orang
menjual layanan seks, sementara 39.376 adalah personil pendukung, misalnya
pemilik atau penyediaa fasilitas pendukung lainnya (Lim, 1998). Laporan Hak
Asasi Manusia Departemen Luar Negeri AS (2005) memperkirakan bahwa ada
200.000-300.000 pekerja seks di Thailand.
Sebagai negara kecil yang sedang berkembang, Thailand
menyadari kebutuhan untuk meningkatkan nation brand nya untuk bersaing
di pasar global yang kompetitif. Untuk itu Thailand melakukan branding. Langkah
pertama dari proyek yang diprakarsai oleh Pemerintah Thailand ini adalah
mengetahui dan mempelajari bagaimana orang-orang di seluruh dunia melihat kekuatan
dan kelemahan bangsanya.
Untuk memperbaiki citra negatif ini, Thailand mengambil dua
langkah perbaikan nyata, yakni kebijakan pemerintah dan peningkatan citra
melalui strategi place branding. Beruntung Thailand memiliki banyak fitur dan
image yang positif, seperti pemandangan alam yang indah, sejarah yang kaya dan
budaya yang unik.
Untuk itu, Pemerintah Thailand menggandeng LSM dan
organisasi lainnya, baik lokal maupun internasional, bekerja proaktif
menengatasi permasalahan tersebut. Pemerintah Thailand mengambil kebijakan
menghentikan penghisapan para pekerja seks. Kebijakan lain adalah meningkatkan
program pencegahan dan memberikan lebih banyak pilihan gaya hidup bagi mereka
yang terlibat dalam prostitusi. Salah satu contoh dari hal ini di Thailand
adalah program konseling di bidang pendidikan dan pekerjaan yang ditujukan
secara khusus pada gadis-gadis muda beresiko direkrut ke dalam perdagangan seks.
Sementara itu, kualitas positif Thailand di berbagai
tingkat, mulai dari lingkungan fisik pelayanan publik, hiburan dan rekreasi
atraksi dan sifat rakyat Thailand dieksplotasi dan dikomunikasikan dengan
agresif. Komponen kolektif ini memberikan kesempatan bagi Thailand untuk
bersaing di pasar global. Thailand memiliki keuntungan dari berbagai wisata
alam yang beragam, terdiri dari pegunungan, hutan, air terjun, sungai dan
pantai, dikombinasikan dengan sejarahnya dan budaya yang kaya.
Thailand juga menawarkan segala bentuk tradional
dariThailand. Perayaan tradisional dan kegiatan untuk menikmati memeriahan
Thailand ditawarkan dan dikelola sedemikian rupa sehingga wisatawan mendapatkan
pengalaman yang menarik. Ini termasuk tawaran Thailand sebagai salah satu
tempat terbaik untuk berbelanja, di mana pengunjung dapat menemukan berbagai
pilihan produk dan layanan dengan harga yang wajar.
Infrastruktur yang bisa merusak daya tarik Thailand juga
diperbaiki, termasuk mengurangi dampak yang diakibatkan oleh atraksi dan
kemeriahan serta persoalan sosial seperti kemacetan lalu lintas, polusi dan
pengelolaan limbah yang buruk. Meskipun penelitian Branding Thailand menemukan
bahwa konsumen (yaitu wisatawan) kurang mempertimbangkan faktor-faktor tersebut
dibandingkan dengan atraksi rekreasi dan hiburan, namun pemerintah Thailand
terus berusaha meningkatkan infrastruktur dan pelayanan publik (misalnya
perlindungan terhadap warga, termasuk wisatawan dan propertinya; jaminan sosial
dan pendidikan bagi warganya ) terus dikembangkan untuk mengakomodasi perluasan
industri pariwisata.
Untuk menerapkan perbaikan citra yang efektif, Thailand
mengkomunikasikan elemen dan karakteristik positifnya kepada wisatawan dan
penduduk local. Ini perlu dialukan sebab bagaimanapun citra suatu tempat
dipengaruhi oleh nilai yang dirasakan yang disampaikan kepada pelanggan.
Kampanye pariwisata biasanya membawa slogan atau slogan untuk menyatukan dan
menggarisbawahi nilai dan identitas tempat yang dipromosikan juga dilakukan.
Dalam konteks komunikasi, beberapa temuan penelitian tentang
Thailand menunjukkan bahwa kata 'eksotis' paling sering dikaitkan dengan citra
Thailand dan menyampaikan kualitas luar biasa dari negara ini. Namun demikian,
penggunaan kata ini justru dihindari karena dapat menyampaikan atribut seksual
dan memicu kesan pariswisata seks.
Hall (1992) mencatat bahwa bagian dari daya tarik Thailand
terhadap turis seks adalah karena citra 'oriental eksotis'-nya dengan biaya
prostitusi yang rendah. Secara umum, Thailand memiliki keunikan eksotisme.
Thailand memiliki image kehangatan dan keakraban yang pada dasarnya dapat
menyampaikan keramahan. Namun beberapa orang mengasosiasikan ini sebagai
karakteristik pelacur Thailand yang membedakan mereka dari pekerja seks di
negara lain yang seringkali dianggap terlalu dingin dan dikomersialkan
(Davidson dan Taylor, 1996).
Apalagi kadang kala fleksibilitas yang mencirikan orang
Thailand muncul dalam bentuk yang mengarah pada persepsi negatif. Dalam sebuah
penelitian terhadap wisatawan seks Inggris di Thailand (ibid), beberapa
responden merujuk pada sifat wanita Thailand yang dianggap patuh dan akomodatif
secara genetis dan budaya cenderung terhadap subordinasi dan penyangkalan diri.
Bila Australia Selatan memiliki slogan 'Relax, Indulge,
Discover, Enjoy' dan Maladewa memiliki slogan 'The Sunny Side of Life', kampanye
pariwisata Thailand untuk membangun
kesadaran masyarakat bahwa Thailand berubah dilakukan dengan menggunakan konsep
'Amazing Thailand.' . Ini merupakan bentuk lain dari implementasi gagasan yang
didasarkan pada persepsi tentang eksotika Thailand.
Slogan itu ditonjolkan karena banyaknya wisatawan yang menikmati
eksperimennya dengan sesuatu yang baru, eksotis atau berbeda dari lingkungan
rumah atau kehidupan sehari-hari mereka. Hanya saja, dalam memilih kata-kata
untuk mewakili dan memposisikan citra negara, tidak hanya harus mempertimbangkan
makna positif tetapi juga kemungkinan menyiratkan konotasi negatif.
Alat komunikasi merek lain adalah penggunaan simbol visual.
Beberapa tempat menggunakan situs yang dapat dengan mudah menancap di benak orang
dan terkait dengan tempat tertentu. Misalnya, Opera House dengan Sydney, Tembok
Besar China dengan Beijing dan Taj Mahal dengan Agra. Simbol visual yang sukses
perlu melambangkan dan memperkuat citra suatu tempat tertentu dan juga harus
konsisten dengan slogan atau tema tempat itu.
Perkembangan merek terbaru Hong Kong memilih slogan 'Asia's
World City' dan memilih menggunakan gambar naga. Logo ini juga
menggabungkan huruf HK dan nama negara yang ditulis dengan kaligrafi China.
Idenya adalah untuk menyampaikan perasaan yang dinamis, kecepatan dan perubahan
serta mencerminkan karakteristik negara (Yu, 2003). Namun demikian, kampanye
branding tempat ini menemui karena pengenalan dan pemahaman yang rendah dan
memerlukan pengembangan lebih lanjut untuk mengkomunikasikan citra yang benar
kepada penduduk lokal dan wisatawan internasional dan investor.
Kotler dkk. (2002) mengemukakan bahwa salah satu cara untuk
menangani citra negatif suatu tempat adalah dengan menggunakan 'denying visual'
untuk mengalahkan target audiens dengan citra positif. Strategi ini hadir
dengan resiko. Berdasarkan pemikiran tersebut, dalam kamapnye brandingnya, Bangkok
selalu ditampilkan seakan menggambarkan dirinya sendiri dengan menggunakan
gambar Grand Palace yang digambarkan sebagai gambar yang indah dan tenang,
padahal kenyataannya Grand Palace terletak di tengah kota di tengah kemacetan
yang padat.
'Penyangkalan visual' ini membuat frustrasi di kalangan
pengunjung yang memiliki harapan tinggi karena mereka merasa ditipu oleh
kampanye pencitraan merek. Porritt (2006) mengemukakan bahwa wisatawan yang mengerti
merasa sangat tidak nyaman dengan ketidakcocokan antara image yang
diproyeksikan melalui alat pemasaran dan kenyataan yang dialami pelancong.
Selain penggunaan negara dalam simbol visual, Thailand
juga telah digambarkan oleh image orang Thailand (misalnya gambar pramugari
cantik yang digunakan oleh Thai Airways International) yang dirancang untuk
menyampaikan posisi keramahan Thailand. Namun, penggunaan image wanita Thailand
juga harus dipikirkan dengan baik, terutama karena stigma negatif dari
perdagangan seks di Thailand.
Dalam sebuah studi penelitian yang menggunakan kelompok
fokus pengunjung asing yang dilakukan oleh Otoritas Pariwisata Thailand, satu
peserta merujuk pada serangkaian papan reklame jalan raya sebuah maskapai yang
memerankan serangkaian gadis muda yang tersenyum. Lalu persepsi yang muncul
dari gambar pada papan reklame tersebut adalah asosiasi negara dengan
pariwisata seks.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar