Rabu malam, 19 Agustus 1998, Sjamsul
Nursalim, pemilik Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), kelihatan cerah. Juga
tampak tenang dan acap kali tersenyum. Bahkan sesekali dia tertawa lepas.
Bicaranya agak emosi, terkadang.
Itu wajar. Sebab, saat ini dia menghadapi berbagai tekanan yang mungkin terberat dalam hidupnya. Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional Glenn Yusuf misalnya, mengultimatum BDNI untuk mengembalikan bantuan likuiditas yang dikucurkan Bank Indonesia (BLBI) sekitar Rp 27,6 triliun, akhir Agustus ini.
Itu wajar. Sebab, saat ini dia menghadapi berbagai tekanan yang mungkin terberat dalam hidupnya. Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional Glenn Yusuf misalnya, mengultimatum BDNI untuk mengembalikan bantuan likuiditas yang dikucurkan Bank Indonesia (BLBI) sekitar Rp 27,6 triliun, akhir Agustus ini.
Sjamsul kini seakan memang menjadi
terhukum. Beberapa orang menyebutnya sebagai koruptor. Bahkan pertengahan bulan
ini, rumahnya di kawasan elite Simpruk, Jakarta Selatan, sempat dikepung 60-an
demonstran dari Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia. Mereka menuntut aparat
menangkap Sjamsul dan mempertanggungjawabkan BLBI yang disalurkan ke BDNI. Dia
dikabarkan sudah melarikan diri ke luar negeri meski Ditjen Imigrasi secara
resmi telah melakukan pencekalan. Juga ada kabar dia melarikan kekayaannya
keluar negeri.
Sebelumnya, dalam tulisannya di Kompas,
Kwik Kian Gie membeberkan praktek tak wajar Sjamsul. Dalam tulisan itu
disebutkan bahwa kelompok bisnis Sjamsul telah memakai Rp 24,4 triliun atau
90,7% dari Rp 27,6 triliun BLBI yang disalurkan ke BDNI.
Bahkan BDNI yang masuk perawatan BPPN sejak April lalu, antara Mei dan Oktober 1997, memberikan pinjaman baru kepada grup terkait sejumlah US$ 600 juta. Ada saran agar pemilik BDNI diseret di meja hijau mengingat dokumentasi dari pinjaman terafiliasi sangat lemah.
Bahkan BDNI yang masuk perawatan BPPN sejak April lalu, antara Mei dan Oktober 1997, memberikan pinjaman baru kepada grup terkait sejumlah US$ 600 juta. Ada saran agar pemilik BDNI diseret di meja hijau mengingat dokumentasi dari pinjaman terafiliasi sangat lemah.
Benarkah? Di salah satu ruang rapat lantai
XIV Gedung BDNI, Jakarta, sekitar dua setengah jam lulusan Watford College of
Technology, London, itu bicara blak-blakan kepada wartawan SWA Aruman, Danang
K. Jati, Joko Sugiarsono, Endang Kamajaya, Teguh S. Pambudi, Nur Iswan, dan
Kemal E. Gani - setelah sebelumnya menolak beberapa kali untuk diwawancarai.
Didampingi Itjih Nursalim, istrinya, Laksamana Purn. Rudolf Kasenda, Komisaris
BDNI, dan Sri Mulyati, Ekskutif Gajah Tunggal, bapak lima orang anak itu bicara
blak-blakan kepada SWA soal pencekalannya, kredit BDNI, pertemanannya dengan
keluarga Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita dan Menko Polkam Feisal Tanjung.
"Saya kenal baik dengan orang tua Pak Ginandjar (Husein Kartasasmita, red)
di asosiasi perkaretan," kata lelaki kelahiran Lampung, 19 Januari 1942
lalu itu.
Beberapa kali isterinya ikut memberikan
penjelasan. Dengan lancar -- ibarat komputer berjalan -- Ny. Itjih menjelaskan
asal muasal terjadinya pembengkakan aset BDNI. Juga sekitar sekitar kucuran
pinjaman US$ 600 juta yang disebut-sebut berbagai kalangan sebagai pinjaman
baru BDNI padahal BDNI mulai bermasalah.
Menurut Itjih, angka itu benar. "Sebagian adalah pinjaman lama yang diperpanjang," kata Itjih. "Sisanya merupakan pinjaman lama dalam rupiah yang dikonversi menjadi dolar, yang merupakan praktek wajar di perbankan."
Menurut Itjih, angka itu benar. "Sebagian adalah pinjaman lama yang diperpanjang," kata Itjih. "Sisanya merupakan pinjaman lama dalam rupiah yang dikonversi menjadi dolar, yang merupakan praktek wajar di perbankan."
Pengusaha yang tahun lalu pernah diculik
ini termasuk salah satu konglomerat papan atas Indonesia. Selain di BDNI,
Sjamsul tercatat sebagai pemilik saham sejumlah bank. Di antaranya Bank SGP,
berkongsi dengan pengusaha hotel Sukamdani Sahid Gitosardjono, dan di Bank
Ganesha serta Bank Dewa Rutji. Di bisnis manufaktur, Sjamsul terkenal sebagai
raja ban - bisnis yang ditekuninya sejak 1969. Bersama istrinya, Itjih, ia
adalah pemilik mayoritas PT Gajah Tunggal, produsen ban yang katanya termasuk
terbesar di Asia Pasifif.
Sjamsul juga raja udang karena dia memiliki
tambak udang terluas di Indonesia, bahkan di dunia, yang berlokasi di Lampung
dan Sumatera Selatan. Masih ada sederet perusahaan lagi. Ada pertokoan Sogo,
tambang batubara hingga pabrik pembalut wanita Softex.
Dari semua bisnisnya, tahun lalu kelompok bisnis Sjamsul meraup devisa sekitar US$ 400 juta. Tahun ini, mereka menargetkan bisa mendapatkan sekitar US$ 500 juta. Bisnis udang dan ban, menurut Sjamsul, merupakan penyumbang devisa terbesar.
Dari semua bisnisnya, tahun lalu kelompok bisnis Sjamsul meraup devisa sekitar US$ 400 juta. Tahun ini, mereka menargetkan bisa mendapatkan sekitar US$ 500 juta. Bisnis udang dan ban, menurut Sjamsul, merupakan penyumbang devisa terbesar.
Berikut perbincangan SWA dan Sjamsul Nursalim.
Anda
dikabarkan lari ke luar negeri. Bagaimana ini?
Dalam beberapa bulan terakhir ini saya
malah tidak pernah ke luar negeri. Mungkin sejak akhir tahun 97 lalu.
Seharusnya saya berangkat ke luar negeri. Dengan demikian mungkin saya bisa
melupakan sejenak masalah ini, dan bisa terus mengikuti perkembangan yang terjadi
di luar negeri.
Tapi
Anda sekarang menjadi sorotan masyarakat?
Menghadapi situasi ini, boleh dikatakan
saya sudah pasrah. Yang penting saya lihat yang baiknya saja. Kalau memang
Tuhan masih memberikan kesempatan dan kemudian masih memberikan jalan dan
Pemerintah juga masih memberikan jalan serta kesempatan untuk berusaha, kami
akan tetap berusaha. (SWA, No. 17 / 1998, Tanggal 20 Aug 1998)
Bersambung...... HARI-HARI MENEGANGKAN SJAMSUL NURSALIM (2)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar