Edhy Aruman - Wartawan Utama (2868-PWI/WU/DP/VI/2012...), pernah menjadi redaktur di majalah SWA. Aruman pernah meniti karier kewartawanan di harian Jawa Pos, Berita Buana, majalah Prospek, Harian Republika dan editor eksekutif di Liputan 6 SCTV, sebelum pindah ke SWA (http://www.detik.com/berita/199902/990212-1319.html). Lulus S3 Komunikasi IPB, Redaktur Senior Majalah MIX, dosen LSPR Jakarta, dosen PR FISIP UI (2015-2022), dan salah satu ketua BPP Perhumas periode 2011-2014.
Kamis, 13 September 2018
Kurs, Mau Berenang atau Tenggelam?
Pengalaman sistem kurs mengambang mengecewakan banyak pihak. Indonesia, misalnya. Itu sebabnya, ada keinginan kembali ke kurs tetap. Toh, masing-masing punya kelebihan dan kelemahan.
Aruman dan Ines W. Handayani
(Tulisan ini dimuat di Majalah SWA edisi Juni 1998)
Jangan kaget, bila sewaktu-waktu Pemerintah menetapkan berlakunya sistem kurs ganda. Maksudnya, dalam kondisi seperti sekarang, bukan tak mungkin Pemerintah memberlakukan kurs yang berbeda. Yang pertama, kurs tetap (baku atau fixed exchange rate/FxER) untuk importir komoditas tertentu seperti barang modal, bahan baku keperluan ekspor dan bahan pangan pokok. Yang kedua, kurs mengambang bebas untuk keperluan selain yang disebutkan di atas.
Mengingat situasi sekarang, itu tindakan wajar. Banyak orang meragukan kemampuan sistem mengambang bebas (*floating exchange rate*/FER) dalam mengendalikan kebinalan dolar AS terhadap rupiah. Ada pula yang mencela FER sebagai biang krisis berkepanjangan seperti yang terjadi kini.
Nilai rupiah tetap akrobatis, naik-turun dengan derajat penurunan yang lebih tinggi. Dan pemikiran menerapkan dua sistem tersebut, bisa jadi, merupakan kompromi setelah pemikiran menerapkan Sistem Dewan Mata Uang (CBS) -- sementara -- kandas, karena mendapat tantangan dari Dana Moneter Internasional (IMF) dan para ekonom pendukung mekanisme pasar.
Di pihak lain, CBS bukan tanpa pendukung. Para pengusaha dan sebagian ekonom sangat mendukung rencana tersebut. Ini karena dengan FER -- yang diberlakukan sejak pertengahan Agustus tahun lalu -- dolar AS makin binal, cenderung meninggi nilainya dan sulit diprediksi. Lalu muncul usulan lain, yakni FxER dengan mempertahankan peran Bank Indonesia sebagai lender of the last resort dan pengelola rupiah. Ini berarti, BI tetap diperbolehkan melakukan intervensi likuiditas, atau bahkan mencetak uang baru seperti yang banyak diduga orang dewasa ini. Itu pun banyak dikritik.
Harus diakui, perdebatan soal sistem kurs tadi telah berlangsung lama. Penerapannya mengalami pasang-surut. Dalam lima tahun terakhir, misalnya, jumlah negara yang menganut sistem FER makin banyak. Kalau pada 1991 dari 133 negara sedang berkembang anggota IMF terdapat 19 negara yang menganut sistem FER (bebas), pada 1996 jumlahnya meningkat menjadi 29 negara.
Sementara itu, yang menganut FxER susut dari 57 menjadi 45 negara. Pada 1996, penganut sistem *peg* terbanyak berada di Afrika (25 negara) dan Asia cuma 11 negara. Adapun penganut FER terbanyak berada di belahan bumi barat (21 negara, 9 di antaranya FER bebas).
Sistem Kurs Negara Sedang Berkembang
====================================
1976 1991 1996
Peg 86 57 4
- dolar AS 42 19 15
- franc Prancis 13 11 11
- lain-lain 7 3 4
- SDR 12 5 2
- Campuran 12 20 14
Fleksibel 3 4 3
(terbatas)
Fleksibel 11 39 52
- indikator 6 4 2
- terkendali 4 16 21
- bebas 1 19 29
====================================
Sumber: IMF.
Argumen yang sering dipergunakan para penganut FER adalah kemudahan meredam gejolak ekonomi, yang sumbernya dari luar. Seperti naiknya harga minyak atau bahan pangan yang membuat defisit perdagangan negara makin besar.
Secara teoretis, kurs mengambang dapat melindungi negara dari rembesan inflasi yang berasal dari luar negeri dalam jangka panjang. Sekaligus, memungkinkan bank sentral memanfaatkan kebijakan moneter -- misalnya, menaikkan suku bunga -- guna mencapai target.
Namun, para pengecam sistem kurs mengambang menegaskan bahwa kurs pada akhirnya akan bergerak menyamakan tingkat harga domestik dan desakan inflasioner. Ini karena, secara relatif negara yang bersangkutan pasti mengalami kenaikan tingkat penawaran uang.
Selain itu, penentang kurs mengambang berpendapat, depresiasi mata uang yang meningkatkan harga-harga impor, dapat mendorong para pekerja menuntut upah lebih tinggi demi mempertahankan standar kehidupan sehari-hari.
Meningkatnya upah jelas meningkatkan harga produk, sehingga merangsang inflasi, yang selanjutnya kembali mendorong para pekerja menuntut kenaikan upah. Juga, depresiasi mata uang segera meningkatkan harga bahan baku impor yang digunakan dalam proses produksi domestik. Maka, kurs mengambang mereka anggap hanya akan mempercepat reaksi harga terhadap kenaikan penawaran uang.
Meski kurs mengambang memang bisa memperbesar kemampuan bank sentral mengendalikan tingkat penawaran uang nominal, kurs mengambang tidak mampu memperkuat instrumen kebijakan pengendali ketenagakerjaan dan variabel-variabel ekonomi riil lainnya.
Jadi, kurs mengambang tidak memperkuat pengendalian tingkat penawaran uang riil. Reaksi harga-harga domestik terhadap perubahan kurs di negara yang banyak mengimpor bahkan lebih cepat. Di negara-negara tersebut, perubahan nilai mata uang sangat mempengaruhi daya beli kaum pekerjanya.
Secara akademis -- seperti ditulis pakar ekonomi moneter Paul R. Krugman dalam bukunya International Economic: Theory and Policy -- ada beberapa hal yang dikemukakan sebagai kelemahan utama sistem kurs mengambang, yakni:
-Disiplin. Dengan membebaskan kurs, bank sentral tak lagi wajib mengintervensi, karena nilainya ditentukan kekuatan pasar. Namun, kebebasan itu bisa membuka kemungkinan bank sentral menerapkan kebijakan yang bersifat inflasioner. Para pendukung sistem kurs mengambang berpendapat bahwa tipisnya disiplin hanya terjadi di negara-negara yang pemerintahannya kurang kompeten.
- Spekulasi. Dalam sistem kurs mengambang, spekulasi kurs mudah tumbuh subur, sehingga menjurus pada instabilitas di pasar valuta asing. Instabilitas ini, pada gilirannya, pasti menghasilkan berbagai dampak negatif terhadap keseimbangan internal dan eksternal semua negara.
Lebih jauh, gangguan dalam pasar uang domestik lebih berbahaya, bila dibandingkan gangguan dalam sistem kurs baku. Paling tidak, hal itu terbukti dengan rontoknya nilai rupiah belakangan, yang sebagian besar -- meski dipacu spekulan luar negeri -- "dipermainkan" pemain lokal dan amatir.
Toh, para pendukung sistem kurs mengambang tak percaya kelanggengan "permainan" para spekulator itu. Sebab, pada titik tertentu, spekulator manapun yang terus menjual mata uang yang terdepresiasi di bawah nilai jangka panjangnya, dalam waktu singkat akan kehabisan uang dan harus hengkang dari pasar.
Maka, menurut para pendukung sistem kurs mengambang, para spekulator perusak stabilitas itu tak akan bisa terus-menerus memercikkan instabilitas. Demi kelangsungan usahanya, mereka harus turut mengupayakan proses penyesuaian kurs terhadap nilai jangka panjangnya.
Menurut pendukung kurs mengambang, justru kurs bakulah yang menciptakan instabilitas. Sebab, hilangnya sebagian cadangan internasional milik bank sentral secara tak terduga segera menimbulkan perkiraan akan terjadinya devaluasi.
Keadaan ini mendorong para spekulator menjual aset-aset dalam mata uang domestik secara besar-besaran, sehingga pada akhirnya kondisi cadangan internasional semakin buruk. Pelarian modal seperti itu sudah tentu membuat peluang terjadinya devaluasi makin besar, dan bisa jadi pasti terjadi, meski Pemerintah sendiri tak berniat melakukannya. Pemerintah terpaksa mengambil kebijaksanaan, karena upaya-upaya lain mengatasi pelarian modal tak membuahkan hasil.
Kritik lain terhadap kurs mengambang adalah pengaruhnya terhadap pasar uang domestik, yang membuat perekonomian negara makin rentan berbagai gangguan. Terlepas dari soal kurs, masyarakat hanya akan puas dengan tingkat penawaran uang yang ada, jika tingkat pendapatan mereka menurun. Padahal, kenaikan permintaan uang pengaruhnya sama dengan penurunan penawaran uang. Jika kondisi ini berlangsung terus-menerus, menjurus pada turunnya tingkat harga dalam negeri.
Dalam sistem kurs baku, perubahan permintaan uang tidak mempengaruhi perekonomian sama sekali. Sebab, untuk mencegah apresiasi mata uangnya, bank sentral membeli aset cadangan internasional berupa aset luar negeri dengan menggunakan uang domestik.
Pembelian ini dilakukan terus sampai tingkat penawaran uang riil domestik sama dengan tingkat permintaan riilnya. Ini merupakan argumen kuat yang sangat memperkokoh kedudukan sistem kurs baku, seandainya sumber utama berbagai gangguan terhadap perekonomian adalah pasar uang domestik. Namun, pembakuan kurs justru memperburuk kondisi makro ekonomi secara umum, seandainya sumber gangguan perekonomian datang dari pasar *output*.
- Ancaman terhadap investasi dan perdagangan internasional. Sistem kurs mengambang membuat harga-harga internasional makin sulit dipastikan atau diprediksi, sehingga mengganggu arus investasi dan perdagangan internasional.
Namun, para pendukung sistem kurs mengambang menanggapi kecaman ini dengan menegaskan bahwa para pelaku perdagangan internasional dapat menghindari risiko kurs dengan bertransaksi di pasar valas berjangka atau *forward exchange market*, yang ruang lingkup dan efisiensinya meningkat dalam sistem kurs mengambang.
Persoalannya, pasar valas berjangka terlalu mahal. Ini pula yang mendasari kenapa BankExim enggan melakukan lindung nilai *(hedging)*, sehingga kekalahannya dalam bermain valas membuatnya nyaris bangkrut.
Selain itu, mereka juga meragukan, transaksi berjangka di pasar tersebut dapat menutup seluruh risiko. Investasi jangka panjang yang baru akan menghasilkan keuntungan 10 tahun mendatang, misalnya, tidak bisa dilindungi dengan transaksi berjangka, karena transaksi ini umumnya jauh lebih singkat periodenya -- paling lama sekitar satu tahun.
Dalam sejarah ekonomi, tak ada sistem yang benar-benar bagus. Yang ada, cocok atau tidak bila sistem kurs -- *fixed* atau *floating* -- diterapkan di suatu negara. Dan kecocokan itu sangat bergantung pada kondisi masing-masing negara. Ada yang cocok dengan sistem *fixed* seperti Argentina, Hong Kong, dan sebagainya. Ada pula yang cocok dengan sistem *floating*.
Dalam laporannya tahun lalu, IMF mendiskripsikan soal sistem kurs dan kecocokan bagi suatu negara. Bila ukuran dan keterbukaan ekonomi negara kecil, misalnya, maka yang cocok adalah sistem kurs baku.
- Ukuran dan keterbukaan. Jika kontribusi sektor perdagangan dalam PDB besar, biaya stabilisasi sangat tinggi. Maka, disarankan menggunakan FxER.
- Tingkat inflasi. Bila suatu negara memiliki tingkat inflasi yang lebih tinggi dari lawan dagangnya, sudah tentu ia memerlukan fleksibilitas untuk mencegah barang tetap kompetitif. Jika tingkat inflasi tak begitu tinggi, sistem kurs baku tak begitu masalah.
- Mobilitas tenaga kerja. Dalam suatu negara yang mempunyai derajat mobilitas tenaga kerja lebih besar -- ketika tingkat upah dan harga barang turun -- dengan kurs tetap tidak begitu sulit menyesuaikan diri, bila terjadi guncangan dari luar.
- Derajat perkembangan sistem keuangan. Di beberapa negara dengan sistem keuangan yang belum dewasa, menerapkan kurs mengambang bebas bukanlah langkah bijaksana. Sebab, sekecil berapapun jumlah valuta yang diperdagangkan, akan membuat pengalihan mata uang (lokal dan asing) yang besar.
- Kredibilitas pengambil keputusan. Reputasi bank sentral yang lemah dapat diperkuat dengan mematok mata uang lokal ke mata uang tertentu untuk menanggulangi inflasi. Di Amerika Latin, kurs baku berhasil menekan inflasi.
- Mobilitas modal. Dalam suatu negara yang mempunyai derajat keterbukaan terhadap arus modal internasional, sulit rasanya bila menerapkan sistem kurs baku.
Melihat kriteria tersebut, sudah pas bila negara-negara Asia Tenggara menerapkan sistem kurs mengambang bebas? Menurut *The Economist*, sebagian besar negara-negara Asia Tenggara relatif kecil, tetapi ekonominya relatif sangat terbuka. Thailand, Malaysia dan Filipina misalnya, nilai impornya lebih dari 40% PDB. Adapun tingkat inflasinya relatif rendah, dan pasar tenaga kerjanya relatif fleksibel.
Dalam kondisi seperti itu, sistem kurs mengambang bebas bukanlah pilihan yang paling baik. Beberapa ekonom mengatakan, bila Pemerintah tidak mengaitkan mata uangnya pada sesuatu (dolar AS, misalnya), mata uang lokal akan terseret dalam gejolak dan depresiasi berkepenajangan, serta inflasi yang lebih tinggi.
Persoalannya, negara-negara tersebut kini dihadapkan pada kenyataan tingginya arus modal internasional. Selain itu, ada persoalan yang lebih serius. Seperti yang terjadi di Indonesia dan Thailand, kurs baku ternyata banyak dimanfaatkan pengusaha mencari pinjaman luar negeri.
Per Desember tahun lalu, utang swasta Indonesia mencapai US$ 73 miliar. Pinjaman tersebut dipergunakan untuk investasi yang cenderung spekulatif -- seperti di sektor properti. Akibatnya, ekonomi memanas dan membahayakan.
Karena itu, penerapan FER tanpa dibarengi kebijakan moneter yang ketat -- misalnya, memperketat aturan pinjaman luar negeri -- bakal membuat bank sentral kewalahan mempertahankan mata uang lokal. Menurut perkiraan seorang bankir, tahun ini utang yang yang jatuh tempo mencapai setengahnya.
Dengan beban sebesar itu -- katakanlah 50% pengutangnya adalah perusahaan yang tidak menghasilkan dolar -- kebutuhan dolar tahun ini diperkirakan mencapai US$ 17,5 miliar. Ini berarti menguras devisa yang sekarang jumlahnya cuma US$ 16,25 miliar.
Bisa jadi karena melihat perkembangan mata uang Thailand dan beberapa negara lain yang digoyang spekulan, BI lalu mengambangkan rupiah secara bebas. Celakanya, menurut Rizal Ramli, saat rupiah diambangkan kondisi kita kurang bagus.
Antara lain, ditunjukkan dengan neraca berjalan yang selalu negatif, utang luar negeri yang menggunung, pertumbuhan ekspor yang menurun, dan sebagainya. Kondisi itu dibaca spekulan dengan coba-coba menggoyang rupiah. Ternyata berhasil. Rupiah rontok tak beraturan.
Nah, bila sekarang Indonesia menerapkan FxER, menurut DR. Sri Mulyani Indrawati -- Wakil Direktur LPEM UI -- di satu sisi akan memberikan kepastian, terutama saat kurs bergerak tak beraturan. Namun, di sisi lain merugikan. Kurs yang stabil, sangat menguntungkan bagi rencana-rencana usaha, kegiatan dan proyeksi bisnis ke depan. Keuntungan lain, FxER juga memberikan kepastian pada importir, yang akan melakukan impor bahan baku, terutama dalam transaksi dan pembayarannya.
Lain halnya bagi eksportir, kepastian tadi bisa juga merugikan. Bila biaya-biaya produksi meningkat cepat, sementara kurs (terhadap negara tujuan) tetap, dengan menaikkan harga, eksportir masih memperoleh keuntungan.
Namun, bila kurs di negara tujuan melemah (di dalam negeri tetap), eksportir akan merugi. Itu sebabnya, penerapan suatu sistem tergantung pada pelakunya. Bila ekonomi membutuhkan lebih banyak penerimaan devisa, dengan kurs tetap biasanya cenderung tidak menguntungkan eksportir, karena mengurangi kemampuan memperoleh devisa.
Dalam kasus Indonesia, saat ini kita lebih banyak membutuhkan kepastian, di samping devisa. Dua-duanya penting. Karena itu, menurut Sri, Indonesia berat bila kembali ke FxER, karena biaya yang sangat tinggi.
Adapun bila menerapkan FER -- dalam kondisi psikologi pasar yang tidak pasti -- pasar bergejolak dan menimbulkan ketidakpastian. Itu sebabnya, bila berlaku FER, psikologi pasaar tadi harus diredam. Sebab, pada kondisi yang tidak terlalu bergejolak, dalam arti psikologis pasar tidak seliar sekarang, FER jauh lebih menguntungkan, karena mencerminkan nilai sebenarnya dari suatu mata uang.
Pertanyaannya, siapa yang harus menjaga FxER? Menurut Sri, penerapan FxER pada kondisi yang bergejolak, seperti saat ini, membutuhkan biaya yang tinggi. Paling tidak dibutuhkan kredibilitas dari lembaga yang menjaga FxER itu.
Karena dalam kondisi yang bergejolak, siapapun lembaganya -- CBS ataukah bank sentral -- pasti membutuhkan cadangan devisa yang cukup untuk memberikan citra kredibilitas yang tinggi. Di luar itu, dibutuhkan kemampuan suatu perekonomian untuk selalu menumpuk cadangan devisa.
Meski demikian, perlu dilihat, apa yang menyebabkan timbulnya gejolak. Bila gejolaknya berasal dari ketidakpastian yang tercipta akibat rumor, maka tidak selalu dibutuhkan cadangan devisa yang besar. Misalnya, gejolak timbul akibat kenaikan harga minyak atau komoditas yang lain, dengan kredibilitas cadangan devisa saja sudah cukup.
Bagi Indonesia, lebih kompleks dari sekadar cadangan devisa. Karena, dimensi kredibilitas itu sekarang dalam perekonomian Indonesia, berakar pada hal-hal yang sifatnya politis. "Ini yang menyebabkan betapa sangat kompleks dan rawannya, sebuah rezim FxER untuk diterapkan pada saat ini," ujar Sri.
Faktor yang harus diperhatikan dalam penerapan FxER -- demikian Sri -- adalah seberapa besar interaksi perekonomian terhadap berbagai gejolak lain dari luar negeri. Kemudian, tergantung pula pada seberapa mampu bank sentral bisa bekerjasama dengan lembaga keuangan bank sentral negara lainnya, sebagai *back up*.
Kalau beberapa waktu lalu Indonesia sukses menerapkan FxER, menurut Sri, itu sangat didukung kondisi internasional, yakni ketiadaan gejolak yang berawal dari Thailand. Sekarang, dalam kondisi gejolak, mengelola FxER makin sulit.
Terlepas dari pro-kontra terhadap sistem kurs, terdapat satu titik temu, yakni keinginan segera menstabilkan rupiah. Bagaimana caranya itulah yang kini tengah dicari. Dua pekan lalu, AP-Dow Jones mewartakan soal kemungkinan penerapan sistem dua kurs tadi.
Namun, itu bukan berarti tanpa risiko. Salah satunya, transparansi sekitar komoditas yang mendapat subsidi dan siapa yang mendapat apa. Banyak orang yang khawatir bila sistem tersebut diterapkan -- selain memunculkan *black market* -- bakal memperbesar peluang terjadinya kolusi baru. Mudah-mudahan semuanya sudah diantisipasi dan dibuatkan pagarnya. Sebab, jangan sampai langkah yang ditujukan untuk meningkatkan kepercayaan, justru malah meruntuhkan kepercayaan itu sendiri.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar