Bulan lalu, saya kebetulan diminta teman-teman untuk menjadi
juri Best Corporate Initiative oleh
teman-teman di Majalah Mix. Ada puluhan kegiatan yang masuk dan umumnya harus
saya akui bagus-bagus. Kebetulan saya – bersama sahabat-sahabat dari Telkom
University -- juga diminta teman-eman di SWA untuk menjadi juri Best e-Marketing. Ini juga bagus-bagus.
Namun demikian, ada yang mengganggu pikiran saya tentang
bagaimana teman-teman praktisi public relations (PR) dan marketing menggunakan
tolok ukur keberhasilan sebuah kegiatan mereka. Dari laporan kegiatan yang
masuk atau dipresentasikan, saya menjumpai banyak laporan yang menyertakan
pencapaian dengan menampilkan liputan media atau publisitas.
Unsur utama public relations adalah publisitas. Ini
menyiratkan komunikasi tentang produk atau organisasi dengan menempatkan informasi
tentang hal perusahaan atau produk di media tanpa membayar waktu dan ruang
secara langsung. Publisitas dalam bentuk yang paling sederhana adalah sarana
untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat umum melalui media.
Kemampuan untuk menciptakan publisitas inilah yang membedakan antara seorang praktisi public reations dan periklanan. Ini berarti salah satu tugas penting dari praktisi PR adalah mendorong pergerakan informasi ke masyarakat umum melalui media. Informasi yang dipublikasikan dapat
berupa berita, kesadaran tentang produk dan layanan, dan lain-lain. Ini adalah
proses menciptakan kesadaran produk dan layanan baru.
Selama bertahun-tahun – bahkan mungkin sampai sekarang -- praktik
menggunakan harga kesetaraan tarif iklan yang ditawarkan penerbit (diukur dalam
biaya per kolom) sering berlangsung. Kesetaraan ini digunakan dengan asumsi artikel
yang dipublikasikan media memberikan ukuran nilai dari sentimeter kolom
editorial. Padahal, penggunaan nilai kesetaraan iklan (AVE) ini menyesatkan.
Gagasan ini merupakan implikasi dari pemikiran yang pada
intinya menyamakan pengiriman pesan dengan mengkomunikasikan pesan, atau
penyebaran informasi disamakan dengan komunikasi. Disini praktisi public
relations, terutama media relations, menggunakan penempatan media, semisal
guntingan atau kliping berita) sebagai bukti telah terjadnya komunikasi.
Dari sini muncul pertanyaan, dalam konteks media relations, apakah
press release misalnya ukuran keberhasilannya sekadar dimuat, dibaca pembaca,
kontennya positif atau mengubah persepsi pembaca pada perusahaan atau pemberi
release?
Kiliping telah lama digunakan sebagai dasar analisis isi.
Analisis isi hanya mengindikasikan apa yang tercetak dan disiarkan, bukan apa
yang dibaca atau didengar. Analisis isi juga tidak mengukur apakah khalayak
menerima dan percaya atas isi pesan. Dengan kalimat lain, analisis isi kliping
surat kabar memberi ukuran yang berguna dari pesan yang sedang ditayangkan
media, tetapi tidak mengindikasikan jumlah pembaca dan dampaknya.
Editorial juga bukan iklan yang kontennya bisa diatur orang
lain sebagaimana iklan. Editorial adalah kewenangan redaksi. Informasi yang
diberikan praktisi PR bisa diolah lagi oleh redaksi agar sesuai dengan
kepentingan pembacanya. Itu sebabnya, kontennya bisa positif atau negatif buat
perusahaan.
Karenanya, mempersamakan atau memperbandingkan editorial dan
iklan dianggap menyesatkan. Ini seperti membandingkan apel dengan jeruk.
Editorial hadir dalam berbagai bentuk dan kisarannya mulai dari berita hingga
komentar pembaca.
Di sisi lain, iklan dapat berupa tampilan, diklasifikasikan
atau advertorial dan banyak variasi di antaranya. Dinilai menyesatkan karena
beberapa orang memiliki ukuran nilai iklan yang akurat mungkin juga tidak,
meskipun mereka sebenarnya memiliki pandangan yang jelas tentang biayanya.
Para penggiat PR melihat penggunaan AVEs menarik karena di
pasar industi periklanan yang terbuka, tarif iklan pada dasarnya bisa
dinegosiasikan, kompetitif dan didominasi oleh pendanaan yang lebih baik dan
karena ketiadaan alternatif kuantitatif lainnya, maka pengukuran prestasi public
relations dianggap cocok bila menggunakan kesetaraan dengan nilai editorial.
Logika ini semakin diperparah oleh fakta bahwa, terlepas
dari isi, biaya atau nilai dari beberapa artikel sangatlah bervariasi. Beberapa
editorial bisa diperoleh dengan biaya yang tinggi (misalnya, jurnalisme
investigatif). Di sisi lain, beberapa editorial – kalau dinilai atau dilihat
dari biaya untuk mendapatkan bahan editorial
itu – biasanya berbiaya rendah karena bahannya mungkin siaran pers yang ditulis
dengan baik, informatif dan mempunyai nilai berita.
Dengan semakin banyaknya pekerjaan PR terfokus pada hubungan
media, perlu untuk dapat memahami bagaimana editorial mempengaruhi orang.
Langkah-langkah yang sesuai kemudian dapat diterapkan adalah dengan mengetahui
seberapa efektif praktisi melakukan kegiatannya dan nilai dari apa yang telah
dicapai.
Dalam memahami konten -- baik dalam konteks editorial dan
sosialnya – praktisi PR dapat memperoleh wawasan yang lebih mendalam tentang
nilai dan efek sebenarnya dari editorial dan menjadikannya sebagai tolok ukur
keberhasilan.
Namun demikian, harus diakui bahwa publisitas penting karena
tak ada persepsi bila tak ada stimulus. Stimulus
yang saya maksud disini bisa berarti informasi yang dimuat di media. Namun demikian,
pemuatan di media idealnya tidak dijadikan sebagai tolok ukur keberhasilan
suatu kegiatan. Pemuatan informasi yang dikirimkan praktisi hendaknya dilihat
sebagai tolok ukur keberhasilan awal, yakni menciptakan stimulus.
Tugas komunikasi PR selanjutnya adalah bagaimana memperoleh
perhatian publik sasaran, menstimuli minat terhadap isi pesan, membangun hasrat
dan perhatian untuk menindaklanjuti isi pesan, dan mengarahkan tindakan yang
diambil khalayak sasaran itu sesuai dengan isi pesan, serta membuat khalayak sasaran selalu ingat akan pesan dan pengalamannya setelah mereka melakukan tindakan itu. Tak mudah memang, namun
demikian itulah tantangan sebenarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar