Big Data kini seakan
menjadi norma dalam membangkitkan atau melanggengkan merek. Benarkah? Ada sudut
pandang lain dari strategi pemasaran, melihat small data. Kenapa? Big data
hanyalah analisis yang cenderung tidak menggambarkan hal-hal yang sifatnya
emosional.
Tahun 2014. Ketika Julia Goldin diangkat sebagai chief
marketing officer (CMO) di Lego, salah satu perusahaan mainan paling bernilai di dunia,
dia membelikan putra-putrinya seperangkat Lego Big Ben. “Saya menaruhnya di
atas meja dan (berkata) 'Saya punya berita. Saya punya pekerjaan baru, dan kami
akan pindah ke London,” kata Goldin kepada CNBC.
Saat itu Goldin dan keluarganya tinggal di AS. Goldin telah
bekerja sebagai CMO merek kecantikan global, Revlon, yang berbasis di New York.
Dia menerima tawaran menjadi CMO Lego karena yakin bahwa merek mainan itu
mempunyai kekuatan yang tidak dimiliki oleh merek lainnya.
Setiap orang memiliki kisah tentang Lego, kata Goldin.
“Setiap kali saya bertemu dengan sesorang dan saya memberi tahu kalau saya
bekerja di Lego, mereka tersenyum lebar karena semua orang memiliki kisah
pribadi untuk layak diceritakan. Mereka mengingat seoerangkat Lego pertama mereka, mereka ingat
saat pertama kali mereka memberi anak mereka sesuatu yang
mereka susun dan bangun.”
Seorang yang telah berkeluarga lebih dari 10 tahun, bisa
dengan bangga menunjukkan model LEGO Taj Mahal yang mereka buat dari tumpukan
balok Lego. Ini merupakan salah satu mainanLEGO terbesar yang pernah dihasilkan, dengan
lebih dari 5.900 balok bata. Ketika seseorang menerima kitnya, konstruksi dimulai. Bila misalnya, siang atau malam hari ada kondangan, merek stop tapi melanjutkan merangkainya pada keesokan harinya.
Mungkin persis dengan smartphone sekarang, ketika orang itu bangun pada pukul 04.00 dan bekerja atau sekolah mulai pukul 07.00, hal pertama yang dia lakukan setelah pulang sekolah atau
kerja pukul 15:00 adalah menuju ke kamarnya untuk memulai menyusun Lego lagi.
Dia melakukan itu pada hari berikutnya, dan selanjutnya dan selanjutnya. Dia menyelesaikannya bisa dalam waktu empat hari.
Lalu berapa harga kit LEGO? Sekitar $ 300. Itu harga saat itu. Untuk ukuran mainan
anak-anak, harga itu sangat mahal. Namun hari ini kit itu telah menjadi barang
kolektor yang harganya bisa lebih dari $ 3000. Tak banyak yan tahu tentang itu. Para eksekutif LEGO merasa cukup mendengarkan reaksi
teman-temannya usia muda, dan kini sadar bahwa mereka terlalu berpikir tentang
Big Data yang selama ini mereka kumpulkan dan dapatkan dari online.
Padahal, seperti kata Heath, big data tidak memicu wawasan.
Ide-ide baru biasanya berasal dari penjajaran — menggabungkan dua hal yang
sebelumnya belum digabungkan. Tapi Big Data biasanya tinggal di database yang
didefinisikan terlalu sempit untuk menciptakan wawasan.
Ketika perusahaan mengeksplorasi Big Data dari pelanggan online-nya, biasanya hanya terlihat pada pembelian online. Seringkali basis data itu tidak melacak pembelian yang dilakukan pelanggan di toko-toko fisik karena mereka berada dalam database terpisah dan dijaga ketat oleh pemiliknya. Dengan kata lain, tidak ada basis data yang terkait dengan informasi tentang waktu iklan perusahaan.
Ketika perusahaan mengeksplorasi Big Data dari pelanggan online-nya, biasanya hanya terlihat pada pembelian online. Seringkali basis data itu tidak melacak pembelian yang dilakukan pelanggan di toko-toko fisik karena mereka berada dalam database terpisah dan dijaga ketat oleh pemiliknya. Dengan kata lain, tidak ada basis data yang terkait dengan informasi tentang waktu iklan perusahaan.
Big data pada dasarnya hanya data. Persoalannya, sebagian
pemasar yang menggunakan data lebih menyukai analisis daripada hal-hal yang
sifat emosional. Sulit membayangkan big data mampu menangkap kualitas emosional
seperti cantik, ramah, seksi, keren atau imut. Jika data memupuk keputusan
emosional yang lebih baik, maka akuntan, bukan penyair, bisa menjadi prototipe
budaya untuk para pencinta yang hebat.
Kevin Roberts dari Saatchi dan Saatchi berpendapat bahwa
merek-merek hebat memiliki dua keuntungan: (1) mereka membangkitkan penghargaan
atas kinerja teknologi, daya tahan, dan keefektifannya; dan (2) mereka
membangkitkan cinta karena, yah,. . . kami mencintai mereka. Merek seperti HP
dan Duracell adalah merek yang dihormati, dan Big Data sering dapat membantu
membuat keputusan tentang peningkatan rasa hormat. Akan tetapi, merek-merek
seperti Disney, Cheerios, dan Geek Squad juga dihormati dan dicintai, dan big data
sangat tidak kompeten dalam menyarankan bagaimana meningkatkan cinta.
Harus diakui bahwa cerita Lego dari Goldin tidak berasal
dari masa kecilnya. Dia dibesarkan di Rusia, dunia tanpa mainan mirip batu bata
plastik yang terkenal. Seperti diketahui, Lego dibuat di sebuah kota kecil di
Denmark pada tahun 1958. Dia pindah ke AS sebagai ibu seorang yang berusia
empat tahun dan dia jatuh cinta pada Lego.
Dia kemudian pindah ke Jepang ketika sang anak berusia enam
tahun. Namun, mainan Lego belum dikenal disana. “Di Jepang waktu itu sulit
menjumpai Lego. Jadi saya biasanya kembali ke London untuk berbelanja di Argos.
Saya membeli seperangkat Lego untuknya, karena dia benar-benar menginginkannya.
Yang dia inginkan adalah Millennium Falcon (kapal luar angkasa serial Star
Wars). Itu adalah kisah Lego saya. ”
Tahun lalu, Lego menjadi merek mainan paling berharga di
dunia dengan nilai $ 7,57 miliar versi konsultan Brand Finance. Pengukuran
nilai mereknya terdiri dari faktor-faktor termasuk kinerja bisnis dan nilai merek
jika ingin dilisensikan.
Ada berbagai versi Millennium Falcon dan yang terbaru,
diluncurkan pada bulan Oktober, adalah salah satu hits Lego di 2017. Dijual
hampir $ 800, memiliki 7.500 buah, menjadikannya versi terbesar dari pesawat
luar angkasa yang dibuat oleh perusahaan. Namun, terdapat banyak sekali batu
bata yang berkontribusi buruk pada hasil tahun lalu. Tahun lalu dan tahun
sebelumnya, terlalu banyak stok yang disimpan di gudang sehingga harus dijual
murah. Ini yang membuat terjadinya penurunan pendapatan sebesar 8 persen pada
2017.
Menurut Goldin, pemasaran adalah bagian utama dari bagaimana
bisnis milik pribadi beroperasi, sehingga keberhasilan Lego bergantung padanya.
“Di banyak perusahaan, kepala pemasaran hanya pemasaran. Saya tidak hanya melakukan
pemasaran. Anda tahu itu sebenarnya hanya satu bagian kecil dari pekerjaan itu.
Yang dilakukan tim saya adalah menggunakan seluruh portofolio produk,
pengalaman produk, komunikasi, konten, saluran sosial untuk meningkatkan
penjualan. Jadi itu benar-benar inti dari apa yang kami keluarkan di sana di
pasar,” kata Goldin.
Pengelola merek sering mengabaikan faktor situasi
penggunaan. Padahal, bagi sebuah merek, cara terbaik terbaik untuk meningkatkan
penjualan seyogyanya bukan mencoba meningkatkan citra atau sikap konsumen
terhadap merek, tetapi meningkatkan arti-penting merek. Juga penting bagi suatu
merek untuk memperluas kesadaran merek dan situasi di mana konsumen
mempertimbangkan menggunakan merek untuk mendorong konsumsi dan meningkatkan
volume penjualan.
Awal tahun 2003, Lego menghadapi masalah, Lego kehilangan 30
persen dari omzetnya. Pada 2004, 10 persen lainnya lenyap. Seperti yang
dikatakan Jørgen Vig Knudstorp, CEO Lego, “Kami berada di platform yang
membara, kehilangan uang dengan arus kas negatif, dan risiko nyata gagal
membayar utang sehingga kemungkinan besar menyebabkan bangkrutnya perusahaan.”
Bagaimana produsen mainan Denmark jatuh begitu cepat? Bisa
dibilang, masalah perusahaan dapat ditelusuri kembali ke tahun 1981, ketika
game genggam pertama di dunia, Donkey Kong (DK), masuk pasar. Masuknya DK
memunculkan perdebatan di halaman-halaman majalah internal Lego, Klodshans,
tentang apa yang disebut permainan platform side-scrolling atau masa depan
mainan konstruksi. Hasil dari perdebataan itu adalah bahwa platform seperti
Atari dan Nintendo adalah mode - yang ternyata benar, setidaknya sampai
munculnya game komputer untuk PC. Ini merupakan bagian dari badai kedua karena
mereka yang sangat sukses.
Ketika diminta oleh Lego untuk memberikan rekomendasinya
pada 2004, Chip Heath, Co-author Made to Stick and Switch, memberikan saran
agar Lego mengembangkan strategi branding keseluruhannya. Heath tidak ingin
perusahaan mengabaikan apa yang telah dilakukannya dengan baik selama waktu
yang lama, meski di sisi lain, taka da yang menyangkal bahwa ada arus tantangan
baru berupa meningkatnya pemanfaatkan teknologi digital di mana-mana.
Seperti dikatakan Heath, sejak pertengahan 1990-an, Lego mulai menjauh dari produk intinya, yaitu, membangun blok-blok bangunan, dan
berfokus pada bisnis yang seakan prospektif seperti themepark, pakaian anak-anak, permainan video, buku,
majalah, program televisi, dan toko ritel. Di bagian lain, selama periode yang sama, manajemen melihat
fenomena ketidaksabaran pada millennium, impulsif dan gelisah. Disini LEGO
harus mulai memproduksi balok mainan yang lebih besar.
Setiap studi data besar yang ditugaskan LEGO menarik
kesimpulan yang sama: generasi mendatang akan kehilangan minat pada LEGO.
Pribumi Digital — pria dan wanita yang lahir setelah tahun 1980, yang sudah
dewasa di Era Informasi — tidak memiliki waktu, dan kesabaran. Pada situasi
ini, berbahaya bila LEGO kehabisan ide dan alur cerita untuk membangunnya.
Benar pribumi digital bisa kehilangan kapasitas untuk berfantasi
dan kreativitas mereka. Ini karena
komputer melakukan sebagian besar pekerjaan untuk mereka. Setiap
penelitian Lego menunjukkan bahwa kebutuhan generasi untuk kepuasan instan
lebih kuat daripada blok bangunan apa pun yang pernah bisa diatasi yang biasanya
membutuhkan waktu lama.
Fenomena lainnya, konsumen sering melihat beberapa merek
hanya cocok untuk acara-acara khusus. Dalam kasus Lego misalnya, penggunaan
dalam jumlah tertentu karena bisa jadi bila dikonsumsi terlalu banyak
menimbulkan risiko waktu yang terbuang. Tapi di sisi lain, bisa jadi konsumen
tidak memahami penggunaan dan kegunaan dari suatu produk. Ambil contoh Chivas
Regal. Awalnya, orang mengenal CR hanya untuk momen-momen tertentu, ulang tahun
misalnya.
Bagi pengelola merek CR, kalau hanya mengandalkan momen
tersebut mungkin menjalankan kampanye iklan cetak untuk Blended Scotch-nya
dengan tema Untuk apa Anda menyimpan Chivas? Iklan termasuk berita utama
seperti Kadang-kadang hidup dimulai ketika baby-sitter datang , Scotch dan
soda Anda hanya sebagus Scotch dan soda Anda, dan Jika Anda berpikir bahwa
orang melihat Anda memesan Chivas untuk pamer, mungkin Anda berpikir terlalu
banyak.
Namun, untuk kampanye seperti ini, merek harus
mempertahankan asosiasi merek premium —sumber utama kesetaraan — sambil
meyakinkan konsumen untuk mengadopsi kebiasaan penggunaan yang lebih luas pada
saat yang sama.
Penetrasi pasar dianggap sebagai strategi pertama
pertumbuhan perusahaan. Praktek ini hampir dilakukan di hampir semua
organisasi, sehingga dapat meningkatkan volume penjualan, baik di pasar yang
ada untuk produk yang sudah ada atau produk baru (Hussain et al. 2013).
Menurut Ansoff, penetrasi pasar adalah strategi yang
berusaha meningkatkan penjualan suatu merek misalnya, tanpa meninggalkan produk
yang ada di pasar saat ini. Tujuannya adalah bersaing dengan produk pesaing
yang ada di pasar yang sama (Ansoff, 1965).
Strategi penetrasi biasanya cocok untuk pasar yang
kompetitif dan sensitif terhadap harga dengan margin unit yang lebih rendah. Di
sini mempertahankan kemiripan perbedaan di antara penawaran yang bersaing
adalah penting. Oleh karena itu inovasi inkremental cocok. Inovasi ini
bermanfaat untuk menunda efek komoditisasi dalam hal identitas merek dan
margin.
Salah satu strategi untuk meningkatkan penetrasi pasar
adalah dengan meningkan penggunaan oleh pelanggan yang sudah ada. Cara ini
biasanya aman dari balasan pesaing karena tidak terlalu mengancam pesaing.
Karena itu, cara ini bisa menjadi seuatu cara yang lebih efektif untuk
meningkatkan penjualan yang berbasis pada merek. Pertimbangannya sederhana,
dari pada berusaha mendapatkan potongan yang lebih besar dari sebuah kue,
biasanya lebih mudah dan menguntungkan untuk mencoba membuat kue itu lebih
besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar