Rabu, 23 Oktober 2013, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
mengkritik beberapa hal terkait pemberitaan media. Dalam acara yang
diselenggarakan Pengurus Pusat Persatuan Wartawan Indonesia di Banjarbaru,
Kalimantan Selatan, SBY mengeluhkan banyaknya
berita dengan sumber yang tak jelas.
SBY juga menyinggung soal penggunaan media sosial sebagai
sumber berita yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, berita yang berbau
fitnah, pers yang mengadili, serta berita yang tidak melalui cek silang.
Munculnya media sosial sebagai sumber berita semakin
mengaburkan batas antara berita dan opini. Kenapa? Ini karena -- seperti
ditulis Lee McIntyre dalam bukunya, Post-Truth (Cambridge, MA : MIT Press,
2018) -- orang-orang yang berbagi cerita melalui blog dan situs berita
alternative seolah-olah semuanya benar. Yang menarik adalah penggiat
jurnalistik yang bekerja di media konvensional juga larut di dalamnya.
Pada tahun 2010, Dewan Pers menerima 514 surat pengaduan, 13
di antaranya terkait dengan ketidakakuratan berita, dan delapan karena media
tidak memverifikasi berita yang telah mereka terbitkan. Ini adalah kebiasaan
buruk yang menurut Dewan Pers berasal dari dorongan untuk menyampaikan
informasi secepat mungkin kepada publik.
Diakui atau tidak, digitalisasi telah mengubah praktik
jurnalisme di Indonesia. Akhir tahun 2010, konsultan Maverick Indonesia dan STIKOM
London School of Public Relations Jakarta melakukan survei tentang perilaku
wartawan menggunakan internet dan media sosial. Hasil survey yang dilakukan
antara Juni dan September 2010 dengan mewawancari 321 wartawan dari 141 media, menunjukkan
bahwa tujuh dari 10 wartawan memperoleh ide tulisan untuk membuat laporan
berita mereka berasal dari internet.
Yang lebih menarik, jurnalis enggan memverifikasi informasi yang
mereka dapatkan dari internet tersebut. Survei tersebut menemukan bahwa hanya
separuh dari wartawan yang mengklaim mereka memverifikasi informasi yang mereka
temukan di internet sebelum menggunakannya. Sebanyak 138 responden (dari 321
responden dari 141 media di Indonesia) memverifikasi informasi dengan memeriksa
di internet dan hanya 64 responden yang memverifikasinya langsung dengan
sumber-sumber.
Judul buku : Post-Truth
Penulis : Lee McIntyre
Penerbit : The MIT Press, 2018
Fenomena post-truth meroket menjadi perhatian publik setelah
Kamus Oxford menuliskannya bulan November 2016. The Oxford Dictionaries
mendefinisikan "post-truth" sebagai keadaan di mana fakta-fakta
obyektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik daripada daya tarik
emosi dan kepercayaan pribadi.
Saat pemilihan presiden Amerika Serkat pada tahun 2016 memanas, semakin banyak
konten di media sosial partisan. Publik dapat mengklik “berita” yang memberi
tahu tentang informasi yang ingin didengar (apakah mereka telah diperiksa untuk
akurasi atau tidak) sebagai lawan dari beberapa konten faktual dari media mainstream
yang mungkin kurang cocok. Tanpa mengetahui bahwa mereka melakukannya, orang
dapat memberi umpan informasi sesuai keinginan mereka secara langsung, tanpa
mencari sumber berita tradisional.
Mengapa Anda harus membayar atau berlangganan koran bila Anda
bisa mendapatkan banyak cerita seperti yang Anda inginkan dari teman-teman yang
memiliki banyak hal untuk dikatakan tentang peristiwa yang Anda minati secara
gratis? Gagasan ini bisa menjadi ancaman bagi pers. Kenapa? Dalam kondisi
seperti itu, tidak ada peluang untuk hidup bagi pers prestise.
Dalam jajak pendapat Pew, 62 persen orang dewasa di AS
melaporkan mendapatkan berita mereka dari media sosial, dan 71 persennya
berasal dari Facebook. Ini berarti, 44 persen dari total populasi dewasa AS
sekarang mendapatkan berita dari Facebook. Hal ini mencerminkan perubahan dalam
sumber (dan komposisi) konten berita saat ini. Lalu, dengan menurunnya
pemeriksaan dan penyuntingan, bagaimana orang bisa mengetahui cerita mana yang
bisa diandalkan?
Meskipun berita tradisional masih ada, semakin sulit untuk
mengatakan apa yang dimaksud dengan potongan yang bersumber dari fakta dan apa
yang bukan dari fakta. Tentu hanya beberapa orang yang lebih suka membaca (dan percaya) berita yang
sudah sesuai dengan sudut pandang mereka.
Hasilnya,munculnya "silo berita" yang menciptakan
polarisasi dan fragmentasi dalam konten media. Jika seseorang mendapatkan
berita dari media sosial, mereka dapat mengabaikan sumber-sumber yang tidak
disukai, sama seperti seseorang dapat menghapus orang-orang yang tidak setuju
dengan pendapat politiknya.
Sungguh ironis bahwa internet, yang memungkinkan akses
langsung ke informasi yang dapat dipercaya oleh siapa saja yang mengganggu
untuk mencarinya, telah menjadi tidak ada apa-apa selain ruang gema. “Betapa
berbahayanya. Tanpa bentuk kontrol editorial atas apa yang sekarang
kadang-kadang disajikan sebagai "berita," bagaimana kita bisa tahu
kapan kita dimanipulasi?” tulis McIntyre.
Fenomena inilah yang disebut McIntyre sebagai post-truth.
Ini terjadi ketika "fakta-fakta alternatif" menggantikan fakta-fakta
aktual, dan perasaan lebih dipercaya sebagai kebenaran dibandingkan dengan bukti. Lalu, apakah saat ini kita hidup di
era post-truth (pasca-kebenaran - di mana “fakta-fakta alternatif” menggantikan
fakta dan perasaan yang sebenarnya memiliki bobot lebih dari bukti).
Lee McIntyre menelusuri perkembangan fenomena post-truth
yang dimulai dari penolakan sains melalui munculnya “berita palsu,” dari titik
buta psikologis ke retret publik menjadi “silo informasi.” Apa itu post-truth?
Apakah itu angan-angan, political spin, khayalan massal, atau keberanian
berbohong?
McIntyre menampilkan contoh-contoh terbaru, mulai dari klaim
tentang besarnya kerumunan saat pelantikan, statistik kejahatan, dan
popularitas. Dia lalu menemukan bahwa post-truth adalah penegasan supremasi
ideologis yang dengannya para praktisi berusaha memaksa seseorang untuk
mempercayai sesuatu tanpa menghiraukan bukti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar