Dalam beberapa tahun terakhir, nation branding telah menjadi kosa kata yang banyak dibicarakan.
Ini karena makin ketatnya persaingan antar negara dalam menarik investor,
pelancong, siswa dan mahasiswa, orang sakit, orang tua pensiunan dan
sebagainya.
Dalam telaan tentang nation branding, sangat penting untuk
diketahui bahwa pada dasarnya nation branding tidak hanya untuk konsumsi luar
negeri. Sebab bagaimana pun nation branding memiliki komponen dalam negeri yang
lebih kuat ketimbang diplomasi publik.
Menurut Fan (2006) nation branding menerapkan teknik
branding dan komunikasi pemasaran untuk mempromosikan citra bangsa. Gudjonsson (2005), seorang praktisi merek
Islandia, mendefinisikan nation branding dengan mengedepankan pemerintah
sebagai inisiator branding, terlibat secara tidak langsung dan pengaruhnya.
Dengan kata lain, nation branding terjadi ketika pemerintah
atau perusahaan swasta menggunakan kekuatannya untuk membujuk siapa saja yang
memiliki kemampuan untuk mengubah citra suatu bangsa. Dalam konteks ini, sumber
daya tersebut termasuk alat-alat branding yang bisa digunakan untuk mengubah perilaku, sikap, identitas atau
citra suatu bangsa dengan cara yang positif.
Meskipun benar bahwa 'diplomasi publik baru' terus
mempromosikan gagasan melalui diplomasi orang-ke-orang dan makin mendorong
terjadinya pembagian tanggung jawab sehingga nation branding bukan lagi menjadi
suatu kegiatan yang dilaksanakan sendiri oleh pemerintah sendirian. Benar
secara historis diplomasi public biasanya merupakan kegiatan yang melibatkan
kontak antara suatu pemerintah dan orang-orang dari negara lain (Cull, 2007).
Namun, globalisasi juga telah menciptakan pergeseran
kekuatan dalam kaitannya dengan masalah hubungan internasional. Globalisasi
juga telah menciptakan interdependensi yang lebih besar dalam bisnis global dan politik internasional
(Muldoon, 2005). Korporasi bisa jadi menghabiskan lebih banyak uang untuk
komunikasi daripada banyak pemerintah, dan memainkan peran sebagai aktor
non-negara dalam diplomasi publik yang membantu membangun reputasi dan citra
negara asal mereka, apakah peran itu disengaja atau tidak.
Peran yang dimainkan oleh perusahaan sektor swasta dalam
diplomasi publik dapat didefinisikan sebagai diplomasi korporat. Disini perusahaan
berpartisipasi dalam proses pembangunan hubungan dengan entitas asing yang
meningkatkan citra, cita-cita, lembaga dan budaya negara asal perusahaan (White,
2013).
Ordeix-Rigo dan Duarte (2009) mendefinisikan diplomasi
perusahaan sebagai proses untuk mengembangkan kekuatan dan legitimasi korporasi
dalam masyarakat dengan menggunakan alat hubungan masyarakat. Ini berarti ada
kesamaan antara tujuan diplomasi perusahaan dan public, yakni membangun citra
di public global.
Konsep diplomasi perusahaan ini dapat diimplementasikan
dengan berbagai cara, termasuk melalui program CSR serta inisiatif komunikasi
strategis lainnya seperti periklanan. Ini dapat terjadi ketika perusahaan
bertindak secara independen atau bukan atas nama pemerintahnya, atau bekerjasama
dengan pemerintah (White, 2013).
Seringkali perusahaan-perusahaan internasional terlibat
dalam kegiatan yang memiliki efek diplomasi publik dan nation branding. Sebagai
contoh, White et al (2011) menemukan bahwa kegiatan perusahaan-perusahaan
Amerika di Rumania tercermin positif di Amerika Serikat dan memiliki efek
diplomasi publik, meskipun itu bukan maksud dari kegiatan tersebut.
Namun dari pengalaman inilah muncul gagasan tentang
bagaimana melibatkan warga di negara dimana nation branding dilakukan ke dalam
urusan pemerintah tadi. Dalam hal ini peran yang diharapkan pada warga negara
tadi adalah bagaimana caranya mereka juga ikut menjelaskan kebijakan luar
negeri negaranya kepada khalayak internasional.
Dalam kaitan ini melibatkan warga negara dalam kegiatan
nation branding didasari pada dua pertimbangan. Pertama, pada dasarnya nation
brand merupakan hasil proyeksi atau diproyeksikan oleh banyak sumber. Disini
tidak hanya pemerintah yang hanya diberi mandat untuk membangun sikap positif
para pemangku kepentingan (stakeholder) negara tersebut.
Menurut Simon Anholt, pakar nation branding, image suatu
negara dikomunikasikan melalui saluran yang sangat kompleks termasuk saluran
yang terkadang tidak ada pemiliknya sehingga tidak ada yang memiliki kekuatan
mutlak untuk mengatur saluran komunikasi tadi (Anholt, 2006). Dalam konteks
ini, perkembangan teknologi sosial media telah melahirkan ancaman sekaligus
tantangan.
Salah satu dari efek perkembangan teknologi informasi dalah
lahirnya citizen journalism atau
aktivitas jurnalistik yang dilakukan oleh warga biasa (bukan wartawan). Konsep
citizen journalism didasarkan warga masyarakat (public citizens) yang berperan
aktif dalam proses pengumpulan, pelaporan, analisis, dan menyebarkan berita dan
informasi.
Ancamannya, karena setiap orang bisa memiliki media sosial,
terjadi tsunami informasi dan opini dari pemilik akun media sosial, blog dan
influencer atau buzzer lainnya. Nada opininya kadang lebih banyak bernada
negative, terkadang juga bernada positif. Sebaliknya, peluangnya adalah makin
luasnya bentangan media yang bisa dimanfaatkan oleh mereka yang melakukan
kegiatan nation branding.
Disini pemerintah bisa memanfaatkan para pemilik akun sosial
media untuk menjadi mitra dalam mengkomunikasikan secara positif tentang
negaranya kepada orang lain. Selain itu yang juga perlu dipertimbangkan adalah
bahwa realitasnya nation branding melibatkan pesan dari puluhan lembaga,
organisasi, perusahaan swasta dan warga negara dan ini diperkuat serta
diperkaya oleh makin kuatnya tindakan komunikasi antara negara dan belahan bumi
lainnya di seluruh dunia.
Semuanya, mulai dari liputan berita nasional dan
internasional yang diterima dan bagaimana warga negara mensikapi dan
meresponnya, cara merepresentasikan dirinya di pameran perdagangan dan ekspor
msalnya, hingga bagaimana warga negara mensikapi isu-isu kompleks seperti
perjanjian perdagangan internasional dan cara warganya berperilaku di luar
negeri dapat memberikan petunjuk tentang identitas negaranya.
Alasan kedua adalah bahwa – dalam teori -- salah satu aturan
utama dalam nation branding adalah bahwa nation barnd harus berakar pada
realitas negara dan masyarakatnya. Dalam Journal of Brand Management, Fiona
Gilmore (2002) menegaskan, hal penting yang harus disadari dalam hal nation
branding suatu negara adalah pentingnya amplifikasi dari setiap aktivitas dan
nilai serta tindakan yang sudah ada dan bukan menampilkan hal-hal yang bersifat
palsu ...
Brand nation harus berakar dari realitas dan kebenaran
mendasar tentang tujuan dilakukannya nation branding. Jika merek tidak berakar
pada realitas dan kredibel, audience (domestik dan internasional) akan
merasakan disonansi dan kehilangan kepercayaan pada merek. Dalam bukunya Brand
New Justice, Anholt mengingatkan akan pentingnya menyentuh peran masyarakat
dalam negeri karena seringkali dalam konteks warga negara dapat mengaplifikasi
dan menjadi corong bagi nation branding.
Nation branding atau perpaduan
unsur-unsur unik dan multidimensional yang memberikan suatu negara atau bangsa diferensiasi
dan relevansi budaya yang kokoh kepada semua khalayak targetnya (Dinnie, 2008, hal. 15), menciptakan kesan dan
membuat suatu negara menjadi lebih menarik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar