Jika abad ke-20 merupakan era uang tunai, cek, dan kartu kredit plastik, masuk era abad ke 21 ditandai dengan perkembangan sistem transfer elektronik yang pesat. Masing-masing berjalan pada platform yang berbeda dan menggunakan protokol serta infrastruktur jaringan yang berbeda. Kini transaksi pembayaran bisa dilakukan dimanapun, kapan saja melalui aplikasi di handphone atau gadjet lainnya.
Ketika saya pertama
kali masuk ke dunia kerja pada tahun 1985, ATM adalah sebuah keajaiban bagi saya.
Itupun saya jumpai di Sidney. Bersamaan dengan itu, masuklah kartu plastic dan
hanya sebagian kecil meninggalkan uang tunai! Di beberapa lokasi di Sidney,
orang kadang-kadang harus antri selama minimal 10 menit untuk menggunakannya,
lebih cepat daripada layanan manual.
Konsep masyarakat tanpa
uang tunai (cashless society) bukanlah hal baru. Konsep masyarakat tanpa uang
didasarkan pada transaksi elektronik (e-transaction). Umumnya, transaksi tanpa
uang tunai ini terkait dengan bank dan bank memiliki kontrol yang memadai atas
transaksi. Dalam masyarakat di mana banyak orang tidak suka membawa mata uang
dalam dompet mereka, orang-orang berpikir serius tentang pembayaran elektronik
(pembayaran elektronik) melalui uang elektronik (e-money) dengan bantuan kartu
elektronik (e-card) dan perbankan elektronik (e-banking).
Tahun 1961, seorang
insinyur aerospace Simon Ramo memberi ceramah yang mendorong manfaat menjadi
tidak punya uang tunai. Dia dapat melihat bagaimana informasi dapat mengubah
cara orang menjalani hidup mereka dan memberikan pemahaman yang lebih baik
tentang pola pembayaran dan kelayakan kredit.
Tahun 1990an, bagi
kebanyakan pelancong internasional dan peserta konferensi, kehidupannya bisa
menjadi jauh lebih sulit bila tidak memiliki kemampuan membayar dengan kartu
plastik untuk barang dan jasa yang dikonsumsi. Bagaimana tidak, sebagian besar
maskapai penerbangan, jaringan kereta api, perusahaan penyewaan mobil, hotel
dan restoran sudah terbiasa menerima pembayaran dengan kartu plastik, seperti halnya
banyak pengecer dan outlet pedagang lainnya. Dengan melakukan itu mereka
mengurangi kebutuhan konsumen untuk membawa uang tunai dalam mata uang lokal
atau cek perjalanan.
Kartu internasional
utama seperti Visa, Europay / MasterCard, American Express, Diners Club, dan
JCB semuanya berusaha agar kartu pembayaran mereka diterima di berbagai gerai
pedagang seluas mungkin. Meski harus diakui bahwa hanya Visa dan MasterCard,
dua asosiasi kartu utama, yang pada tahun 1995, memiliki lebih dari 12 juta
lokasi penerimaan di seluruh dunia, yang menerima pembayaran dengan kartu
kredit dan debit yang meeka keluarkan. American Express memiliki 3,6 juta
akseptor pedagang di seluruh dunia.
Meskipun kartu plastik diterima
secara luas di seluruh dunia, pada tahun 1995, terdapat disparitas diantara
negara-negara dalam memegang dan penggunaan kartu pembayaran plastic. Di Eropa
misalnya, rata-rata setiap 100 orang dewasa, satu diantaranya memiliki kartu
kredit. Sementara Inggris memiliki jumlah kartu terbanyak yang dikeluarkan,
diikuti oleh Spanyol, negara-negara lain seperti Italia, Irlandia dan Yunani
memiliki relatif sedikit kartu yang dikeluarkan.
Selain itu, setiap
pasar juga memiliki variasi yang tinggi dalam jenis kartu yang paling
dikeluarkan. Di sebagian besar Eropa, kartu debit adalah jenis kartu pembayaran
utama yang digunakan. Namun, di Inggris, Prancis, Irlandia dan Yunani kartu
kredit yang paling umum. Kartu charge, ketika ditemukan di setiap pasar, bukan
yang paling banyak di negara mana pun, tetapi mereka menjadi alternatif
pembayaran utama di sebagian besar Eropa.
Perbedaan signifikan
juga ada pada frekuensi penggunaan dan nilai transaksi rata-rata pembayaran
kartu plastic. Di Prancis dan Inggris, kartu plastik menjadi metode pembayaran
yang umum untuk sebagian besar konsumen, sedangkan di tempat lain masyarakatnya
menggunakan bentuk pembayaran yang lain, termasuk cek dan uang tunai.
Pembayaran dengan kartu plastik jauh lebih jarang.
Fenomena itu
menunjukkan bahwa pada tahun 1995 masih terdapat kesenjangan yang masih cukup
besar dalam nilai rata-rata transaksi kartu antar Negara. Di sini banyak faktor
ikut bermain, termasuk jumlah dan jenis kartu yang dipegang dan sifat jaringan
pedagang penerimaan kartu lokal.
Misalnya, di banyak
negara Eropa, penerimaan kartu saat itu tidak meluas ke outlet yang melayani
transaksi bernilai relatif rendah, meski outlet itu sering dimanfaatkan oleh
masyarakat. Outlet itu terutama adalah toko kelontong. Kombinasi dari
faktor-faktor seperti ini yang menempatkan Swiss dan Italiaberada di posisi
teratas daftar nilai transaksi rata-rata, sementara Perancis dan Inggris berada
di ujung skala yang berlawanan.
Hari ini mahasiswa saya
dapat mengakses dan berpisah dengan uang kontan mereka melalui GOPay, Flash,
Brizzi, e-Money, GoPay, dan sebagainya. Mereka menggunakan aplikasi seluler dan
layanan berbasis web yang memungkinkan pembayaran orang ke orang. Untuk
membayar atas pembelian sesuatumereka tinggal mengetuk ponsel yang dilengkapi
komunikasi ke terminal tempat penjualan. Mereka menggunakan lapak elektronik
untuk membeli atau memesan sesuatu dan metode pembayaran satu klik ke pedagang
online lainnya untuk melakukan pembelian secara daring.
Lusinan teknologi
komunikasi tertanam untuk memfasilitasi transfer uang . Ada yang menggunakan
teknologi komunikasi jarak dekat, identifikasi frekuensi radio (RFID),
gelombang radio bluetooth, magnetik,
sinyal radio nirkabel (Wi-Fi), gelombang suara supersonik, barcode, QR code,
dan representasi grafis lainnya yang dapat dipindai secara elektronik dengan
menggunakan pemindai optik. Semua ini untuk memfasilitasi pembayaran yang
efisien, tanpa gesekan, transfer nilai dari satu pihak ke pihak lain dan
pembukaan dan penyelesaian transaksi-transaksi tersebut dengan cara cepat,
aman, dan dapat diverifikasi.
Sekarang generasi
cashless society masuk ke era yang lebih kompleks sekaligus sederhana.
Kini jutaan penduduk
dewasa di Indonesia yang memiliki smartphone, namun masih belum memiliki
rekening bank. Sebanyak 33% mengaku terkendala oleh jarak dari lembaga keuangan
modern. Padahal 69% dari populasi tersebut memiliki ponsel. Kondisi ini lah
yang melatari lahirnya beberapa aplikasi pembayaran non tunai dalam bentuk app-based
mobile payment platform.
Diakui atau tidak
masyarakat Indonesia memang masih awam dalam aplikasi pembayaran
non-tunai. Penelitian Ipsos Indonesia,
perusahaan riset pemasaran independen, terhadap 400 responden secara online
panel pada 20-26 Agustus 2018, menunjukkan sebagian besar konsumen e-commerce
adalah millenials (64%), orang-orang yang sudah menikah (62%), dan mereka yang
aktif bekerja (86%).
Lebih dari setengahnya
adalah lulusan universitas. Secara gender mereka seimbang, baik laki-laki
ataupun perempuan, dan sebagian besar dari mereka tinggal di Jakarta (25%),
Jakarta Pusat (17%), dan di Pulau Jawa (37%). Sebagian besar pembelanja
e-commerce adalah dari kalangan ekonomi ke atas (81%) dengan rata-rata pendapatan Rp3,3 juta per
bulan. Perilaku belanja millenials (43%) maupun non-millenials (44%) sama-sama
melakukan belanja di e-commerce minimal satu kali dalam sebulan.
Yang menarik adalah,
dalam hal pembayaran mereka, transfer lewat ATM atau internet banking adalah
pembayaran yang paling umum mereka gunakan saat bertransaksi online. Milenials
biasa berbelanja saat siang menuju sore yaitu pukul 12.00-15.00, dan memilih
berbelanja dari rumah (72%). Sedangkan non-Milenials rata-rata belanja mulai
dari pukul 15.00 sampai malam.
Mengubah budaya uang
tunai dan cek ke salah satu pembayaran Internet dan seluler adalah langkah
besar. Persyaratan pertama adalah penjelasan tercetak yang sederhana, jelas,
dan multi-bahasa tentang bagaimana teknologi akan digunakan. Kedua adalah
komunikasi dan akses yang cepat, meski butuh sabar dan kejelasan, dan mudah
dihubungkan. Ketiga adalah pernyataan online mingguan yang sederhana dari
posisi akun sehingga pemegang atau pengguna bisa mengontrol penggunaannya.
Jangan sampai misalnya, mereka merasa malu hgara-gara saldo mereka tidak
mencukupi. Ini yang sering dijumpai di pintu tol pembayaran.
TCash misalnya, pertama
kali diperkenalkan ke konsumen sebagai brand electronic money di tahun 2007
atau sekitar 11 tahun lalu di mana produk e-money masih belum awam di kalangan
konsumen. Tantangan terbesar saat itu adalah produk TCash sendiri, yaitu bagaimana
mengomunikannya supaya bisa diterima, dipercaya, dan digunakan user dengan
aman, nyaman, dan mudah.
“Sebagai kategori
produk baru saat itu, tantangan memperkenalkan TCash sangat besar. Selama enam
tahun pertama TCash hadir sebenarnya kurang berkembang signifikan. Karena TCash
muncul sebagai alat pembayaran elektronik tapi tanpa physical aspect yang bisa
'dipegang' oleh pelanggan. Itu kelemahan TCash saat itu,” ungkap Puput Hidayat, Head of TCash Lifestyle Marketing
& Customer Engagement TCash.
Sekarang tedapat banyak
pilihan pembayaran tanpa uang tunai, dan kecepatan adopsi juga meningkat.
Namun, beberapa tantangan yang ada termasuk masalah interoperabilitas di antara
platform tertentu, biaya kartu dan biaya transaksi platform terkait terutama
untuk UKM, dan masalah keamanan dan perlindungan data. Ada kebutuhan yang
meningkat untuk membangun ekosistem dan platform tepercaya guna membangun
kepercayaan konsumen untuk lebih mempercepat adopsi pembayaran digital.
Ini juga akan menjadi
penting untuk menetapkan standardisasi lebih lanjut untuk meningkatkan
kemudahan penggunaan bagi konsumen. Meskipun jelas ada banyak manfaat dalam
menghasilkan uang tunai, akan ada kebutuhan untuk memelihara infrastruktur
transaksi tunai untuk beberapa waktu untuk mendukung mereka yang berada dalam
masyarakat yang mungkin perlu bergantung pada uang tunai sebagai cara
pembayaran.
Di Singapura, menurut
Philip Yuen, Chief Executive Officer Deloitte Southeast Asia and Singapore,
adopsi pembayaran tanpa uang relative
lambat. Ini karena populasi Singapura yang menua, dengan mayoritas belum
terekspos atau cukup pintar untuk menavigasi dunia digital.
Salah satu cara untuk
mendorong penggunaan adalah dengan menggabung platform pembayaran dan platform keterlibatan. Saat ini, Singapura
memiliki beberapa platform pembayaran yang tidak banyak berhubungan dengan
pengguna. Untuk mengatasi hal ini, Singapura melihat negara-negara seperti
China dan Korea Selatan yang telah berhasil mengintegrasikan keduanya untuk
mengembangkan satu platform di mana pengguna dapat memenuhi keterlibatan mereka
(misalnya, berita, sosial dan mobilitas) dan kebutuhan pembayaran.
Pada akhirnya, untuk
mencapai adopsi secara nasional, teknologi harus dikembangkan untuk memberi
manfaat bagi masyarakat umum dalam hal kemudahan, kenyamanan dan keamanan, dan
teknologi ini harus berevolusi untuk mengikuti perubahan sosio-ekonomi dan
demografi. Ini adalah tentang menyerang keseimbangan yang tepat dan mengelola
risiko yang terkait untuk memastikan bahwa tidak ada yang tertinggal dalam
masyarakat tanpa uang tunai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar