Sejak akhir 1980-an,
kemajuan dramatis terutama di bidang teknologi informasi telah menghasilkan
cara baru masyarakat untuk berinteraksi, berbagi, belajar, dan berbisnis.
Perubahan tanpa henti telah menjadi norma bagipraktisi public relations yang
berusaha untuk tetap berada di posisi terdepan.
Banyak gagasan yang menggelitik di buku Public Relations in The Age of Disruption ini. Misalnya, semua
orang bisa menjadi public relations (PR) sehingga seorang dokter, insinyur, dan
sebagainya bisa menjadi PR, meski tidak sebaliknya. Gagasan lainnya adalah
seorang PR haruslah memiliki ketrampilan menulis, menjadi PR itu lebih dari
sekadar gelar sarjana komunikasi, dan sebagainya.
Buku ini dibuka dengan penyataan menarik dari sang penulis,
“Selama bertahun-tahun berkarier di bidang PR, saya merasa dunia humas terus
berevolusi. Dunia humas terus berubah, ilmunya semakin kompleks, ekspektasi
atas profesi ini semakin tinggi, dan tren lainnya: semua orang bisa menjadi
PR…..”
Dalam artikelnya di Journal
of Advertising Education, 2016 lalu, Keith A Quesenberry menulis bahwa saat
ini praktisi pemasaran, periklanan dan public relations menghadapi tantangan
akibat perubahan radikal.
Bagaimana para praktisi public relations dan sebagainya
menghadapi atau beradaptasi dengan perubahan itu membutuhkan integrasi disiplin
yang bermuara pada marketing communications dengan segala ragamnya seperti integrated
strategic communication, integrated marketing communication, marketing
communication, departemen advertising, direct marketing dan public relations.
Para pemuka bisnis, akademisi, dan penggiat marketing
lainnya termasuk mahasiswa marketing dan marketing communication sepakat bahwa
yang dibutuhkan sekarang adalah keahlian fungsional (pengetahuan khusus) lebih
penting ketimbang generalis (Schelfhaudt & Crittenden, 2005). Karena
itu, pendidikan profesi marketing
membutuhkan kurikulum dengan struktur yang lebih fleksibel dan memberi ruang
untuk pengetahuan yang lebih bersifat spesialisasi, termasuk public relations.
Yang menarik, beberapa pihak merasakan bahwa untuk menjadi
seorang eksekutif public relations yang berperan strategic di dalam perusahaan,
dibutuhkan pengetahuan dan ketrampilan di luar kompetenssi seperti masalah
makro ekonomi dan sebagainya. Sebab bagaimanapun, menjadi seorang strategic
planner dibutuhkan pengetahuan dan ketampilan dalam mengelola informasi di sekitar perusahaan, termasuk isu-isu
tentang politik.
Professional di bidang komunikasi saat ini harus mampu
berbicara dalam berbagai bahasa (bilingual). Mereka harus lancar berbicara
dengan bahasa public relations, idiom bisnis dan top eksekutif (C-suite).
professional di bidang komunikasi haruslah mampu berbicara dalam berbagai
bahasa (bilingual). Mereka harus lancar berbicara dengan bahasa public
relations, idiom bisnis dan top eksekutif (C-suite).
Judul BukU : Public Relations in the Age of
Disruption: 17 Pengakuan Professional PR & Kunci Sukses Membangun Karier pada Era Disrupsi
Penulis : Agung Laksamana
Penerbit : PT Bentang Pustaka, 2018
Tebal Buku :
240 halaman
Mengapa? Menurut Adita
Irawati -- mantan Vice President Corporate Communications PT Telkomsel yang
kini menjabat Staf Khusus Presiden bidang Komunikasi , para top eksekutif
perusahaan saat ini semakin membutuhkan professional public relations (PR) yang
bisa menjadi mitra berdiskusi, terutama untuk mengembangkan agenda setting
perusahaan maupun mensikapi berbagai isu yang berpotensi mengancam perusahaan (https://mix.co.id/corcomm-pr/evolusi-profesi-mengapa-profesional-pr-kini-harus-memiliki-ketajaman-bisnis).
Inilah yang disebut Matt Ragas, Ph.D., dan Ron Culp, Fellow
PRSA dalam Mastering Business for
Strategic Communicators: Insights and Advice from the C-suite of Leading Brands
(Emerald Publishing Limited, 2018) sebagai evolusi profesional PR, perubahan
peran professional PR dari hanya sebagai seseorang yang mengkomunikasikan pesan
setelah keputusan dibuat, menjadi berperan sebagai penasihat bisnis. Disini
tantangannya adalah bagaimana professional komunikasi mengasah ketajaman
bisnisnya.
Survei yang dilakukan Marlene Neill dan Erin Schauster
(2015) terhadap para profesional di berbagai industri untuk mengetahui
keterampilan inti yang dibutuhkan untuk praktik PR dan periklanan, menunjukkan
bahwa saat ini yang dirasakan para eksekutif adalah kesenjangan dalam
pendidikan. Ada beberapa ketrampilan khusus yang sebenarnya mereka butuhkan
untuk memperkuat kampanye mereka yang belum dimiliki para karyawan pemula
mereka.
Keterampilan paling umum yang mereka rasakan kurang tersebut
misalnya ketrampilan storytelling, bisnis, perencanaan strategis, presentasi,
matematika dan hubungan dengan klien. Satu spesialisasi baru yang umum
dibutuhkan oleh kedua bidang tersebut adalah pendidikan tentang peran yang lagi
berkembang saat ini, yakni social listening dan community management.
Neill dan Schauster (2015) menemukan bahwa baik eksekutif
periklanan maupun eksekutif public relations sepakat bahwa para mahasiswa saat
ini perlu memahami praktik dari kedua industri ini, namun juga menunjukkan
adanya kebutuhan yang semakin besar akan keterampilan bisnis yang biasanya
terkait dengan program pemasaran. Misalnya, untuk praktisi periklanan dan PR
pemula, mereka harus memahami statistik, dokumen keuangan dan penganggaran,
ditambah pemahaman tentang kosakata bisnis dan tantangan bisnis.
Para profesional industri ini mencoba mengidentifikasi
kesenjangan spesialisasi dan mengatakan bahwa mahasiswa saat ini kurang
mendapatkan pelatihan teknis secara real-time, meski harus diakui bahwa ada
kebutuhan akan pemikir strategis.
Pesannya di sini bukan untuk membuang
integrasi dengan pelatihan teknis, tapi untuk mengintegrasikan kurikulum yang
mengajarkan pemecahan masalah melalui kursus teori dan pembelajaran kritis
dengan kursus spesialisasi taktis. Neill dan Schauster (2015) mengamati bahwa
banyak institusi yang menawarkan kursus di area khusus yang dibutuhkan ini,
namun pelatihan itu masih dianggap sebagai pilihan tambahan.
Beradaptasi dengan perubahan memang tidak mudah. Tetapi,
bagaimana jika orang lain berubah sementara Anda tidak? Jadi langkah bijaknya
adalah Anda merevisi kurikulum dan kursus yang ada beberapa dekade yang lalu,
dan mungkin layak untuk mengevaluasi kembali semuanya.
Saat ini hampir semuanya berubah. Pertama, harus diakui
bahwa nama 'iklan' misalnya saat ini sedang berubah. Dalam artikelnya yang
berjudul Where Shall I Go to Study
Advertising and Public Relations? Billy I. Ross dan Jef. I. Richards (2015)
menulis, berdasarkan pengamatannya, dalam 50 tahun terakhir, dari 110 program
studi periklanan di perguruan tinggi atau universitas, hampir 50 nama program
atau departemen tersebut berbeda namanya.
Benar masih banyak perguruan tinggi yang memiliki departemen
periklanan dan PR. Namun banyak program yang telah berubah namanya. Kata-kata
yang spesifik tetap ada, namun beragam kata digunakan untuk menggambarkan
program marketing, advertising, PR atau media. Ada yang menggunakan nama
communication arts, communication studies, communication information,
communication design, mass communications, mass media, media and culture, and
strategic communication.
Perubahan di bidang pendidikan itu mengikuti tren di
industri advertising dan PR. Saat ini agency sudah jarang yang menggunakan kata
'periklanan', karena mereka memiliki disiplin yang terintegrasi dan pindah ke
media digital dan sosial. Banyak agensi iklan telah mengubah citra diri mereka
sendiri, dengan menggunakan istilah seperti digital, terintegrasi , merek ,
komunikasi, engagement, consumer connection dan experience.
Kata-kata baru ini bukan tidak memiliki makna. Mereka justru
senagaja menggunakan kata-kata itu untuk menunjukkan kemampuan yang lebih luas
di luar periklanan dan media massa tradisional, dengan integrasi strategi merek
dan spesialisasi baru di media digital. Ini sekaligus menjadi pembeda mereka.
Banyak program periklanan dan agensi telah mengubah nama
mereka, karena praktieknya sendiri juga berubah. Dalam dua dekade terakhir,
komunikasi pemasaran telah mengalami perubahan signifikan di lapangan. Ini
terutama didorong oleh perubahan media. Social media kini mewabah dan
penetrasinya dari tahun ke tahun meningkat luar biasa.
Perubahan teknologi ini sangat berpengaruh dan mendisrupt
(mengganggu) praktik pemasaran, periklanan dan hubungan masyarakat tradisional.
Profesional komunikasi yang bertugas menciptakan dan mengendalikan citra merek
kini banyak yang merasa kehilangan kendali dan pengaruh konsumen.
Prubahan tersebut meupakan tantangan baru bagi praktisi
komunikasi. Sebab bagaimanpun menurut penelitian, para profesional komunikasi
yang paling sukses tidak lagi hanya ahli komunikasi. Mereka yang berhasil adalah
professional komunikasi yang juga ahli dalam bisnis. Kenapa? Tuntutan dari orang yang dilayani
kini meningkat. Untuk bisa melayani sebagai penasihat terpercaya bagi kalangan
C-suite misalnya dan berkolaborasi dengan para ekskutif selevelnya di seluruh perusahaan
kini dibutuhkan ketajaman bisnis.
Bagi saya, ini mirip dengan seperti yang digambarkan Tom
Nichols dalam The Death of Expertise,
hari-hari ini, semua orang menjadi tahu segalanya. Diakui atau tidak, Web,
Wikipedia, atau Google Search Engines
– bahkan sekarang banyak web yang menyediakan literatur klasik yang gampang
diakses dan gratis -- warga grup atau kelompok diskusi lainnya makin percaya
diri bahwa mereka berada pada posisi intelektual yang setara dengan para
politisi, lawyer, dokter atau diplomat.
Sampai pada tahap tertentu, mungkin benar yang ditulis di
buku ini bahwa siapa saja bisa menjadi humas. “Apakah ini disrupsi dalam
profesi? Bisa jadi. Faktanya, humas tidak harus sarjana komunikasi. Saya
ingatkan lagi hal ini kepada para mahasiswa komunikasi di berbagai kampus,” tulis Laksamana (halaman 6).
Namun demikian, seperti yang ditulis Nichols, fenomena ini
meningkatkan jumlah orang awam yang tidak memiliki pengetahuan dasar, menolak
aturan dasar pembuktian dan menolak untuk belajar bagaimana membuat argumen
yang logis. Di sisi lain, seperti halnya alat komunikasi lainnya, PR adalah
persuasi dan kekuatan seseorang dalam mempersuasi orang lain terletak pada
kemampuannya untuk beragumentasi secara logis.
Di bagian lain buku ini disebutkan seorang PR dituntut
memiliki ketrampilan menulis (halaman 30). Dalam buku ini diilustrasikan bahwa
seorang PR misalnya harus trampil dalam bertwitter yang hanya membatasi
karakter pesannya hanya 140 karakter.
Dalam keterbatasan itu, pengetahuan teori tentang agenda setting dan framing menjadi sangat penting.
Bagaimanapun, PR selalu berkaitan dengan kegiatan komunikasi yang
dirancang untuk menciptakan dan mempertahankan citra, dan hubungan organisasi
dengan publiknya. Lingkungan bisnis saat ini dicirikan oleh sinisme konsumen
dan hilangnya kepercayaan dan kepercayaan konsumen (Moxham, 2008).
Di sisi lain, tugas komunikasi PR adalah bagaimana
memperoleh perhatian publik sasaran, menstimuli minat terhadap isi pesan,
membangun hasrat dan perhatian untuk menindaklanjuti isi pesan, dan mengarahkan
tindakan yang diambil khalayak sasaran itu sesuai dengan isi pesan. Tak mudah
memang, namun demikian itulah tantangan sebenarnya.
Dalam situasi seperti itu, konsep dan praktik keaslian (authenticity) dalam bisnis menjadi semakin
penting. Menurut Hynes (2009), keaslian untuk meningkatkan kepercayaan terhadap
merek atau perusahaan harus muncul dari PR. Gagasan ini mengimplementasikan
pentingnya seorang PR memiliki ketrampilan bercerita.
Allen (2005) menunjukkan adanya hubungan antara keaslian dan
storytelling. Kenapa? Bercerita memiliki peran di hampir setiap aspek
organisasi dan ― penelitian menunjukkan pentingnya narasi dalam branding.
Bagaimana cara untuk mendapatkan perhatian, dalam konteks
ini membingkai pesan merupakan kegiatan penting dalam konstruksi realitas
sosial karena membantu membentuk perspektif orang dalam melihat dunianya. Framing
memberikan landasan teoritis yang dapat digunakan penulis untuk mempengaruhi
cara audiens menafsirkan teks yang mereka baca sehingga sejalan dengan tujuan
manajemen.
Siaran pers misalnya adalah alat strategis yang penting bagi
organisasi untuk mempengaruhi hubungan pemangku kepentingan dengan cara mempromosikan
versi realitas perusahaan melalui pelaporan media berita. Dengan memberikan
informasi yang cepat dan murah kepada wartawan, siaran pers berfungsi sebagai
subsidi informasi yang dapat meningkatkan kemungkinan bahwa informasi tersebut
akan menjadi berita (Gandy, 1982).
Tujuan siaran pers bisa jadi bertentangan dengan tujuan
pelaporan berita. Itu sebabnya ada jurnalis yang mengabaikan, menulis ulang,
atau menyusun ulang salinan siaran pers (Pander Maat, 2008). Bisa juga siaran
pers yang dikirimkan tidak sesuai atau menyimpang dari agenda media. Disinilah
pentingnya pemahaman praktisi PR tentang bagaimana informasi yang disampaikan
perusahaan melalui siaran pers mengubah atau melengkapi agenda media.
Disini terkait dengan proses agenda building. Sebab seperti
diketahui, proses pertama dalam agenda building yang dilakukan wartawan adalah
mengidentifikasi, memilih, dan mengembangkan ide cerita, dan menilai pentingnya
menggunakan fakta, sumber, dan penelitian latar belakang dalam cerita.
Disinilah pentingnya praktisi PR terlibat dalam proses
tersebut.
Namun demikian, hal itu bukan berarti ikut dalam proses perencanaan, melainkan bagaimana
caranya praktisi public relations mempengaruhi proses agenda building sebelum
perencanaan dan selama proses perencanaan berlangsung dengan memasok informasi
penting dan akurat serta membantu menentukan sudut pandang (enggel) dalam
penulisannya.
Secara umum buku ini membuka wawasan tentang bagaimana
praktisi PR di masa depan dengan segala tantangannya. Seperti yang dikatakan Prita
Kemal Gani, founder & Direktur LSPR, dalam testimoninya, buku ini
memberikan jawaban atas tantangan PR saat ini. Ini seakan memberikan pelita
bagi pembaca tentang pentingnya adaptasi, progresif, dan kreatif. Thinking
outside the box!. Karena itulah buku ini sangat cocok bagi mereka yang ingin
mengetahui dan memperluas wawasan tentang dunia PR saat ini dan ke depan.
—
DAFTAR PUSTAKA
Allen, K. (2005). Organizational storytelling: Are you
missing an opportunity to distinguish your goods and services in a crowded marketplace? Franchising World, 37(11): 63-64.
Gandy, O. (1982). Beyond
Agenda-Setting: Information Subsidies and Public Policy. Norwood, NJ.:
Ablex Publishing.
Hynes, A. (2009). Bridging the trust gap. The Public Relations Strategist, 15(4): 22.
Moxham, A. (2008). Tell the story without spin. Marketing: PR Essays, 7
Neill, Marlene and Schauster, Erin. (2015). Gaps in
Advertising and Public Relations Education: Perspectives
of Agency Leaders. Journal of Advertising
Education, 19: 5-17.
Pander Maat, H. and de Jong, C. (2012). How newspaper
journalists reframe product press release information. Journalism, 14(3): 348-371.
Schelfhaudt, Kristin & Crittenden, Victoria. (2005).
Specialist or generalist: Views from academia and industry. Journal of
Business Research, 58: 946-954.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar