Ketika Profesor Martin
Parker bergabung ke Warwick Business School delapan tahun yang lalu, dia sempat dikejutkan oleh keunikan dari arsitektur bangunan sekolah tersebut. Bangunan-bangunan modern yang rapi
terletak jauh dari lingkungan yang tidak bagus di bangunan utama universitas. Pintu
depannya menghadap ke arah lain dari kampus.
Pintu belakang, katanya, dilengkapi
dengan kata sandi agar tidak sembarangan orang bisa masuk. Hanya orang-orang tertentu yang bisa masuk, pertanda ada privacy yang ingin dibangun kalau tak mau dikatakan eksklusivitas. Tapi, bisa juga itu keinginan untuk menciptakan keamanan. Lagi-lagi ini menyiratkan kekhawatiran, sementara kampus idealnya adalah untuk siapa saja yang ingin berilmu.
Arsitektur serupa seakan
menjadi konvensi di sebagian besar sekolah bisnis di Inggris. Yang dia lihat di
Warwick juga sama dengan yang di University of Bristol Department of
Management, tempat dia mengajar studi tentang organisasi sekarang. Ini seakan
membenarkan anggapan bahwa sekolah bisnis biasanya menempati dunia fisik yang terpisah
dari institusi induknya.
Kebiasaan membangun
bangunan terpisah dari induknya, menurut Parker, bisa jadi untuk memproyeksikan
efisiensi dan kepercayaan diri. Sekaligus mempertontonkan status elit dan
tujuan pedagogis, serta berperilaku seperti bisnis yang sukses daripada lembaga
akademis belaka.
Bagi sebagian atau
bahkan kebanyakan orang, bisa jadi itu suatu kewajaran. Kenapa? Tak bisa
dipungkiri, tidak hanya di Inggris tetapi juga di seluruh dunia, sekolah bisnis
yang sukses menyumbangkan pendapatan yang signifikan bagi universitas. Sekolah
bisnis memiliki gedung terbaik karena menghasilkan keuntungan terbesar (halaman
viii)
Pada saat banyak orang
kekurangan uang tunai, sekolah bisnis menghasilkan keuntungan. Tanpa mereka, kata
Prof Parker, banyak universitas secara teknis bangkrut. Dalam kalkulasinya,
Prof Parker memperkirakan bahwa sekolah bisnis menghasilkan pendapatan global
minimal $ 400 miliar. Meski di sisi lain, banyak juga kritik yang ditujukan
kepada sekolah bisnis. Misalnya, para pelaku bisnis dan pengusaha mengeluh,
lulusan sekolah bisnis tidak memiliki keterampilan praktis misalnya.
Yang menarik adalah, pengusaha
tetap tertarik pada lulusan sekolah bisnis. Dengan biaya jumbo untuk MBA dan
program master lainnya (biaya yang harus dikeluarkan setiap mahasiswa rata-rata
MBA sekitar $ 200.000, menurut data FT), peserta didik dipesan lebih dahulu
untuk klien perusahaan yang bergengsi, alumni yang bermurah hati dan ruang
kelas penuh dengan siswa internasional yang menguntungkan, sekolah bisnis
sering menjadi salah satu aliran pendapatan terbesar di institusi induknya.
Dalam Shut Down the Business School: What’s Wrong
with Management Education (Pluto Press), Prof Parker berpendapat bahwa
model “sapi kas” ini, yang terlalu peduli dengan melayani pemberi kerja, yang tidak
hanya menyebabkan kekurangkakuan akademis: bisa jadi itu membuat pendidikan
sekolah bisnis gagal.
Segera setelah krisis keuangan
tahun 2007, sekolah bisnis disalahkan karena meletakkan dasar sikap terhadap
perdagangan yang sangat merusak. Menurut Prof Parker, gelar MBA tidak mencegah
orang terlibat dalam praktik yang berisiko atau korup. Beberapa penelitian
setuju: sebuah laporan dalam jurnal Human Relations pada tahun 2000 menemukan
risiko kejahatan perusahaan meningkat ketika para manajer memiliki kualifikasi
pendidikan pascasarjana di bidang
bisnis.
Buku ini memberikan
contoh Suma Foods, koperasi pekerja yang mendirikan perusahaan yang dimiliki
dan dijalankan oleh anggotanya. Perusahaan ini didirikan di kota Leeds, Inggris
utara, pada tahun 1977 dan merupakan wholesaler terbesar di Inggris, yang
mengkhususkan diri dalam produk vegetarian, organik, etikal dan alami.
Pada tahun 2016,
koperasi khusus ini adalah salah satu dari 6.797 koperasi di Inggris, yang
secara keseluruhan mempekerjakan total 222.785 orang, dan dengan omset sebesar
£ 35.7 miliar. Suma diajdikan contoh
untuk menunjukkan bahwa ada alternatif yang layak untuk manajemen sebagai
bentuk pengorganisasian umum.
Ini juga menekankan
bahwa jika sekolah bisnis ingin menjadi suatu disiplin yang tepat, mereka perlu
memasukkan koperasi dan model bisnis lain dalam kurikulumnya. Mereka juga harus
memberikan perhatian pada model-model
alternatif seperti yang mereka lakukan untuk model-model perusahaan dan
manajemen.
Masyarakat membutuhkan
tempat di universitas yang memungkinkan masalah pengorganisasian dipelajari dan
diajarkan. Bagaimana tidak, klub pemuda atau perusahaan multinasional, masalah
koordinasi dan kontrol adalah pusat kehidupan masyarakat. Ini bukan hanya soal
memikirkan aspek bisnis 'lunak' semata, karena memahami pengorganisasian juga
termasuk berpikir tentang uang, tentang membuat berbagai hal dan memindahkan
barang, dan tentang hukum (dan juga tentang negara).
Masalah hukum,
teknologi dan keuangan yang membentuk pengorganisasian juga harus diajarkan
dengan cara yang tidak memisahkan mereka dari pilihan politik dan etika.
Ekonomi, akuntansi dan keuangan bukanlah teknik netral yang dapat atau harus
diajarkan seolah-olah mereka bebas konteks.
Jadi, ide tentang
'pasar', 'efisiensi', 'produktivitas', 'laba' dan sebagainya harus selalu
dipahami sebagai kontrak social, bukan fenomena alami yang tunduk pada hukum
abadi. Memasukkan lingkungan, kesetaraan dan etika ke dalam bentuk perhitungan
semacam itu tidak menyimpangkannya, melainkan mengklarifikasi tujuan mereka.
Judul Buku : Shut Down the Business School: What’s
Wrong with Management Education
Penulis : Martin Parker
Penerbit : Pluto Press London, 2018
Tebal Buku : 198 halaman
Prof Parker telah bekerja
di sekolah bisnis selama 20 tahun. Dia mengkritik industri ini dari dalam, yang
mungkin tampak aneh, tetapi bukan hal baru. Dia bergabung dengan tradisi
akademisi sekolah bisnis yang juga menjadi pengkritik, termasuk Henry
Mintzberg, profesor studi manajemen di McGill University di Montreal, yang melahirkan
manifesto 2004, Managers Not MBAs, dan
mendorong reformasi dalam pendidikan manajemen.
Jeffrey Pfeffer,
profesor perilaku organisasi di Stanford Graduate School of Business, telah
secara terbuka mengkritik keadaan sekolah bisnis di AS. Orang luar juga ada
dalam pengkritik itu. Tahun lalu, jurnalis keuangan, Duff McDonald, masuk ke
dalam pendekatan studi kasus Harvard Business School yang mendukung
pengajarannya dalam bukunya, The Golden Passport.
Tetapi Prof Parker,
yang menekankan bahwa dia tidak anti-bisnis, mengatakan posisinya berbeda. Usulan
Mintzberg dan Pfeffer memasukkan pendekatan humanistik ke dalam pendidikan
bisnis, tidak cukup radikal.
Sebaliknya, Prof Parker ingin menggusur dan membangun
alternatif. Satu dekade setelah krisis keuangan global, dia berpendapat,
sekolah bisnis terus beroperasi sebagai juara "pasar" yang tidak
perlu dipertanyakan dan lebih bertindak sebagai manajer kapitalisme. Sebagai
akibatnya, mereka menghasilkan generasi pemimpin perusahaan yang tidak
reflektif, dan lebih tertarik pada keuntungan pribadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar