Koran itu berhasil disulap dengan desain yang elegan.
Tipogragi dan grafis yang keren. Motornya, selain Sutrisno Bachir sebagai
penyandang dana, ada Abdurahman (kini salah satu komisaris kumparan.com), Zaim
Ukhrowi (belakangan pernah jadi Dirut Balai Pustaka dan Dewan Pengawas LPP
Antara), Budiono (sama dengan Abdurahman) Suharjoa, Tommy Tamtomo, dan Ahmadie
Thaha. Saya sendiri bergabung setelah mereka.
Bergabung dengan Berita Buana adalah pilihan yang sulit. Meski
salah tapi itulah yang terbaik diberikan Allah kepada saya. Awal tahun 1990 -- sekitar
dua bulan sepulang dari penugasan di Australia oleh Jawa Pos, Pak Dahlan Iskan,
bos Jawa Pos, meminta saya untuk balik lagi ke Australia.
Namun, dalam hati saya berpikir, usia saya sudah hampir 30
tahun. Hidup di Australia berarti menjauhkan dari jodoh, karena saya yakin
jodoh saya ada di Indonesia .
Di Australia memang banyak cewek,
terutama Indonesia. Bahkan selama di Australia, saya banyak atau bahkan lebih
sering bergaul dengan cewek-cewek Indonesia yang belajar di Australia. Setiap
akhir pekan. Namun, mereka bukan jodoh saya.
Kedua, saya sudah
berjanji untuk segera me”mergikan” teman saya di Jawa Pos, Dhimam Abror.
Sebelum berangkat ke Australia, saya dan Abror sangat dekat. Walau dia ada di
Surabaya dan saya di Jakarta, selalu kontak.
Kalau saya pulang
ke Surabaya, saya keliling Surabaya dengan Abror. Dia juga sempat ngajak ke
rumah pacarnya. Saya nggak tahu apakah isterinya yang sekarang ini, pacarnya
dulu yang sempat dikenalkan saya atau bukan. Keakraban itu mungkin karena kesamaan nasib dan
persamaan visi dalam melihat suatu peristiwa. Kami berdua sama-sama berurusan
dengan aparat keamanan.
Waktu itu, Pak
Bos – panggilan akrab Pak Dahlan Iskan – berencana menempatkan beberapa wartawannya
di luar negeri. Djoko Susilo sudah di Amerika Serikat. Widjojo Hartono di
Belgia. Nah, saya recananya di Australia dan Abror di Inggris. Setelah
diurus-urus, saya duluan yang mendapat visa ke Australia sementara Abror belum.
Akhirnya saya pun berangkat, sementara Abror belum.
Sampai enam
bulan, Abror juga belum dapat visa sehingga akhirnya yang dapat adalah Djoko
Susilo. Jadilah Djoko Susilo yang berangkat ke Inggris. Mendengar kabar itu,
saya merasa berhutang sama Abror. Akhirnya saya putuskan pulang. Biarlah Abror
yang pergi menggantikan saya. Saya pun sempat membantu menguruskan visanya ke
Kedutaan Besar Australia di Jl. Mh Thamrin Jakarta. Akhirnya Abror yang
berangkat ke Australia menggantikan saya.
Sekitar dua bulan
kemudian, Budiono – sekarang pemilik Detik.com – menelpon saya. Dia bercerita mau bikin koran dan mengajak
saya. Pemodalnya adalah Soetrisno Bachir. Saya sendiri tidak begitu kenal. Saya
tahunya cuma dari baca di majalah SWA yang menyebut keluarga Bachir adalah
juragan batik dari Pekalongan yang merambah usahanya ke bisnis property dan
pertambakan udang, dua bisnis yang saat itu naik daun.
Menurut Budiono,
koran yang mau diambil adalah Berita Buana, salah satu koran legenda orde baru.
Dari sisi nama, awarenessnya mungkin cukup tinggi. Siapa yang nggak kenal
dengan Berita Buana. Persoalannya dari sisi image, koran itu begitu lekat
dengan persoalan klenik. Saya jadi teringat Tante saya pada tahun 1970-an
berlangganan koran itu. Yang namanya Berita Buana minggu pasti ada berita
kleniknya. Namun Budiono meyakinkan bahwa yang diambil hanya Berita Buana, tidak
pakai embel-embel Minggu.
Jauh sebelumnya,
ketika meletus peristiwa 1965, setiap hari saya membaca Berita Buana yang
selalu Tante beli eceran di pasar. Bahkan kakak saya yang tertua mengkliping
foto-foto aktivitas RPKAD di Lubang Buaya dalam rangka mengeluarkan jenazah
para jenderal. Juga foto-foto alat penyiksa yang ditemukan di Lubang Buaya.
Dari berita-berita yang masih saya ingat ketika itu, sebenarnya masih ada image
lainnya, yakni kedekatan para pengelola BB ”lama” dengan para ”pendekar” Orde
Baru dan ABRI.
Apakah saya bisa
bekerja di institusi yang pengelolanya dekat dengan keduanya? Ini mengingat
selama bekerja di Jawa Pos berkali-kali saya membuat ”masalah”. Pertama yang
paling besar adalah kasus berita makanan mengandung lemak babi yang membuat Pak
Harto marah besar (saya sendiri nggak tahu sebabnya) sampai-sampai Pak Domo
selaku Pangkoptamtib mengeluarkan kalimat, ”Kami akan terus mengejar aktor
intelektualnya.” Introduksi aktor intelektual ketika itu sampai kini menjadi
kosa kata yang begitu populer.
Kedua, saya juga
pernah diinterograsi oleh Kolonel Zumarnis – ayahanda aktris Marini Zumarnis –
pada bulan puasa gara-gara pemberitaan Jawa Pos mengenai kasus Talangsari
Lampung. Dalam kasus kedua, tanpa ada surat pemanggilan, namun Kapten Panggih
waktu itu sempat menyancam saya untuk dijemput paksa kalau tidak datang ke
Mabes ABRI. Saya heran karena kok dijemput paksa sementara pemanggilan atau
pemberitahuan saja belum saya terima.
Itu sebabnya, awalnya
saya tidak tertarik dengan ajakan untuk bergabung ke BB baru. Sebab bagaimana
pun posisi saya di Jawa Pos sangat bagus dan strategis. Masa depan Jawa Pos
sangat bagus. Dari hari ke hari terus berkembang. Kedua, di Jawa Pos aktualiasi
ide dan gagasan baik berita – baik dari sisi enggel dan pencariannya –
terakomodasi secara sempurna. Apresiasi terhadap kinerja yang saya terima juga
begitu luar biasa. Jadi bagaimana saya bisa meninggalkan posisi yang sangat
bagus ini.
Sebagai Kepala
Biro Jawa Pos Jakarta, saya mengendalikan redaksi Jawa Pos di Jakarta. Semua
bertia di halaman depan yang memasok adalah Biro Jakarta. Sehingga ibaratnya –
paling tidak perasaan saya – saya menjadi orang ”penting”. Betapa tidak semua
berita yang dikirim ke Surabaya yang bakal menjadi pengisi halaman etalase,
merupakan hasil perencanaan saya yang kemudian diimplementasikan teman-teman
wartawan Jakarta yang sangat luar biasa semangat dan dedikasinya terhadap
profesi dan pekerjaannya. Jadi seakan-akan kreator agenda –setting Jawa Pos
saat itu adalah saya.
Dua minggu
kemudian, Budiono nelepon lagi. Kali ini dia mengajak bertemu di Restoran Sari
Kuring – sekarang sudah dibongkar – di Monas Jakarta. Budiono ngajak Abdurahman
– pemilik detik.com, mitranya Budiono--, dan Suhardjo – saya nggak tahu
profesinya sekarang. Yang pasti di Facebook namanya bisa saya jumpai. Disitu saya deal bergabung dengan Berita
Buana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar