Munculnya ritel online
dan penetrasi internet memicu peralihan ke perilaku yang tidak konvensional
atau yang dulu dikenal sebagai free
riding behavior atau fenomena penelitian oleh pembelanja dan perilaku belanja
hybrid. Apa lagi?
Karena tekanan persaingan dan makin tingginya kualitas
permintaan pelanggan, mau tak mau peritel
menambahkan saluran baru untuk melayani pelanggannya. Makin luas dan
beragamnya saluran pemasaran ini makin memberikan banyak kenyamanan, kemudahan
dan fleksibilitas kepada pelanggan. Namun di sisi lainnya, memunculkan
tantangan bagi pengecer.
Bagaimana tidak, konsumen mungkin hanya membeli sebuah
handphone misalnya, namun porsesnya melibatkan lebih dari satu bahkan dua
saluran yang berbeda. Perilaku ini mencerminkan kebutuhan konsumen memaksimalkan
manfaat dari berbelanja. Ini yang membedakan antara belanja era lima tahun lalu
dan sekarang. Perilaku pilihan saluran konsumen menjadi semakin kompleks dan semakin
sulit diprediksi.
Pelanggan baru makin berdaya. Pemanfaatan saluran tertentu
di berbagai tahap proses pembelian memunculkan fenomena showrooming dan webrooming.
Pembeli online semakin mengejar perilaku webrooming yang menyiratkan penggunaan
saluran online sebelum membeli di toko fisik, dan atau showrooming yang menggambarkan fenomena
konsumen secara sengaja mengunjungi toko fisik sebelum membeli online.
Bagi sebagian orang, makin banyaknya konsumen yang semakin
diberdayakan terasa seperti ancaman. Ini terutama dirasakan oleh
perusahaan-perusahaan yang masih menerapkan model bisnis tradisional. Padahal,
hal itu bisa diterjemahkan sebagai kesempatan bagi mereka yang memilih untuk
mendengarkan. Setiap hari jutaan orang menggunakan media sosial untuk memberi
tahu dunia tentang pengalaman, pemikiran dan pendapat mereka.
Efek akumulatif dari semua obrolan sosial ini telah
menciptakan kumpulan data konsumen terbesar yang pernah ada. Triliunan
percakapan konsumen tersebar di seluruh web pada topik yang dibayangkan. Bagi
industri yang penuh dengan konsumen bergairah seperti industri otomotif,
peluang yang dihadirkan dengan mendengarkan di media sosial sangat besar.
Faktanya, 38% konsumen berkonsultasi dengan media sosial
sebelum melakukan pembelian mobil. Sinyal pembeli sudah ada di sana, sekarang
tinggal apakah merek mau atau bisa menangkap sinyal itu.
Munculnya ritel online dan penetrasi internet memicu
peralihan ke perilaku yang tidak konvensional atau yang dulu dikenal sebagai free-riding behavior atau fenomena
penelitian oleh pembelanja dan perilaku belanja hybrid. Free-riding behavior
yang banyak dibahas pada tahun 1960 oleh Telser menyiratkan penggunaan layanan
dari pengecer layanan secara penuh sebelum membeli dari pengecer dengan harga
lebih rendah.
Survei tahunan Global Total Retail Consumer yang dilakukan
PwC (2015) mendapati bahwa 70 persen konsumen sengaja mengumpulkan informasi
secara online dan kemudian membeli produk secara offline.
Sementara itu, The
Forrester Research (2014) dalam sebuah laporan yang berfokus pada prediksi
penjualan lintas-saluran di Eropa dari 2013 hingga 2018 menemukan perilaku webrooming
menjadi pola umum di antara pembelanja lintas-saluran yang suka mengganti
saluran untuk memaksimalkan manfaat berbelanja.
Diakui atau tidak, ada trend bahwa para showroomer mengunjungi
toko fisik untuk mengetahui secara detail produk dan layanannya, tujuannya
adalah untuk mendapatkan sesuatu yang tidak didapat dari e-commerce, mencoba
sepatu, misalnya. Akan tetapi, mereka melakukan pembelian melalui Internet.
Perilaku belanja ini banyak merugikan pengecer kecil yang
belum mengetahui cara melakukan terobosan digital. Yang banyak diuntungkan dari praktek
belanja seperti ini adalah raksasa e-commerce seperti Amazon, AliExpress atau
eBay, dan sebagainya.
Beberapa perusahaan menyadari tren ini dan tidak menjadikannya
sebagai musuh. Mereka justru beradaptasi dengan perubahan tersebut. Sephora,
misalnya, beradaptasi dengan memberikan kemudahan kepada pelanggannya untuk
bernavigasi melalui ponsel dan tablet saat mereka berada di cabang toko fisik
mereka.
Ini berarti mereka memenggunakan strategi saluran online dan offline. Ada
juga perusahaan yang mendorong pelanggan mereka untuk membeli produk di toko
fisik dengan menawarkan biaya pengiriman gratis misalnya.
Menurut statistik terbaru, 78% konsumen mengklaim mencari
produk secara online setidaknya sekali dalam 12 bulan terakhir. Selain itu,
menurut survei yang dilakukan Merchant Warehouse (sekarang Cayan), 80%
pencarian seluler berakhir dengan penjualan, dan sekitar 75% dari penjualan
tersebut dilakukan di toko fisik, kadang-kadang pada hari yang sama.
Pelanggan abad ke-21 adalah warga asli digital. Ini berarti
mereka menggunakan saluran digital untuk berbelanja. Berbeda dengan pendapat
umum, webrooming lebih umum dan telah berkembang lebih cepat daripada
showrooming.
Laporan tersebut mengklaim bahwa penjualan webrooming
meningkat 500 persen dan 44 persen dari semua pembelian di dalam toko
dipengaruhi oleh “belanja” dulu di web. Itu sebabnya, ke depan pemasar harus
memahami dan memanfaatkan tren ini karena hal itu secara signifikan
mempengaruhi laba online.
Pelanggan webroom adalah mereka yang mengunjungi toko
virtual terlebih dahulu untuk mengetahui produk dan spesifikasi produk dan
layanan yang diinginkan, mendapat manfaat dari keunggulan saluran ini --
misalnya membandingkan harga dengan cepat -- tetapi mereka membeli barang itu di toko fisik.
Webrooming disebut-sebut sebagai pola belanja yang bertanggung
jawab atas hilangnya pelanggan dan penjualan di AliExpress, Amazon, dan e-commerces
lainnya. Namun, banyak dari pemain bisnis e-commerce yang mampu mengejar
ketinggalan dengan meminimalkan dampak webroomers pada mereka.
Cara yang paling umum untuk melawan tren ini adalah dengan
mengimplementasikan program loyalitas melalui aplikasi seluler atau menawarkan
kupon online, yang hanya dapat menguntungkan cabang fisik dari perusahaan yang
sama.
Atau seperti yang dilakukan Amazon membeli Whole Foods, jaringan supermarket Amerika yang secara
eksklusif menjual produk-produk bebas pewarna buatan, perasa buatan, pengawet,
pemanis dan lemak terhidrogenasi. Amazon juga bereksperimen dengan toko Amazon
Go. Singkatnya, strategi ini bermuara pada satu ide: facetime.
Namun, menurut survei CMO dari Duke University, yang
disponsori oleh Deloitte LLP dan American Marketing Association, melaporkan
bahwa perusahaan rata-rata hanya 12,2% dari penjualan melalui Internet, naik
dari 8,9% dari penjualan pada 2013 ketika mereka hanya mewakili 8,9% dari
penjualan. Amazon yang mendominasi pasar Amerika Serikat dengan 49% dari
seluruh penjualan ecommerce, hanya memiliki 5% dari total belanja ritel.
Ini adalah dunia ritel yang sepenuhnya baru. Lupakan
showrooming (tempat konsumen mencoba, tetapi tidak membeli) atau webrooming
(tempat mereka melakukan riset online dan kemudian membeli secara offline). Para
pelaku industri ritel kini berbicara tentang "blended retail." Disini
ritel online dan fisik bekerja bersama secara sinergis dan keberhasilannya diukur
dari keberhasilannya memberikan pengalaman pada setiap satuan luas per meter
persegi.
Pelanggan melakukan riset online (baik di rumah maupun melalui
perangkat seluler di toko). Tetapi, pada kenyataannya mereka sering berpindah
dari satu saluran ke saluran lainnya dan kembali lagi sebelum melakukan dan
menerima pembelian. Ini menunjukkan adanya trend baru dalam pola berbelanja
yang muncul belakangan, yakni memesan secara online dan mengambil di toko.
Kedua, penetrasi e-commerce bervariasi antar sektor. Survei
CMO menemukan bahwa penjualan produk B2C (15,6%) dan layanan (14,2%) melebihi
produk B2B (9,7%) dan layanan (11,5%). Itu tidak mengherankan, mengingat bahwa
penjualan B2B seringkali lebih kompleks, melibatkan banyak pembuat keputusan,
dan seringkali erat kaitannya dengan investasi.
Demikian pula, penetrasi e-niaga bervariasi menurut
geografi. Sementara pasar relatif berkembang di negara-negara Barat, Amazon,
Walmart, dan lainnya berusaha masuk ke India dan pasar lain, mengadaptasi
strategi penjualan dan penjualan mereka untuk menjangkau 800 juta pelanggan
baru yang tidak memiliki kemudahan akses ke toko online atau internet.
Diakui atau tidak, showrooming dan webrooming adalah tren
yang tengah berkembang pesat di konsumen. Statistik menunjukkan bahwa kaum muda
lebih banyak ber-wbrooming. Survei Urban Land Institute menunjukkan bahwa lebih
dari setengah dari milenium biasanya mendapatkan informasi di Internet sebelum
pergi ke toko fisik dan membeli produk atau layanan yang diinginkan, dibandingkan
dengan 11% dari publik ini yang memilih untuk showrooming.
Namun segmen usia lain menyukai showrooming. Ini
mengindikasikan bahwa showrooming dan webrooming mewabah di semua usia, jenis
kelamin dan daya beli. Survey yang
dilakukan oleh NPD Group, menemukan bahwa generasi Y pergi makan siang atau
makan malam satu hari lebih sedikit per minggu daripada rekan-rekan mereka pada
tahun 2007. Ini memberikan gambaran bahwa apakah showrooming atau webrooming
tergantung pada produk dan target marketnya.
Tetapi target market bukan satu-satunya pembeda showrooming
dan webrooming. Kalender juga sangat berpengaruh. Sebagai contoh, di Amerika Serikat, penjualan
pada Black Friday di bulan penjualan Januari dan tanggal lainnya
mengindikasikan penyebab ketidakseimbangan dalam adopsi tren ini. Laporan TC
Group Solutinos menyebutkan bahwa webrooming umum terjadi pada Black Friday, dan
belanja Natal. Selama Natal, showroom kehilangan dukungan dalam webrooming.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar