Karena
konten semakin melimpah dan segera tersedia, perhatian menjadi faktor pembatas
dalam konsumsi informasi. Perhatian menjadi semacam komoditi yang langka dan diperebutkan.
Apa produk utama media massa itu sebenarnya?" Anda
nonton siaran langsung pertandingan sepakbola misalnya, berapa banyak iklan
yang tayang selama pertandingan berlangsung?
Anda mungkin menjawab bahwa produk
media massa itu terdapat pada maknanya, hiburan, pendidikan, atau hasil komunikasi
umum lainnya. Namun itu semua masih memunculkan pertanyaan kembali, apakah
benar kita mendapatkan itu.
Yang sering terjadi adalah pertimbangan ekonomi seperti
siaran sepak bola tadi. Jaringan televisi membeli hak untuk menyiarkan game
atau pertandingan selama satu musim. Tetapi alih-alih menunjukkan permainan
secara keseluruhan tanpa jeda, jaringan mengalokasikan waktu untuk iklan
sebagai cara untuk mengganti pengeluaran dan, pada akhirnya, menghasilkan laba.
Sponsor komersial membayar hak untuk menunjukkan produk dan
layanan mereka kepada demografi khalayak tertentu; sepak bola dan truk pick-up
jelas berjalan beriringan. Pemasar memanfaatkan audiensi yang terpikat.
Mungkin itu sah-sah saja. Akan tetapi diakui atau tidak, itu
memunculkan keprihatinan, kita ini mau nonton pertandingan sepakbola atau
iklan? Studi yang dilakukan oleh Yankelovich Group, lebih dari sepuluh tahun
lalu menunjukkan bukti luar biasa bahwa sebagian besar konsumen merasa terlalu
banyak iklan di sekitar mereka.
Artinya, ketika nonton bola misalnya, karena terlalu banyak iklan, orang merasa terganggu tak bisa fokus pada acara pertandingan bola yang ditontonnya. Mereka kesal sehingga tak jarang orang tidak memperhatikan iklan itu dan memindahkan atau mematikannya atau melakukan kegiatan lainnya. Akibanya, iklan itu menjadi berkurang keefektivannya.
Attention atau perhatian adalah unsur penting dari periklanan
yang efektif. Dalam disiplin komunikasi mendapatkan perhatian, atau diperhatikan mernjadi faktor penting supaya pesan diingat. Jadi kalau saya ingin diingat, yang pertama saya lakukan adalah menemukan cara bagaimana saya diperhatikan. Kalau tidak diperhatikan, jangan harap orang mengingat saya.
Dalam konteks iklan, sebelum konsumen dapat dipengaruhi oleh pesan iklan, mereka harus
terlebih dahulu memperhatikan. Kisah-kisah yang beredar sampai saat ini bahwa
orang dapat dipengaruhi oleh iklan tanpa secara langsung memperhatikan, itu adalah
mitos.
Misalnya, kasus klasik yang dikemukakan oleh James Vicary
pada tahun 1957 — bahwa orang-orang yang terpapar iklan Coca-Cola dan popcorn
bawah sadar di bioskop lebih mungkin membeli produk-produk ini setelah mereka
meninggalkan teater— sebenarnya melibatkan hasil fabrikasi.
Ini dijelaskan dalam teori Elaboration Likelihood Model Intinya, orang termotivasi untuk memperhatikan sesuatu kalau yang didengar, yang dilihat, atau rangsangan yang ditangkap indera, sesuai dengan kebutuhannya. Jadi misalnya, kalau saya haus, saya akan memperhatikan omongan irang yang membahas tentang minuman. Ini kalau dalam ELM disebut rute sentral (central route).
Lalu bagaimana kalau omongaan saya tidak sesuai dengan kebutuhan audiense tetapi saya ingin diperhatikan. Dala situasi seperti ini, saya akan memilih rangsangan atau stimulus misalnya dengan menggunakan judul yang bombastis, huruf besar, suara keras hingga bintang iklan cantik dan menarik. Dalam ELM model ini mengikuti jalur periferal
Saat ini, komunitas akademis yang mempelajari iklan setuju
bahwa sejumlah perhatian diperlukan untuk iklan agar bisa berdampak pada
konsumen. Artinya, suatu pesan iklan semakin diperhatikan, peluang berdampaknya
semakin besar.
Gagasan ini membuka peluang mengubah paradigm media dari contact economy
ke attention economy. Bila dulu seorang pasang iklan misalnya, tarifnya
ditentukan besarnya jangkauan (GRP) yang diperkirakan dari sebuah iklan yang
disiarkan media, kini beralih ke pengukuran megenai attention (diperhatikan) atau engagement.
Ini karena tsunami informasi jangkauan tidak lagi
mencerminkan kinerja sebenarnya dari iklan media. Kenapa? Karena jangkuan yang
dicapai sebuah iklan belum tentu mencerminan bahwa iklan itu dilihat atau
bahkan diperhatikan audience. Percuma kalau iklan cuma menjangkau atau sampai di depan audiens tetapi tidak diperhatikan atau tidak memunculkan minat untuk dibaca.
Jadi saatnya beralih ke attention economy. Kenapa? Dalam
kasus siaran pertandingan sepakbola tadi misalnya, yang terjadi adalah
kekurangan perhatian karena tidak fokus. Kalau saja acara pertandingan – yang memang
sudah diniati audience untuk ditonton – ditonton secara tidak fokus, apalagi
iklannya.
Intinya adalah ketika dunia dilanda tsunami informasi,
ketika informasi dan pengetahuan menjadi pusat proses polarisasi modal, ketika media semakin terkonvergensi dalam sebuah smartphone, perhatian manusia menjadi sangat langka. Ini karena mereka terlalu sibuk memilih informasi dan media. Karenanya, perhatian (attention)
menjadi komoditas yang semakin bernilai.
Dalam konteks baru ini, beberapa penulis ekonomi politik merumuskan
fenomena ini dalam gagasan tentang ekonomi perhatian, the attention economy (Simon 1969; Davenport dan Beck 2001). Konsep
ekonomi perhatian pertama kali diperkenalkan oleh Herbert A. Simon dalam ceramah
ilmiahnya berjudul, Designing Organizations for an Information-rich World, tahun 1969.
Selama dekade 1960-an, para ekonom menyebarkan gagasan
seperti 'pengetahuan' dan 'informasi' dalam upaya untuk menjelaskan krisis
kapitalisme industri dan perubahan radikal yang dipicu olehnya. Dalam
masyarakat pasca-industri yang muncul saat itu, proses industri tidak lagi dilihat
sebagai satu-satunya sumber nilai.
Sebaliknya, pengetahuan dan informasi menjadi aspek sentral
dari siklus ekonomi, membentuk kembali cara di mana nilai lebih diproduksi dan
dieksploitasi. Mode produksi baru pasca industri ini dalam ekonomi politik biasanya
disebut sebagai 'kapitalisme pengetahuan' atau 'ekonomi berbasis pengetahuan'.
Definisi Simon tentang ekonomi perhatian harus dipahami
sebagai respons terhadap konteks ekonomi baru ini. Menurut Simon, dalam ekonomi
paska industri yang muncul, bukan hanya pengetahuan dan informasi yang menjadi
pusat proses produktif tetapi juga perhatian yang diperlukan untuk memproses
pengetahuan ini dan informasi ini (Simon 1969, p. 6).
Dengan menggunakan logika penawaran dan permintaan secara
langsung, Simon berpendapat bahwa kelimpahan pengetahuan dan informasi yang
menjadi ciri ekonomi berbasis pengetahuan 'menciptakan kemiskinan perhatian,
dan kebutuhan untuk mengalokasikan perhatian secara efisien di antara
melimpahnya sumber informasi yang mungkin mengonsumsinya' (pp. 6–7).
Dalam skenario produktif baru ini, pertanyaan ekonomi yang
paling mendesak adalah: ‘Bagaimana kita dapat merancang organisasi, perusahaan
bisnis, dan lembaga pemerintah, untuk beroperasi secara efektif di dunia
seperti itu; bagaimana kita dapat mengatur kembali dengan kebijakan yang bertujuan untuk
melestarikan dan mengalokasikan secara efektif perhatian mereka yang langka? Dengan
pertanyaan ini, Herbert A. Simon meresmikan bidang baru analisis, The Attention Economy (ekonomi perhatian).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar