Pada pertengahan 1980-an Levi Strauss & Co., perusahaan yang saat
itu memiliki kapitalisasi senilai US$ 2 miliar, menikmati pangsa pasar yang
begitu besar untuk berbagai kategori produk busana. Karena pasarnya yang terasa
penuh, mereka merasa perlu meluaskan pasarnya. Tujuannya untuk mempertahankan pertumbuhan. Keputusan perluasan ini didasarkan pada sebuah penelitian segmentasi
pasar pakaian pria yang melibatkan 5 segmen pakaian pria yang berbeda.
Pertama, sekitar 26%
dari segmen pakaian pria merupakan segmen utilitarian. Orang yang tergolong
utilitarian adalah loyalis Levi’s. Mereka mencari pakaian yang nyaman dan tahan
lama untuk bekerja sekaligus bermain. Kedua, segmen tradisional umum yang mewakili 18% dari pasar. Mereka adalah golongan
usia yang lebih tua dan cenderung membeli stelan polyester di pusat pertokoan.
Levi’s melakukan
penetrasi yang berhasil dalam segmen ini dengan produk Actionwear-nya yang memberi beberapa bonus untuk mengakomodasi kalangan
berusia paruh baya. Levi’s juga melakukan serangan terhadap segmen ”pembelanja
harga” dan ”kasual trendi”. Namun mereka tidak mempunyai produk untuk segmen
”individualis klasik” sehingga penetrasi di segmen tersebut dianggap mewakili
suatu peluang pertumbuhan.
Individual klasik
adalah pria “pesolek” yang cenderung membeli item-item yang mengandung wool dan
berbelanja di toko-toko khusus. Mewakili 21% dari pasar pakaian pria, ia
merupakan pembeli berat stelan, dengan aneka ragam stelan yang jauh lebih besar
dari segmen manapun.
Berbeda dengan
pembelanja tradisional umum, yang menggantungkan pada nasehat isterinya,
individualis klasik berbelanja sendirian dan meyakini penilaiannya sendiri atas
pakaian. Mereka sangat perhatian terhadap penampilan yang mnarik dan label.
Levi’s tidak termasuk dalam pembelian pakaian jenis ini.
Dengan
menargetkan pada segmen ini, Levi kemudian meluncurkan Levi’s Tailored Classic, sebuah produk stelan wol pria yang bis
adiperbandingkan dengan barang-barang kompetitor dari segi bahan, pengerjaan,
dan mode. Distribusi menekankan pada pusat-pusat pertokoan, bukan pada
toko-toko khusus, dengan maksud untuk mengekploitasi kehadiran penjualan Levi’s
di pusat-pusat pertokoan.
Salah satu aspek
yang membedakannya, stelan tersebut dijual secara ”terpisah” jas dan jaket
dipilih sendiri-sendiri. Karena itu, para pelanggan bisa lebih mendapatkan
kesesuaian, dan kebutuhan untuk modifikasi bisa dikurangi. Lebih jauh, stelan
itu dihargai lebih urah dripada stelan desainer namun sejajar dengan produk
kompetitor (Hager).
Lepas dari
usaha-usaha pengembangan dan peluncuran yang berbiaya mahal, produk tersebut
tidak berhasil, dan dukungan promosi ditarik dalam satu thun kemudian. Suatu
investasi dalam sumber daya dan reputasi idak mendapatkan imbalan yang
setimpal.
Sangat berbeda
dengan Docker, produk celana pendek yang dimantapkan pada 1986 tanpa suatu
kaitan yang kuat dengan Levi’s, telah mendapatkan keberhasilan yang
mengejutkan. Celana cotton yang longgar di atasnya dan mengecil di bagian
bawahnya, Dockers memberikan kesesuaian yang ”lebih longgar” pada baby boomer
yang telah menanjak dewasa.
Mereka memberikan
kenyamanan dan mode yang lebih besar dibandingkan jeans, namun terpisah dari
jas. Kenyataannya, Dockers menjadi sebuah merek yang kuat, dengan asosiasi pada
celananya yang unik dan pakaian kasual yang baru. Karena itu, nama Dockers
mengilustrasikan keuntungan taktis dan strategis dan menciptakan sebuah nama
baru.
Sumber:
Aaker DA, 1991. Managing Brand Equity. Free Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar