Suatu ketika, menjelang mengisi materi pelatihan mahasiswa
untuk perubahan iklim, seorang teman bertanya kepada saya, “Pak Edhy selalu
pakai jeans ya?”
“Sejak SMP kelas dua. Kalau nggak pakai jeans , rasanya
kurang pedhe,” jawab saya.
Jika Anda berpikir Levi’s dalah celana jeans, tidak salah tetapi
juga tidak tepat. Kenapa? Levi Strauss & Co. memang sejak 165 tahun silam
memproduksi dan menyediakan celana jeans. Tetapi, sejak saat itu pula Levi’s
melampui akar produk tunggal mereka menjadi menawarkan beragam pakaian jadi, T-shirt
yang kini penjualannya mendekati $ 1 miliar.
Intinya, Levi's adalah merek gaya hidup bagi orang banyak
dan beragam orang. Itu sebabnya Levi’s berani menggarap pasar T-Shirt. Sebagai
merek gaya hidup, Levi’s tidak ingin hanya dikenal sebagai produsen celana. "Bisnis kaos kami sedang hot-hotnya,"
kata Jen Sey, Wakil Presiden Senior dan CMO di Levi Strauss, merujuk pada
kemeja berlogo batwing yang khas.
Salah satu kelebihan yang dimiliki Levi’s diatas merek-merek
jeans lainnya adalah warisan (heritage). Bila Anda membeli celana 501, Anda mendapatkan
gaya kasar yang pertama kali dibuat untuk para pencari emas California pada
tahun 1873. Ikonnya setia pada merek yang dikenakan oleh ikon dari Marlon
Brando hingga Kurt Cobain.
"Heritage namun tetap menjadi modern selalu menjadi
tantangan yang harus dihadapi Levi’s," kata Kevin Keller, Profesor
Pemasaran Osborn di Tuck School of Business di Dartmouth University.
"Merek ini telah menjadi heritage,
Anda (pengelola) tidak bisa membiarkan itu menentukan sendiri siapa
Anda. Anda harus menjadi modern,
bergerak maju dan relevan dengan audiens yang jauh lebih muda."
Intinya, menjadi warisan merek saja tidak cukup untuk
mempertahankan eksistensi merek di era digital. Kesannya yang “tua” membuat publik
jarang mengaitkan Levi Strauss & Co. dengan teknolog. Padahal, merek itu sekarang
serius bergerak ke arah itu.
Bulan lalu misalnya, Levi’s baru saja merekrut orag pintar
di bidang kecerdasan buatan (artificial intelligence). Katia Walsh, yang pernah menjadi kepala pusat
data dan analisis Vodafone, bergabung dengan Levi’s April depan. Disini, Walsh akan fokus membangun
"data, analitik dan kecerdasan buatan" yang akan memperkuat usaha
bisnis perusahaan saat ini dan masa depan.
Beberapa tahun terakhir, Levi’s memanfaatkan kemajuan teknologi
digital. Pada 2017, misalnya, Levi’s meluncurkan fitur stylist virtual di situs
webnya. Dengan fitur itu, pengunjung menerima saran mode yang digerakkan oleh
AI dari chatbot pintar yang berbicara dengan nada percakapan, mengajukan
pertanyaan seperti, "Bagaimana Anda ingin jeans Anda masuk ke pinggul dan
paha Anda?" , kemudian membuat rekomendasi khusus.
Padatahun yang sama, Levi’s juga bermitra dengan Google untuk
memproduksi jaket pesepeda Project Jacquard. Dirancang untuk komuter perkotaan,
jaket — yang ditenun dengan benang Jacquard yang konduktif — tautan ke
perangkat seluler pemakai melalui Bluetooth, memungkinkan mereka cukup mengetuk
manset untuk mengakses musik, panggilan telepon, atau arah.
Levi Strauss & Co. berdiri pada tahun 1853 ketika
seorang imigran Bavaria beremigrasi ke San Francisco, California. Awalnya
adalah sebuah toko kelontong. Namun, salah satu pelanggan Strauss - seorang
penjahit bernama Jacob Davis - datang kepadanya dengan ide bisnis.
Davis memperhatikan pelanggannya berulang kali datang dengan
keluhan kerusakan pada saku dan kancing jins denim mereka. Ini memberinya ide
untuk menggunakan paku keling tembaga untuk memperkuat kain yang berat itu di
titik-titik yang sering rusak itu.
Sayangnya, Davis tidak memiliki modal untuk mewujudkan
idenya, sehingga mendekati Strauss - yang memiliki toko tempat Davis membeli
bahan denim - dengan ide untuk bergabung bersama dalam usaha tersebut.
Kemitraan ini melahirkan paten desain jean berpaku dan merek
jins denim paling ikonik - Levi's. Awalnya dipakai oleh pria pekerja di West
Coast, seperti petani, koboi, dan penebang pohon. Kemudian jeans denim menjadi
modis di tahun 1950-an-1980-an di kalangan warga subkultur seperti rocker,
greaser, dan hippies. Dari awal yang sederhana ini, jeans denim makin popular hingga
menjadi barang mode di mana-mana seperti sekarang ini.
Tak banyak merek — dan logo — yang memiliki daya tarik yang
langgeng seperti Levi’s. Apalagi saat bisnis pakaian dan lanskap ritel dipenuhi dengan produk
saingan denim. Dua decade lalu, hampir saja Levi's berada di dekat kuburan itu.
Awal 2000-an, tim desain Levi’s terlambat
beralih ke mode baru yang populer seperti denim berwarna untuk wanita dan
celana jeans khusus untuk pria. Akibatnya, penjualan anjlok.
Namun, perombakan merchandising dengan menawarkan produk
trendi tanpa melupakan daya tarik klasik yang lebih tahan lama, dikombinasikan
dengan platform pemasaran yang menyegarkan dan fokus pada inovasi digital,
membantu Levi’s terhindar dari nasib seperti itu.
Sekarang, di bawah kepemimpinan CEO Chip Bergh, yang dimulai
pada tahun 2011, merek yang berbasis di San Francisco ini berharap dapat meraih
lebih banyak pangsa pasar pakaian jadi melalui teknologi modern. Levi’s juga
menawarkan penyesuaian desain untuk memikat konsumen yang lebih muda.
Tahun lalu, Levi’s juga membangun tempat tujuan wisata
dengan membuka toko flagship baru 17.000 kaki persegi di Times Square. Levi’s
juga giat di aksi untuk mengatasi masalah sosial yang membebani masyarakat
seperti kontrol senjata agar beresonansi
dengan remaja sebagai isu kampanye mereka.
Tahun lalu, Levi’s melaporkan pertumbuhan pendapatan dua
digit berturut-turut di kuartal keempat. Untuk kuartal ketiga, yang berakhir 26
Agustus, Levi’s menghasilkan pendapatan bersih $ 1,4 miliar, naik 10 persen
dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Penghasilan bersih untuk kuartal ini adalah $ 130 juta, atau
45 persen lebih dari tahun 2017. Pertumbuhan ini mengikuti tahun 2017 yang
kuat, ketika pendapatan yang dicatat Levi sebesar $ 4,9 miliar, penjualan
tertinggi dalam satu dekade.
Angka itu memang masih jauh dari masa ketika Levi’s berjaya
pada tahun '90 –an. Ketika itu, pendapatan Levi’s mencapai $ 7 miliar. Nilai
penjualan itu didorong sebagian oleh kampanye ikon "501 Blues Levi’s"
dari satu dekade sebelumnya.
Tapi momentum itu hanya bisa melindungi label tak begitu
lama ketika sejumlah saingan bermunculan dan mencuri pangsa pasar. Akhir tahun
90-an, Levi’s menghadapi persaingan dari bawah — Gap yang meningkatkan kampanye
penjualan denimnya, sementara department store menciptakan merek jeans label
pribadi mereka sendiri, seperti merek JC Penney Arizona.
Dari atas muncul denim desainer, seperti untuk All Mankind dan Citizens of Humanity. Ini
membuat – sekitar awal 2000-an – Levi’s berada pada posisi tengah yang tidak
menyenangkan, di mana ia ditekan dari atas dan bawah.
Dalam situasi seperti itu, Levi’s meresponsenya dengan
mengejar tren, namun tetap mempertahankan warisan mereknya. "Ketika Anda
bekerja di bisnis yang trendi seperti fashion dan pakaian, Anda bisa takut
tidak keren dan mengejarnya dengan cara yang tidak autentik," kata Sey.
"Kami melakukan beberapa hal dan itu tidak beresonansi dengan
konsumen."
Di bisnis denim, Levi's masih berjuang melawan persaing
untuk mendapatkan dolar konsumen. Di pasar denim di seluruh dunia senilai $
95,5 miliar, pada 2017, Levi's hanya menguasai 5,3 persennya. Datar selama lima
tahun terakhir, tulis perusahaan riset pasar Euromonitor International.
Di A.S., pasar denim mengalami kontraksi. Penjualan denim
turun sebesar 13 persen selama periode lima tahun antara 2012 dan 2017. Ketika
peluang dalam denim berkurang, untuk meningkatkan penjualan, Levi's beralih
dengan menawarkan produk yang lain, seperti T-shirt. Artinya, Levi’s tetap
bertahan sebagai merek gaya hidup, bukan hanya pemasok jeans.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar