*JAM 6 TENG*
Awal 1990-an, LEGO –pemain industry mainan - menghadapi
masalah karena penjualan dan pendapatannya yang turun drastis. Mempelajari
situasi tersebut, akhirnya menajamen memutuskan untuk melakukan perubahan
strategis dengan mendorong perusahaan ke jalur yang lebih inovatif daripada
sebelumnya.
Strategi LEGO baru bertujuan untuk fokus pada konsumen
dengan menghubungkan bisnis dan kreativitas. Strategi ini dikenal sebagai
LEGO’s Shared Vision. Untuk menetapkan seperangkat LEGO baru yang inovatif dan
sukses di pasar, LEGO memulai dengan LEGO Ideas, sebuah inisiatif yang
didasarkan pada model inovasi terbuka yang diciptakan bersama.
Di situs web online LEGO, konsumen LEGO dapat merancang set
LEGO mereka sendiri dengan menggunakan
balok LEGO atau aplikasi 3D komputer. Pengguna lain pun mulai mendiskusikan ide
dan memilih LEGO sebagai permainan. Setelah ide mencapai suara yang
ditargetkan, LEGO memutuskan sebagai
produk baru dengan memberikan sebagian kecil dari pendapatannya kepada pencipta
perangkat LEGO. "Orang-orang tidak perlu bekerja untuk kami, tetapi
bekerja dengan kami" itu semboyan LEGO.
Model ini berkontribusi menempatkan konsumen di jantung
proses inovasi dan membantu tim untuk menargetkan set yang dapat mencapai
kesuksesan berdasarkan suara dan komentar yang ada di Ide LEGO. Platform
co-create ini juga dapat berkontribusi mengurangi risiko kegagalan inovasi
karena umpan balik dari situs web ini dapat memberikan gagasan analis bisnis
tentang kelayakan produk baru. Sampai saat itu Lego selamat.
Tahun 2003, LEGO - produsen mainan bongkar pasang legendaris
-- nyaris bangkrut lagi. Mereka didera kerugian bertubi-tubi. Penjualan anjlok dan
biaya operasional melonjak besar, sementara pendapatannya hampir tidak mampu
menutup biaya operasionalnya.
Banyak dari upaya inovasinya — taman hiburan, Clikits (mainan
yang mentarget anak perempuan), mainan
denagn tokoh Galidor yang didukung oleh acara televisi — tidak menguntungkan
atau gagal total. Lalu diundanglah Jorgen Vig Knudstorp yang saat itu bekerja
sebagai konsultan di McKinsey & Company.
Ketika Knudstorp masuk sebagai CEO Lego pada tahun 2004, tugasnya
langsung dobel. Menyusun strategi agar perusahaan bisa memenuhi kebutuhan
konsumen, dan mengelola biaya secara efektif. "Fondasi bisnis kami terbakar,
kehilangan uang karena arus kas negatif, dan risiko gagal bayar. Ini dapat
menyebabkan perusahaan bubar,” kata Knudstorp seperti dikutip Business Insider.
Seperti perusahaan lain, pesaing baru dan inovasi di pasar
mainan mengancam Lego yang telah bertahun-tahun menjadi bagian standar dari
permainan masa kecil. Legenda Lego memiliki sejarah yang stabil dan sukses.
Sekarang menghadapi kerugian besar.
Langkah pertama yang dilakuan Knudstorpuntuk memebahi Lego
adalah memangkas biaya. Ini karena dia melihat banyaknya dana yang dihabiskan
untuk membiayai usaha-uasaha yang tidak menguntungkan seperti taman hiburan
Legoland.
Dana yang diinvestasi untuk usaha-usaha itu menguras
cadangan uang Lego dan mengalihkan perhatian untuk terus berinovasi produk. Dia
juga membawa pakar perhotelan untuk mendorong agar bisnis taman hiburan itu
menguntungkan.
Knudstorp juga mendapati bahwa lini produknya terlalu rumit
dengan lebih dari 12.500 komponen yang berbeda-beda, ratusan warna dan melibatkan 11.000 pemasok. Ini benar-benar
menyedot anggaran yang besar dan tidak efisien.
Kedua, mencari tahu bagaimana anak-anak bermain. Untuk itu
mereka melakukan penelitian dan menemukan adanya perbedaan kebiasaan anak-anak Amerika
dan Eropa bermain. "Orang tua di Amerika tidak suka pengalaman bermain.
Mereka tidak ingin turun tangan dan banyak membantu
anak-anak mereka. Mereka ingin anak-anak mereka dapat bermain sendiri,"
kata pemimpin Future Lab Anne Flemmert-Jensen kepada Fast Company.
Sementara itu, orang tua Eropa lebih banyak terlibat. "Kami
melihat di antara orang tua Eropa, tidak keberatan bahkan ingin ikut duduk di
lantai dan menghabiskan waktu bersama anak-anak mereka," katanya.
Knudstorp lalu mencoba sesuatu yang baru dengan mengarahkan
produk kreatif kepada penggemar inti merek. Dia merekrut Mark Stafford, seorang penggemar Lego, untuk
membantu memikirkan kembali produk-produknya.
Ketiga, Lego mamanfaatan pentingnya citra pendidikan. Lego
mengubah strategi komunikasi pemasarannya dengan membangun citra bahwa Lego
bukan sekadar mainan, tapi juga alat pendidikan. Strategi ini ternyata efektif.
Para orang tua, baik di Amerika maupun Eropa, merasa bahwa membeli
mainan Lego adalah investasi bagi perkembangan anak mereka. "Kami menganggap Lego sebagai contoh
perusahaan yang menarik nilai milenium untuk pengembangan anak dan permainan
kreatif," tulis analis Goldman Sach.
Knudstorp membangun tim yang terdiri dari beragam spesialis
internal dan eksternal untuk berkolaborasi. Para kolaborator memikirkan semua aspek
organisasi mulai dari rantai pasokan hingga pengiriman dan kepuasan pelanggan.
Pada 2005 tim menciptakan 'ruang perang' untuk memberlakukan
strategi 'visi bersama.' Perusahaan
mengurangi variasi warna menjadi setengahnya, dan unit stok dari 12.500 menjadi
6.500. Perusahaan juga berkomunikasi langsung dengan pelanggan dan
distributornya.
Diskusi dengan dua puluh klien teratas mengungkapkan bahwa pengiriman
24 jam tidak penting, yang penting adalah ketepatan waktu. Masalah ini yang
kemudian dibenahi. Pada tahun 2015, meskipun beberapa opsi produk berkurang, pelanggan
melihat tepat waktu pengiriman meningkat secara nyata.
Karena perubahan-perubahan ini antara 2005 dan 2008,
penjualan Lego meningkat 35 persen dan biaya tetap berkurang dari 75 persen
menjadi 33 persen. Pada tahun 2014, Lego merilis The LEGO Movie, yang menghasilkan pendapatan sebesar $ 500 juta.
Langkah ini bisa dilihat sebagai upaya untuk menenangkan
target audiens yang semakin online dan berfokus pada elektronik. Pada tahun
2016, perusahaan melaporkan rekor pendapatan sebagian besar karena investasi
mereka dalam produk-produk digital dan inovasi.
Di bawah kepemimpinan Knudstorp, pendapatan tahunan Grup
LEGO berubah dari kerugian menjadi laba. Omsetnya meningkat 600% dari 6,3 miliar dolar menjadi
37,9 miliar dolar pada 2016. Pada Desember 2016, Knudstorp mengumumkan
pengunduran dirinya sebagai CEO LEGO. January 2017, Starbucks menominasikan Knudstorp
sebagai direktur.
Pengalaman Lego menunjukkan peran penting dari refleksi
kritis, kreativitas, komunikasi, dan kolaborasi. Refleksi kritis adalah
kemampuan untuk memahami dan menganalisis situasi dan kemudian merumuskan
respons yang bijak terhadap masalah-masalah kompleks.
Yang melekat pada refleksi kritis adalah analisis terhadap kemampuan
masing-masing individu untuk mengembangkan wawasan dan melakukan kontrol dalam
konteks, situasi, atau organisasi.
Dalam kasus Lego, refleksi kritis membantu mereka untuk
memahami bagaimana struktur manajemen mereka yang kompleks dan proses
pengambilan keputusan yang kadang-kadang membingungkan menyebabkan kelambatan
dan kemunduran organisasi. Mereka kemudian bertindak secara kreatif menyusun
strategi transformasi.
Kretivitas. Sering kali ketika masalah muncul, organisasi
cenderung memotong inovasi dan kreativitas daripada berinvestasi lebih banyak
di dalamnya. Dalam kasus Lego, yang terjadi adalah sebaliknya. Mereka
berinovasi mencari jalan keluar dari masalah, mengandalkan kapasitas
(kreativitas dan inovasi) untuk mengidentifikasi produk dan pasar baru yang
mengarah pada peningkatan pendapatan.
Komunikasi. Naluri pertama dalam kasus Lego adalah bukan
untuk berbicara tetapi untuk mendengarkan. Wawancara kliennya dan mencermatisetiap
pesan yang disampaikan pelanggan mereka tentang pengiriman misalnya, memberi
mereka bukti bahwa perlunya merampingkan proses mereka.
Perusahaan mendengarkannya berbagi visi dan melibatkan
komunitas mereka dalam diskusi. Ini mungkin tampak sederhana tetapi terdapat banyak
contoh organisasi di mana komunikasi disalahpahami sebagai proses satu arah.
Kolaborasi. Alih-alih menunjuk seorang pemimpin yang menyapu
dan memotong organisasi, Lego lebih mempercayai proses kolaboratif. Mereka mengembangkan
tim yang memiliki keahlian luas dalam organisasi dan bekerja bersama untuk
membuat perubahan. Pembentukan 'ruang perang' dan Strategi 'berbagi visi'
menempatkan masalah di Lego sebagai masalah bersama dengan solusi bersama.
Ketika mengimplementasi solusi, divisi-divisi dalam Lego
berkolaborasi lintas area fungsional untuk membuat sistem dan pendekatan lebih
efisien. Mereka juga bekerja dengan pemasok, pengecer dan pelanggan untuk
memahaminya secara lebih komprehensif. Ini memberikan isyarat bahwa transformasi
butuh kolaborasi. Tanpa kolaborasi, transformasi tidak akan berjalan.
Referensi:
Anderson M, Jefferson M. 2018. Transforming Organizations: Engaging
the 4Cs for powerful organizational learning and change. New York: Bloomsbury
Business.
https://journal.businesstoday.org/bt-online/2019/block-by-block-how-lego-came-to-dominate-its-market
Robertson D, Hjuler
P. 2019. Innovating a Turnaround at LEGO. Harvard Business Review, September
Tidak ada komentar:
Posting Komentar