Skor ujian dan ukuran
pencapaian memberi tahu Anda di mana seorang siswa saat itu berada (kemampuan belajar), tetapi tidak memberi
tahu Anda di mana nantinya seorang siswa akan berakhir. (Carol Dweck - Mindset:
The New Psychology of Success)
Marva Collins adalah seorang legenda pendidikan Chicago, bahkan Amerika Serikat. Beberapa orang menganggapnya sebagai salah satu guru yang terhebat. Kenapa? Itu karena dia berhasil mengubah paradigma tentang belajar dan prestasi belajar.
Cerita tetang kehebatan Marva ini didokumentasikan dalam
film TV Hall of Fame Hallmark Amerika tahun 1981 dengan judul _The Marva
Collins Story_. Film TV tentang karya sepak terjangnya di dunia pendidikan nya yang menginspirasi itu dibintangi Cicely
Tyson dan Morgan Freeman. Pada tahun 1994, Prince menampilkan Marva dalam video
musiknya untuk albumnya berjudul "The Most Beautiful Girl in the World".
Bahkan ketika menyusun kabinetnya, Presiden terpilih saat itu Ronald
Ragan yang terkesan dengan kemampuan, memintanya untuk menjadi Menteri
Pendidikan. Namun, Marva menolak. Bukan karena dia tidak menyukai Reagan,
melainkan karena dia ingin dapat terus mengubah stigmatisasi tentang kegagalan,
ketidakmampuan, keterbatasan yang dimiliki siswa.
Marva Collins adalah guru di Chicago Public School System.
Dia mengungkapkan ketidakpuasannya terhadap sistem pendidikan dasar yang dijalankan
saat itu. Dia kecewa karena banyak siswa yang ditolak masuk sekolah negeri
karena nilainya kurang, displin rendah, dan label-label lainnya. Dalam
pemikiran Marva, sistem tersebut mencegah anak-anak mencapai potensi penuh
mereka.
Dari kekecewaan itu, dia bertekad aakan mendirikan sekolah
sendiri. Keingian itu disampaikannya ke sang suami. Dia meyakinkan sang suami,
Clarence, untuk membantunya memulai sekolahnya sendiri dengan mengubah
apartemen lantai atas rumah mereka menjadi rumah sekolah satu kamar.
Ketika menanyakan tentang izin untuk mengadakan sekolah, dia
terkejut mengetahui dan menyadari betapa ribetnya peraturan untuk mendirikan
sebuah lembaga pendidikan. Saat itu, setiap orang memang dapat mendirikan sekolah,
tetapi untuk diakui oleh negara, dia harus mengajukan aplikasi.
Dia memutuskan bahwa dia tidak membutuhkan bantuan negara,
dengan menyatakan bahwa dia tidak ingin siapa pun memberitahunya tentang cara
mengajar. Dia diperingatkan bahwa banyak orang tua tidak ingin mendaftarkan
anak-anak mereka di sekolah yang tidak dikenal.
Namun tekad Marva telah bulat. Dia menggunakan dana
pensiunnya sebesar $ 5.000 dan membuka Westside Preparatory School di Chicago,
Illinois, pada tahun 1975. Untuk membiayai sekolah, siswa hanya iharapkan untuk
membayar sesuai kemampuan mereka.
Tujuan Marva membuka sekolah itu adalah untuk menampung atau
menerima siswa-siswa yang ditolak oleh sekolah lain. Biasanya, mereka yang
ditolak itu diberi label mengganggu, tidak bisa belajar dan tidak bisa diubah
menjadi lebih baik. Karena itu, misi Marva mendirikan sekolah itu adalah untuk
membuktikan bahwa semua anak dapat belajar jika diberi perhatian, dukungan, dan
instruksi yang tepat.
Suatu saat, seorang calon siswa bernama Erica, dengan
diantar orang tuanya datang ke Marva. Ketika itu, usia Erica enam tahun dan
dianggap sebagai kasus tanpa harapan. Erica berbagi, “Saya diberitahu bahwa
saya terbelakang; saya dianggap tidak akan pernah bisa membaca."
Namun Marva tidak terpengaruh. Erica memulai studinya di
Westside Prep, dan Marva memberinya keyakinan yang tidak perlu dipertanyakan
lagi bahwa dia sebenarnya bisa belajar membaca dan menulis. Ini bukanlah
harapan atau keinginan dari Marva; itu adalah fakta yang tak terbantahkan.
Marva juga menanamkan pada Erica tentang disiplin, martabat, dan kerja keras
tanpa henti.
Ketika acara 60 Minutes CBS memprofilkan Marva dan
murid-muridnya sekitar enam belas tahun kemudian, Erica memang belajar membaca
dan menulis, dan bisa. Dalam tayangan itu dipertontonkan Erica yang baru
diwisuda dari Universitas Negeri Norfolk.
Anda mungkin percaya bahwa yang apa yang kita yakini tentang
dunia bisa merusak dan bisa membangun. Ingat cerita bagaimana Thomas Edison? Suatu
ketika seorang guru Thomas Edison mengatakan, Edison "terlalu bodoh untuk
mempelajari apa pun." Namun apa yang terjadi beberapa tahun kemudian? Albert
Einstein juga tidak bisa berbicara sampai dia berusia empat tahun. Bahkan dia tidak dapat membaca sampai dia berusia tujuh
tahun.
Bila kita percaya pada penilaian itu, bisa jadi membuat
orang menyerah dan tidak akan perah berupaya mengubahnya. Akan tetapi, ceritanya menjadi lain bila orang
percaya bahwa hal itu bukan tidak bisa diubah. Nyatanya, Edison, Einstein,
Erica atau Rica-erica lainnya bisa berubah menjadi pribadi yang tidak
dibayangkan oleh sebagian orang.
“Everything Is
Figureoutable!” kata Marie Forleo. Sesuatu yang
mungkin tampak sulit dilakukan untuk pertama kalinya, tetapi masih dapat
dipecahkan dengan sedikit kesabaran dan penelitian. Dalam buku Everything is
figureoutable itu, Forleo menulis, keyakinan kita mendorong atau
menghalangi sesorang untuk hidup dengan
potensi maksimalnya.
Keyakinan juga menentukan apakah kita gagal atau berhasil, dan
bagaimana sesorang mendefinisikan kesuksesan sejak awal. Bayangkan saja puluhan
tahun keyakinan tanpa henti, tindakan, dan tekad yang dibutuhkan untuk memberi hak
memilih bagi perempuan di AS.
Atau bayangkan yang terjadi bila keyakinan Presiden John F. Kennedy dan
tim di NASA goyah. Bisa jadi sampai saat itu, bahkan sampai beberapa tahun atau
saat ini, AS tidak memiliki kemampuan untuk mengirim manusia ke luar angkasa
dan berjalan di bulan, sesuatu yang seratus tahun lalu tampak tidak masuk akal.
“Keyakinan adalah tempat semuanya dimulai. Itu adalah asal mula dari
setiap penemuan luar biasa dan lompatan maju yang pernah dilakukan manusia dari
sains ke olahraga hingga bisnis hingga teknologi dan seni,” kata Forleo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar