Tahun 1999 - dalam buku best sellernya, Why Men Don't Listen & Women Can't Read Maps -- Barbara dan Allan Pease menulis, pria dan
wanita berbeda. Tapi bukan berarti pria lebih baik dari wanita atau sebaliknya.
Seperti bilangan data nominal, mereka berbeda saja, tidak lebih baik atau lebih
buruk.
Satu-satunya kesamaan yang mereka miliki adalah bahwa mereka
termasuk spesies yang sama. Mereka hidup di dunia yang berbeda, dengan nilai
yang berbeda dan mengikuti seperangkat aturan yang sangat berbeda.
Semua orang tahu ini, meski sangat sedikit orang, terutama
pria, yang mau mengakuinya. Namun, kebenarannya ada. Lihatlah buktinya. Di
negara-negara Barat, sekitar 50% pernikahan berakhir dengan perceraian.
Sementara hubungan paling serius berhenti menjadi jangka panjang.
Pria dan wanita dari setiap budaya, keyakinan dan warna kulit
terus-menerus berdebat tentang pendapat, perilaku, sikap, dan kepercayaan
pasangan mereka. Tidak percaya? Coba kalau ada lelaki yang ditanya pasangan
lawan jenis, “apakah menurutmu saya cantik?” Dijamin kaum lelaki bingung
menjawabnya.
Produsen produk higienis kamar kecil dari Eropa – masih menurut
buku itu -- melakukan survei terhadap 100.000 (bukan salah ketik) pria dan
wanita. Dalam survey itu ditanyakan tentang apakah mereka mencuci tangan setelah
menggunakan kamar mandi.
Studi ini menemukan bahwa 60 persen wanita dan 38 persen
pria mencuci tangan setelah menggunakan kamar kecil. Untuk sesi ini, secara
keseluruhan wanita jauh lebih baik. Sebuah survei yang dilakukan Tim dari Michigan
State University 2013 juga mengungkapkan temuan serupa: Persentase perempuan
yang mencuci tangan lebih tinggi.
Selesai? Belum karena masih ada ruang untuk melihat kegiatan
mencuci tangan di toilet tersebut dan ini bisa jadi merupakan berita bagus bagi
germophobes. Beberapa waktu kemudian, American Society for Microbiology
melakukan penelitian di empat kota besar di enam tempat wisata. Masih tentang
kegiatan mencuci tangan di toilet.
Hasil penelitian itu memberikan gambaran yang menarik. Rupanya,
kegiatan mencuci tangan di toilet itu bukan karena mereka memang merasa harus
mencuci tangan. Mereka terdorong untuk mencuci tangan karena kehadiran orang di
toilet itu.
Dengan kata kalau tidak ada orang lain di dalam toilet umum
itu, mereka jarang mencuci tangan. Penelitian yang dilakukan dengan pengamatan
rahasia itu mendapati, 90 persen wanita dan 75 persen pria mencuci tangan
ketika orang lain berada di dekat mereka di toilet umum.
Pada tahun 2009, sebuah Tim dari Macquarie University, Australia,
meneliti kegiatan mencuci tangan di toilet pada beberapa siswa. Setelah
menanyakan mereka tentang kebiasaan mencuci tangan saat ini dan kepekaan terhadap
rasa jijik, mereka diminta untuk menonton salah satu dari tiga video: video
pendidikan biasa (maksudnya tidak ada visual yang menjijikan), satu dengan visual yang menjijikkan dan
kontrol - klip dari dokumentasi lain tentang alam yang tidak relevan.
Sekitar seminggu kemudian, para siswa diundang kembali, dan
duduk di meja. Di dekat mereka diletakkan tisu antibakteri dan gel tangan
alkohol. Sementara di depannya, digelar beberapa benda yang sangat tidak
higienis -- mulai dari pemukul lalat kotor hingga sikat toilet bekas. Usai
memegang setiap benda, mereka diminta untuk makan kerupuk dari piring. Apakah
mereka menggunakan disinfektan untuk
mencuci tangan mereka sebelum menyentuh makanan?
Seperti yang diperkirakan, para peneliti menemukan bahwa
orang-orang yang telah menonton video dan merasa jijik jauh lebih mungkin untuk
membersihkan tangan mereka daripada orang-orang dari kelompok lain yang tidak
menonton video tentang kejijikan. Mereka yang menggunakan disinfektan sebelum
makan, jumlahnya lebih banyak dari yang tidak menggunakan.
Masih belum puas, tim yang sama melakukan studi lanjutan.
Mereka mengadakan penelitian lain. Dengan diam-diam memantau pencucian tangan
orang-orang di beberapa kamar mandi. Mereka menemukan bahwa orang-orang secara
signifikan lebih termotivasi untuk melakukannya ketika mereka diingatkan oleh
poster-poster yang menggambarkan feses di atas roti gulungnya. Tujuan poster
itu - untuk menunjukkan bagaimana kuman menyebar jika Anda tidak mencuci tangan
- sebagai kebalikannya. untuk yang murni mendidik.
Apa implikasi dari hasil penelitin-penelitian ini? Dalam
komunikasi, untuk membujuk orang mengubah perilakunya, mereka harus diubah dulu
persepsi dan sikapnya. Dalam konteks mencuci tangan, yang diubah adalah
pandangannya terhadap pentingnya mencuci tangan.
Bagaimana caranya? Ada dua hal yang perlu dilakukan. Pertama
adalah menakut-nakuti mereka bila tidak mencuci tangan. Yang kedua, adalah
menggunakan pihak ketiga untuk membujuknya. Dua pemikiran itu lalu digunakan
oleh beberapa lembaga untuk kampanye pencegahan penyebaran virus dengan
menempel poster-poster di beberapa sudut, terutama di toilet.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar