Pak Tantra, 59 Tahun, sudah sekitar 20 tahun berdagang sayuran dan bumbu di kios lantai dasar Pasar Bogor. Dua hari sekali atau tiga sampai empat kali seminggu Pak Tantra berbelanja (kulakan) barang dagangannya.
Biasanya Pak Trantra kulakan sayuran, cabe, bawang, tomat, kentang dan sebagainya di Pasar Induk
Kemang Bogor. Volume belanjaannya yang besar membuat Pak Tantra menggunakan
mobil pick-up bila kulakan.
Selain itu, Pak Tantra juga membeli barang untuk dijual lagi pada pedagang grosir yang biasa datang atau jualan di Pasar Bogor. Barang yang dibeli dari pedagang grosir ini biasanya cuma satu macam karena untuk memenuhi permintaan dari pembeli yang kebetulan saat itu Pak Tantra kehabisan barang. Misalnya bila ada pembeli yang membutuhkan sayur bayam,
Pak Tantra membeli
sayur bayam tadi ke pedagang grosir sebanyak 20-30 kg. Para pedagang grosir ini
iasanya menggunakan mobil pick-up juga. “Jadi biasanya dia juga jualan disini
dan pedagang lain beli dari dia. Jadi dianggap sebagai grosir nya gitu,” kata
Pak Tantra.
Untuk kulakan tadi, rata-rata dalam seminggu Pak Tantra menghabiskan dana antara Rp 7,5-Rp 10 juta. Jumlahnya tergantung pada stok dan harga. Menurut Pak Tantra, karena harga sayuran itu tidak menentu, jumlah uang yang dibelanjakan juga beragam.
Misalnya, lima hari lalu Pak Tantra bisa
menjual tomat dengan harga Rp 5.000/Kg, sekarang (saat wawancara dilakukan, 5
November 2016) harga beli dari pedagang di Pasar Induk Rp 12.000/Kg. Jadi uang
yang dibelanjakan juga berbeda dari minggu sebelumnya.
Demikian pula, bila pada tiga hari sebelumnya harga cabe dar ipedagang grosir Rp 28.000/kg, tiga hari berikutnya menjadi Rp 55.000/kg. Jadi modal kerja bervariasi antara Rp 7,5 juta hingga Rp 10 juta, tergantung harga barang. “Karena biasanya nyetok seperti bawang untuk 2 hari.
Namun ya itu
biasanya emang sengaja beli barang yang biar 2 hari habis, karena kan liat
ketahanan barang juga ya, biasanya emang mau nya yang habis dalam jangka
pendek, biar gausah mikir apa-apa lagi. Dan kalau harga nya lagi mahal gini,
walaupun jualnya kuantatifnya lebih sedikit, tapi omsetnya lebih besar karena
harganya lebih mahal.”
Jadi apa yang ingin dicapai Pak Tantra? “Jangan sampai
pelanggan saya kecewa karena barang yang mereka butuhkan tidak tersedia. Mereka
datang ke tempat saya dari rumahnya dengan harapan barang yang mereka butuhkan
ada di tempat saya. Alangkah kecewanya bila mereka mendapati barang yang mereka
butuhkan itu tidak ada. Mereka kecewa dan berusaha lagi yang mungkin tidak bisa
didapatkan saat mereka berjalan dua atau lima meter dari tempat saya.”
“Kalau mereka kecewa saya berdosa. Karenanya saya berusaha
mencarikan baran yang dibutuhkannya, meski keuntungan yang saya dapatkan tipis
atau tidak ada sekali karna saya mendapatkannya dari orang lain yang juga ingin
mengambil untung. Biarlah keuntungan didapat dari pembeli lainnya. Toh, rezeki
sudah digariskan oleh yang diatas.”
Dalam lingungan pasar tadisional, persaingan yang terjadi bukan antara penjual dengan penjual sebagaimana dalam perekonomian firma, melainkan antara pembeli dan penjual. Menurut Geertz (1992:33) di pasar tradisional berlaku sistem harga luncur (sliding price system) untuk membedakan antara ekonomi pasar dan ekonomi firma.
Konsep firma dalam Geertz ditandai dengan tempat permanen,
hari kerja yang penuh, harga yang agak lebih pasti sehingga jarang terjadi
tawar menawar, penyesuaian barang dengan selera kekotaan, pegawai toko yang
tetap, perencanaan berdasarkan tata buku yang sistematis dan semuanya ditujukan
untuk mencapai tujuan jangka panjang, agresif mencari pelanggan, dan
sebagainya.
Dengan sistem harga luncur, persaingan bukan antara pedagang
dengan pedagang melainkan antara pedagang yang ingin mendapat keuntungan yang
besar dengan pembeli yang ingin mendapatkan harga murah. Tak ada upaya pedagang
pasar untuk “menarik” pengunjung pasar untuk mampir ke tokonya. Di sisi lain
tak ada upaya menata barang sedemikian sehingga membuat pengunjung pasar
menghampiri kios atau lapaknya.
Dalam berbisnis ada dua prinsip yang dipegang pedagang.
Pertama, pedagang berkeyakinan bahwa rezeki sudah ada yang mengatur, berserah
saja sama yang di atas. Kedua, pedagang tidak terlalu memikirkan soal bersaing
dengan sesame pedagang. Yang berjualan sayur misalnya, jumlahnya banyak.
Tetapi, dalam pandangan pedagang, semua pedagang di pasar tersebut adalah kawan
dan teman dekat.
Yang pedagang pasar lakukan untuk menarik pengunjung hanya
menyebut barang yang dia jual. Atau sekadar menanyakan kebutuhan mereka.
Pedagang tidak terlalu berfokus dalam menarik pelanggan. Ketika ada pelanggan
yang datang menghampiri lapak atau kiosnya, pedagang bersikap ramah dalam
memperlakukan pelanggannya. Apabila pembeli datang mencari sayuran misalnya,
pedagang langsung melayani.
Agar pembeli senang, pedagang sesekali menurunkan harga
sedikit dan memberi bonus sayuran yg dibeli. Dalam aanggapan pedagang, tak ada
persaingan harga. Yang ada adalah persaingan dalam melakukan layanan.
“Sebenarnnya harga itu rata – rata di pasar ini sama aja, mungkin tergantung
dari pembeli melihat dari kebersihan atau keramahan si penjualnya,” kata Andi, 21
tahun, pedagang sayuran di Pasar Kranggan Mas Kota, Bekasi.
Sistem ini tidak memungkinkan salah satu pihak mendapat
keuntungan yang luar biasa sehingga terjadi eksploitasi keuntungan yang terlalu
besar, karena perdagangan dalam pasar tradisonal tidak memungkinkan terjadinya
monopoli.
Di pasar tradisional, tempatnya pedagang saling berdekatan
dan menjual produk yang sama. Namun demikian antara satu sama lain terdapat
tenggang rasa untuk tidak saling berebut pelanggan. Ada kebijaksanaan dan
perasaan malu bila di antara mereka terjadi persaingan berebut konsumen atau
pembeli. Mereka tidak ingin merebut pelanggan dari pedagang lainnya.
Tidak adanya persaingan diantara sesama penjual ini juga
nampak bahwa sebelum sampai ke pasar barang tersebut bisa jadi sudah berputar
di tangan beberapa bakul. Bahkan jika ada pembeli menanyakan barang yang
sebenarnya tidak dia miliki, dapat saja dia “meminjam” barang dagangan pada sesama
pedagang.
Proses “barter” ini tidak diawali dengan pertanyaan soal
harga. Tak ada tawar menawar diantara sesama pedagang. Bila laku baru diberi
sejumlah harga tertentu dengan menambahkan dengan sedikit keuntungan yang
diperolehnya. Pernah ribut? Tidak, kata Andi. Karena biasanya, harga jual
pedagang ke pedagang lain lebih rendah dari pedagang ke pembeli. “Harganya
memang berbeda dengan pembeli. Biasanya yang ditawarkan lebih murah.”
Selain itu, ada mekanisme lain yang secara tak nampak
mengatur bagaimana pedagang pasar bersang,
yakni rendahnya entry barrier
dalam pasar tradisional. Sebab bagaimana pun, sebagai lembaga ekonomi
kerakyatan, tak ada yang bisa membatasi keluar masuknya pedagang untuk
melakukan aktivitas bisnisnya di pasar.
Kemudahan masuk ke dalam bidang perdagangan ini sekaligus
dapat menjamin yang bersangkutan, bahwa tidak ada yang mengambil keuntungan
yang luar biasa (Dewey, 1992:96) karena dalam pasar tidak bisa diciptakan
monopoli atas jenis barang tertentu.
Seperti yang dikatakan Geertz (1992) kegiatan ekonomi yang
berlangsung di pasar tradisional diwarnai oleh nuansa kultural yang menekankan
pentingnya tatap muka dalam kaitan dengan hubungan personal antara penjual dan
pembeli. Hal ini ditunjukkan oleh adanya pelanggan yang loyal pada pedagang
tertentu. Deden, pedagang di Pasar Blok B Bogor misalnya memiliki pelanggan
tetap dari luar kota yang membeli produk dalam jumlah besar hampir setiap
bulan.
Adanya pelanggan di satu sisi merupakan sesuatu yang positif
karena mereka memiliki pembeli tetap sehingga merupakan satu bagian dari
jaminan kelangsungan usaha, tapi di sisi lain hal ini berdampak negatif karena
pedagang enggan untuk menambah jumlah pembelinya. Deden, misalnya, enggan untuk
membujuk pengunjung yang lewat di depan kiosnya untuk mampir atau
melihat-melihat barang dagangannya. “Saya sih paling ya di sini aja nawarin ke
pelanggan yang lewat,” katanya.
Pasar sebagai komunikasi antar budaya bisa diartikan sebagai
tempat terjadinya interaksi orang dari beragam etnis. Mereka berkumpul,
bertatap muka secara langsung, dan berinterkasi antar orang-orang yang berbeda
latar belakang etnis dan budaya. Seperti pasar di Bogor, pedagang bukan hanya
dari etnis Sunda, ada juga Jawa, Batak, Minang, Tionghoa dan sebagainya.
Keakraban mereka terjaga sehingga diantara mereka tidak
terjadi persaingan yang tidak wajar. Di pasar tradisional terdapat aturan tidak
tertulis yang menabukan pedagang satu menjelek-jelekan pedagang lainnya. Ada
keyakinan bahwa rejeki pedagang sudah ada jatahnya sehingga mereka tidak
merebut pelanggan kios lainnya. “….. misalnya meskipun toko lain lebih ramai
yang penting percaya rejeki sudah ada yang mengatur, alhamdulillah tidak pernah
ada yang berantem,” kata De.
“Bersaing, bersaing sehat tergantung hubungan kita dengan
orang daerah, tidak ada oh.. disitu barangnya bagus, gak boleh orang berdagang
berkata seperti itu. Saya berani jual 120.000/kodi sana murah pak barang kali
disitu kamu bisa beli coba, jadi kita gak boleh menjelek - jelekan yang namanya
dagang,senang silahkan gak senang diam, jangan di banding - bandingkan begitu,”
kata Bus, 42 tahun, pedagang sepatu di kios Blok B.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar