Banyak perusahaan yang mem-brand-kan komoditi beras. Tapi hanya sedikit yang mengkomunikasikan merek itu ke pasar. Padahal, tanpa komunikasi pencantuman brand itu hampir tidak ada artinya mengingat beras generik dengan kualitas bagus pun availabitity-nya sangat tinggi.
Sampai dekade 80-an orang mengenal beras hanya berdasarkan jenisnya: rojolele, pandanwangi, cianjur, citra ramos, IR-64 dan lain-lain. Pada dekade 90-an orang mulai berfikir untuk memberikan nilai tambah pada komoditas ini dan melakukan fungsi pemasaran melalui pencantuman brand seperti Ayam Jago, Oryza, Slyp, Tiga Ketupat dan lain-lain.
Beberapa merek bahkan kemudian melakukan aktivitas pemasaran yang gencar melalui promosi lini atas dan lini bawah. Ayam Jago dan Oryza, misalnya. Selain beriklan di media cetak dan elektronik, mereka melakukan edukasi kepada konsumen.
Memang, belum banyak brand beras yang melakukan kegiatan marketing secara agresif—selain membubuhkan brand sebagai jaminan kualitas—seperti Ayam Jago dan Oryza.
Padahal, tanpa komunikasi kepada konsumen, pencantuman brand hampir tidak ada artinya mengingat produk generik beras dengan kualitas yang bagus mudah diperoleh di berbagai saluran distribusi seperti pasar, toko, warung, hingga outlet modern.
“Jadi komunikasi penting untuk menyosialisasikan atribut pembeda atau diferensiasi merek ini dari brand lain atau beras generik,” kata pengamat pemasaran dari Prasetiya Mulya Business School Agus W. Soehadi.
Guru besar di bidang marketing ini menegaskan ada dua syarat utama agar branding komoditas seperti yang dilakukan para pengusaha beras itu berdampak signifikan kepada penjualan, yaitu ada atribut pembeda (diferensiasi produk) dan proses komunikasi atribut pembeda tersebut kepada target market.
Menurut catatan Tabloid Marketing, perusahaan yang mem-brand-kan beras di Indonesia pada umumnya hanya memenuhi satu diantara dua syarat tersebut, yaitu hanya menawarkan diferensiasi produk tanpa mengkomunikasikan atribut pembedanya kepada pasar.
Padahal, dalam kasus beras, atribut pembedanya nyaris seragam antara satu merek dengan merek lain., yaitu sama-sama mengklaim beras pulen dan harum. Jadi, tanpa komunikasi, brand ini tidak akan melekat erat di benak konsumen karena diferensiasinya kabur ditelan diferensiasi beras lain.
Berbeda dengan Ayam Jago yang meskipun mengusung atribut pembeda sebagai beras pulen, dia tetap aktif mengkomunikasikan diferensiasinya kepada pasar. Tetapi Sayang, manajemen Ayam Jago belum mau berbagi cerita tentang keberhasilannya mem-brand-kan komoditas beras. Padahal dia adalah satu-satunya merek beras yang berani mengkomunikasikan produknya melalui iklan di televisi.
Tapi jangan khawatir, ada Oryza yang mau berbagi cerita. Oryza memang tidak menggeber promosi lewat iklan televisi. Untuk mengkomunikasikan produknya, dia hanya beriklan di media cetak (majalah) dan radio.
Tapi istimewanya, brand ini tidak mengusung atribut pembeda pulen seperti umumnya beras. Oryza menawarkan diferensiasi sekaligus memosisikan brand-nya sebagai beras organik yang proses budidayanya ramah lingkungan, tidak menggunakan bahan kimia yang bisa mencemari lingkungan dan menyisakan dampak genetis yang tidak menguntungkan.
Menurut Manajer Pemasaran Oryza Arief Wibowo, pengolahan tanah, pengendalian hama, dan pemupukan tanaman padi cikal bakal beras oryza seluruhnya dilakukan secara organik oleh petani binaan.
Secara fisik beras organik tidak ada bedanya dengan beras lain. Tapi kalau diuji di laboratorium, jelas kandungannya berbeda. “Ini sudah dibuktikan oleh Sucofindo—salah satu perusahaan sertifikasi di Indonesia,” tutur Arief. Sebagai produk organik, Arief menjamin nasi dari beras Oryza tahan basi hingga 60 jam (di luar magic jar) dan rasanya lebih pulen. “Jadi ibarat ayam, beras ini ayam kampung,” ujarnya.
Dengan diferensiasi itu, tidak heran kalau Arief berani memasang harga tinggi untuk berasnya, rata-rata Rp 6.000 per kg untuk semua jenis (citra ramos, pandan wangi dan rojolele). Harga ini lebih mahal dibandingkan harga beras premium dari berbagai merek yang dipatok pada level Rp 4.000 hingga Rp 5.000 per kg
Dengan harga tersebut, jelas pasar yang dibidik Oryza adalah kelas A atau kalangan menengah atas. Lebih spesifik lagi Arif menunjukkan bahwa pelanggan mereka adalah kalangan berpenghasilan di atas Rp 1,5 juta per bulan yang peduli pada lingkungan—biasanya kalangan ini adalah masyarakat terpelajar yang memahami pentingnya memasyarakatkan green product.
Dengan positioning seperti itu, pasar Oryza saat ini memang tidak terlalu besar. Arief menaksir pangsanya di tanah air ini hanya sekitar 10%. Untuk mengembangkan customer based, dia berencana mengekspor Oryza ke manca negara. “Untuk itu kami sedang mengurus sertifikasi sebagai beras organik. Kalau itu sudah selesai, kami akan langsung ekspor.”
Dengan positioning seperti ini pula, kata Arief, distribusi Oryza hanya dilakukan ke outlet modern seperti Carrefour, Hero, Goro, Matahari dan Jogja Department Store di Jakarta dan sekitarnya, Bandung, Semarang, Solo, Yogyakarta, Surabaya, dan Bali.
Di luar itu, penjualan Oryza dilakukan secara door to door oleh para distributor. Dari omzet sekitar 500 ton per bulan, menurut Arief, 60% di antaranya berasal dari penjualan di gerai modern. Sisanya dari penjualan secara door to door.
Arief menyadari kegiatan marketing yang dilakukannya sejak 1997 ini terbukti bisa meningkatkan penjualannya. Sebelum menggunakan merek Oryza dan aktif melakukan aktivitas pemasaran, kata Arief, penjualan beras ini per bulannya hanya puluhan ton. Kini, setelah branded dan gencar berpromosi, omzetnya meningkat drastis hingga rata-rata 500 ton (Rp 3 miliar) per bulan.
Hebatnya lagi, dengan prestasi itu tim pemasaran Oryza yang ditangani oleh Koperasi Pertanian Nusantara ini sama sekali tidak mempunyai tenaga penjual. Pendapat pakar pemasaran Hermawan Kertajaya bahwa kalau pemasaran berjalan dengan baik, sesungguhnya tidak diperlukan tenaga penjual berlaku pada Oryza.
Menurut Arief,
Koperasi Pertanian Nusantara tidak memiliki sales force. “Outlet
modern seperti Carrefour dan Hero sudah tahu produk kami. Mereka biasanya
langsung mengirim order kepada kami. Sedangkan untuk yang door to door,
penjualannya langsung ditangani distributor,” tutur Arief.
Arief yakin komunikasi tentang kelebihan brand Oryza sangat besar andilnya dalam keberhasilan penjualan beras organik ini. Selain promosi di lini atas melalui media cetak dan radio, menurut Arief, Oryza juga aktif mengedukasi konsumen melalui program talkshow dan pendekatan langsung kepada ibu-ibu PKK dan kelompok pengajian.
Pengamat pemasaran Agus Soehadi melihat potensi pasar beras organik di Indonesia masih cukup luas. Namun untuk mengembangkan customer based di tanah air ini, menurut Agus, Oryza perlu memperbaiki komunikasinya.
Oryza, lanjutnya, harus “menerjemahkan” terminologi organik ke dalam bahasa yang lebih populer yang berhubungan langsung dengan benefit yang akan dirasakan konsumen setelah mengonsumsi beras Oryza.
“Misalnya
dikomunikasikan sebagai beras yang baik untuk kesehatan manusia,” tutur sarjana
pertanian yang kemudian menekuni dunia pemasaran ini menutup pembicaraan dengan
Tabloid Marketing. (Tabloid Marketing, 05 April 2002)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar