Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, tukang merujuk pada orang
yang mempunyai kepandaian dalam suatu pekerjaan tangan (dengan alat atau bahan
yang tertentu): -- batu, -- besi, -- kayu; Orang yang
pekerjaannya membuat (menjual, memperbaiki, dan sebagainya) sesuatu yang tentu.
Yang membedakan dengan yang lain adalah kekhasannya; indiviualistis,
kemandirian, dan inedependen. Toh seperti kata lain pada umumnya, makna dan
penggunaan kata tukang bergeser.
Dulu, pekerjaan bapak saya adalah tukang, tukang stempel.
Bukan orang yang pekerjaannya mencap surat resmi, surat berharga atau dokumen
lainnya, melainkan membuat stempel. Bahannya dari karet alami. Saya sering
diajak bapak membeli karet (bentuk lembaran) dari pabriknya yang ada di Malang.
Sementara gagang kayunya dibeli dari pengrajin dari Blitar. Saya lupa persinya.
Yang saya ingat daerah di dekat makam Bung Karno.
Alamat persisnya saya lupa. Yang saya tahu, dari awal ya belinya disitu
tak pernah berpindah. “Karetnya bagus. Jarang ledeh dan stempelnya tahan lama,”
kata bapak saya. Pernah dicoba membeli karet dari tempat lainnya, tapi hasilnya
tidak seperti yang diharapkan. Stempel cepat leleh dan pada titik tertentu,
saat produksi stempel juga sering _ledeh_.
Saya tidak tahu bagaimana sebutan tukang stempel ke bapak
saya itu muncul. Tahunya, julukan itu sangat popular melekat di Bapak. Jika ada
orang luar Gresik yang menanyakan dimana rumah Basjir (itu nama bapak saya),
orang akan bertanya, Basjir siapa? Tukang stempel? Orang akan menunjukkan
alamat rumahnya.
Dalam buku _Penjaja dan Raja: Perubahan Sosial dan
Modernisasi Ekonomi di Dua Kota Indonesia_, antropolog Amerika – Clifford Geertz,
menyebut tukang untuk pengrajin tangan. Istilah “tukang” digunakan untuk
menyebut setiap orang yang mempunyai ketrampilan kerja tertentu, apapun itu.
Jadi istilah itu bisa merujuk pada tukang jahit, tukang potong (bisa potong
rambut, tukang daging, atau yng sejenisnya), tukang masak, dan sebagainya.
Kekhasan tukang adalah mereka bekerja secara independen dan
swasembada. Tukang kayu dan tukang jahit merupakan contoh yang menunjukkan cara
kerja tukang yang individualistis itu Tukang stempel seperti bapak saya
menggunakan rumah sebagai bengkel kerjanya.
Pekerjaan membuat stempel secara manual membutuhkan ketrampilan.
Pebuatannya dimulai dari membuat cetakan berupa susunan huruf dan kata sesuai
dengan yang diinginkan pemesan. Huruf-huruf (font dan tipenya beragam) berupa
batangan kecil dan ukurannya mulai dari batang korek api hingga seukuran jari
kelingking sesuai dengan font dan tipenya. Batangan itu terbuat dari timah
hitam.
Batangan-batangan disusun dan diikat dengan karet bekas ban
dalam roda sepeda yang dipotong kecil-kecil yang kemudian atasnya disemen
dengan gips sehingga kuat dan tidak berantakan. Susunan huruf itu kemudian
dicetakkan pada hamparan gips (kapur) yang dipadatkan berukuran 15x30
sentimeter. Jadi bila ukuran stempel sekitar 7x 5 sentimeter, dalam hamparan
cetakan itu bisa dibuat 5-6 stempel. Pemadatan dilakukan dengan pemasanan.
Setelah padat, di atas gips tadi dihamparkan karet sesuai
ukuran cetakan gips. Karet harus menutupi semua permukaan gips namun tidak
boleh dalam satu potongan, ada beberapa yang harus dipotong terutama pada
permukaan yang ada cetakan bakal stempel itu. Setelah penuh baru dipres dengan
alat dan dipanaskan dengan menempatkan kompor di bawahnya. Disitulah saya paham
kenapa bapak saya disebut tukang.
Semua tugas itu dengan mudah dikerjakan sendiri. Kadang-kadang
memang ada bantuan. Kalau bapak saya yang membantu adalah anak-anaknya yang biasanya
diangggap magang. Siapa tahu bisa meneruskan usahanya. Namun, kini tak ada yang
melanjutkan usaha kerajinan stempel itu.
Situasinya memang berubah. Anak-anaknya tetap menjadi
tukang, tapi bukan tukang stempel. Begitu pula dengan istilah tukang. Istilah
tukang dapat dipergunakan untuk menyebut ketrampilan yang hampir tak terbatas.
Ironisnya, orang Jawa – seperti kata Geertz – menyebut politikus
yang korup sebagai “tukang kursi” (kursi parlemen); Tukang omong kosong untuk pembicara
yang suka ngomong bertele-tele; atau tukang main perempuan untuk seorang Don
Juan.
Pergeseran tidak berhenti sampai disitu. Bila tukang selama
itu disebut independen, swasembada dan individualistis, sekarang berubah
menjadi betergantungan, dan kolektif. Bahkan -- ketika sering wawancara dengan Ridwan Saidi -- tokoh Betawi sering itu menyebut kata "ditukangi" untuk orang yang dimanfaatkan oleh orang lain untuk kepentingan tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar