Merek-merek seperti Meta (sebelumnya Facebook), Gucci, Warner Bros., dan lainnya memperluas jangkauan fisik mereka ke dalam pengalaman virtual. Bagaimana public relations memanfaatkan peluang itu?
Apapun situasinya, praktisi public relations membutuhkan informasi tentang isu-isu publik dan berita yang relevan dengan klien mereka dan/atau industri masing-masing. Karenanya, sangat penting bagi profesional PR untuk membaca, berpengetahuan luas, dan tetap memahami pasar yang ingin dijangkau merek mereka.
Sampai awal 2000an, surat kabar dan publikasi cetak lainnya
menjadi sumber informasi yang sangat baik. Namun, karena karakteristik medianya
yang cuma bisa menginformasikan (satu arah), praktisi public relations (PR) tidak
mengetahui situasi di baliknya semisal percakapan yang terjadi di Internet
tentang merek Anda dan pesaing mereka. Mereka tidak mengetahui apakah merek
mereka dirasani positif atau negatif. Tahapan ini dikenal sebagai era PR 1.0.
Mereka membutuhkan sesuatu yang bisa memperluas pikiran –
seperti keinginan untuk mencoba strategi baru untuk memperoleh informasi
berharga, membangun hubungan, dan berinteraksi dengan cara yang tidak biasa.
Ketika internet dan sosial media masuk ke jagad media, PR tidak menyiakannya
dan PR masuk ke era baru PR 2.0
Public relations 2.0 adalah gelombang baru hubungan
masyarakat yang menggunakan elemen media sosial seperti blogging, pemasaran
viral, jejaring sosial, dan optimisasi mesin pencari untuk menyampaikan
kata-kata Anda dengan cara yang bermakna ke konsumen.
Kemudian, tahun 2005an,
PR masuk ke era ketiga. Ini terjadi ketika berkembang fasilitas unik menavigasi lingkungan yang membuat perusahaan
dan merek semakin tidak memiliki kendali. Pada era 3.0, media, terutama televisi
dan radio menjadi digital. Sebagai dampaknya, tidak ada lagi frekuensi yang
menghambat sehingga pertumbuhan media akan meningkat pesat. Dalam konteks PR, public
yang harus ditangani semakin banyak dan beragam public.
Ketika masuk era industri 4.0 yang berbasis artificial intelligent (AI)
dan era big data, teknologi robot, dan serba internet dan sosial media, PR
bertransformasi dan berkembang PR 4. Praktisi PR bisa membuat rilis, mencari
bahan dan sebagainya dengan bantuan robot misalnya.
Lanskap media sosial berubah total dan muncul pemain baru
seperti blogger, pembuat konten (content creator), conten marketing, influencer
digital, dan sebagainya secara akurat menunjukkan perubahan ini. Intinya adalah
semuanya tentang menciptakan hubungan antara audiens dan perusahaan, dan
menjaganya tetap hidup.
Paradigma PR pun berubah dengan berfokus pada gagasan
'keterlibatan' dan 'membangun hubungan' dengan pemangku kepentingan melalui
konten, bukan pada informasi itu sendiri. Persuasi yang dibicarakan Bernays di
abad ke-20 sekarang diukur dalam kaitannya dengan hubungan dengan organisasi
daripada kekuatan informasi.
Kini, apalagi saat pandemic -- publik menggunakan media
sosial, zoom, bermain video game, mengirim iMessage, dan menggunakan alat lain
untuk terhubung dengan orang lain. Pada akhirnya, ini menciptakan komunitas.
Ruang pertemuan berubah total. Aplikasi yang memfasilitas
pertemuan virtual makin banyak dan beragam. Ada obrolan VR, makin banyak perusahaan
yang menggunakan Slack atau Monday.com untuk menjaga agar karyawan mereka tetap
termotivasi, dan bahkan pengguna Clubhouse membuat grup mereka sendiri. Setiap
orang telah mengalami bagian dari metaverse karena merupakan penggabungan dari
berbagai bentuk teknologi menjadi satu.
Metaverse dapat didefinisikan sebagai ruang virtual real
time multi-pengguna di mana individu di seluruh dunia dapat terhubung melalui
jaringan, hidup berdampingan, bersosialisasi, dan bertukar nilai. Apa yang
membedakan Metaverse dengan pengalaman multipemain tradisional? Alih-alih layar
dua dimensi yang sederhana, metaverse membantu membawa opsi kolaboratif
tersebut ke tingkatan berikutnya dengan membawa pengguna ke lingkungan 3D.
Merek seperti Meta (sebelumnya Facebook), Gucci, Warner
Bros., dan lainnya telah memperluas jangkauan fisik mereka ke dalam pengalaman
virtual dengan menggunakan NFT, game—atau bahkan ketika mereka melakukan rebranding.
Meski demikian, fondasi inti PR tidak berubah. PR harus memahami
psikografis, demografi, dan geografis dari audiens target yang ingin dijangkau
klien. Dengan semakin banyaknya merek dan pengguna internet yang mulai memasuki
dunia maya, para profesional PR memiliki lebih banyak data tentang tipe
konsumen yang tertarik dengan produk atau layanan klien mereka.
Apa saja strategi yang dapat dimanfaatkan oleh para
profesional PR dengan munculnya metaverse? (BERSAMBUNG)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar