Pagi pukul 07.00 Ali Khan dan isterinya melihat seorang lelaki menjinjing sebuah kopor pamitan sama isterinya yang tengah mengandung. Persis di depan tangga pintu rumahnya, lelaki tadi mencium kening sang isteri.
Sesekali terlihat dia menyeka mata sang isteri, dan dengan saputangan yang sama menyeka hidungnya sendiri.
Mereka berpelukan lama sekali seakan tak mau melepas satu sama lain. Pelahan mereka melepas pelukannya. Lelaki itu pun masuk ke mobil yang menjemputnya. Sang isteri terus memperhatikannya saat sang suami masuk ke mobil.
Perempuan itu pun terus memandang mobil yang berjalan cepat hingga berbelok kanan saat di tikungan beberepa puluh meter di sebelah kiri rumahnya. Dia terlihat mengelus perutnya, mengangkat kedua tangannya dan masuk ke rumah.
“Mungkin dia berdo’a,” kata Ali kepada isterinya yang bediri
tepat di sampingnya. “Mudah-mudahan,….” jawab isterinya.
Ali lalu menghampiri tetangga suami isteri itu yang
kebetulan juga menyaksikan peristiwa tadi. “Suaminya berangkat ke Jakarta untuk
bekerja di Bank Indonesia,” kata tetangganya seakan mengetahui pertanyaan yang
akan diajukan Ali.
“Masyaallah..” kata Ali dan isterinya seakan bersepakat.
Ali lalu memandangi isterinya yang juga tengah mengandung tujuh bulan. Sang isteri terneyum. “Saat itu saya berdo’a, mudah-mudahan anak saya kelak bekerja di Bank Indonesia,” kata Ali kepada saya saat ngobrol di rumah makannya, Rajawali, di Jl. Ir. H. Juanda, Kamis (3 Maret 2022) lalu.
Dua puluh tiga tahun kemudian, anak pertamanya itu diterima
bekerja di Bank Indonesia. “Saya senang luar biasa. Anda bayangkan, pelamar BI
kan banyak sekali. Dan untuk masuk BI sulit. Bahkan anak teman saya yang juga
kepala Bank Indonesia gagal di test kedua. Alhamdulillah.. Do’a saya terkabul,”
katanya. Di sudut matanya terlihat setitik genangan air mata.
Ali turunan ke empat warga India yang tinggal di kota
Padang. Nenek moyang dari Hyderabad, kota
di India bagian tengah. Warga kota ini sebagian
besar menganut agama Hindu. Ada juga yang menaut Agama Islam. Jumlah warga
Muslimnya setengah dari jumlah warga Hindu. Selama ratusan tahun mereka hidup
berdampingan secara damai.
“Kakek saya masih bisa bahasa India, tapi bapak saya tidak.”
Ali memiliki empat putra putri. Yang pertama tadi yang
bekerja di Bank Indonesia. Yang kedua lelaki mengelola Restoran Rajawali, Yang tiga (putri) lulusan (lupa saya) dan bekerja
di sebuah perusahaan dan ke empat membantu sang kakak mengelola restoran
Rajawali.
Di Padang, Rajawali memiliki empat cabang. Pusatnya ya di Jl. Ir. H. Juanda tadi. Ini bukan retoran kaleng-kaleng. Setiap hari, terutama hari libur, restorannya selalu penuh. Orang bergiliran keluar masuk restoran yang luasnya sekitar 300 meter persegi itu.
Kebanyakan mereka adalah keluarga. Restoran
ini menyediakan menu yang berbeda. Ada soto Padang, cendol dan teh telua (teh telur).
Yang paling unik – menurut saya dan ini yang menjadi favorit saya – adalah menu
gado-gado.
Gado-gado Rajawali – selain teh telua – unik. “Bumbunya kami
racik langsung bila ada pesanan. Kacangnya lokal khas Minang (lupa saya
namanya, Tojin?), dan diramu dengan santan,” kata Ali. “Harus dimakan disini.
Kalau dibawa ke luar, misalnya ke rumah, rasanya sudah berbeda,” kata Ali.
Lalu berapa omsetnya? “Sehari kami menghabiskan sekitar 70-00 kg dagaing untuk soto. Bahkan kalau liburan bisa sampai 100 kg. Daging itu dipasok oleh satu penyalur yang kami percaya. Daging-daging itu kami masak sore dan malam hari, sementara bumbu-bumbu dan memasaknya pada pagi hari sebelum buka.” Restoran ini buka 07.00 hingga 14.30 setiap hari.
Pandemi? “Awal pandemi kami sempat tutup 14 hari. Selama
tutup gaji karyawan tetap dibayarkan dengan besaran 75% dari yang biasa mereka
terima. Alhadulillah, setelah buka yang datang tidak berkurang.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar