Edhy Aruman
Ketika konsultan pencarian eksekutif Susan Bishop membuka
perusahaannya sendiri di New York City, idenya tentang bagaimana agar berhasil
sudah jelas. “Rencana kami adalah mengalahkan pesaing yang lebih besar dan
mapan melalui eksekusi yang luar biasa,” jelasnya. Untuk itu, “Kami hanya menerima klien yang membutuhkan, dan kami berusaha
membuat setiap klien sebahagia mungkin.”
Bishop percaya bahwa mengutamakan kebahagiaan kliennya akan
menghasilkan kepuasan pelanggan yang lebih besar, dan selanjutnya membuat
bisnis semakin besar. Dia benar — sampai
titik tertentu. Dengan mengatakan "ya" untuk sebagian besar
permintaan, Bishop mendapati bahwa dia memiliki lebih dari cukup banyak klien.
Tetapi dia kekurangan waktu dan tenaga untuk melakukan
pekerjaannya dengan baik. Selama beberapa tahun berikutnya, dia dan tim
kecilnya melakukan pencarian dengan gaji rendah, bos yang sulit diajak
kompromi, dan di lokasi yang tidak menarik. Dia berkembang melampaui keahlian
intinya di media dan memasuki industri yang tidak dikenalnya dengan baik, seperti
layanan keuangan dan produk konsumen. Belum lagi mereka harus berjuang untuk
mendapatkan latar belakang pengetahuan yang diperlukan.
Karena usahanya yang tersebar di banyak area pelanggan,
kinerjanya menurun. Penjualan dan keuntungannya datar, bahkan dalam beberapa
tahun malah menurun. Marginnya merosot sekitar 15 persen, setengah dari
perusahaan pencarian lainnya. "Stresnya sangat mengerikan," kata
Bishop. “Saya merasa tertarik ke seratus satu arah yang berbeda.” Skor “fokus”
-nya dalam penilaian survei kami menempatkannya di 20 persen terbawah dalam
sampel 5.000 orang yang dilakukan Morten T. Hansen.
Hansen adalah profesor manajemen di University of
California, Berkeley. Selama lima tahun dia mensurvei 5.000 karyawan
perusahaan-perusahaan besar di AS. Hansen meminta responden menilai kinerja
mereka sendiri, bos mereka, atau kinerja laporan langsung mereka dan menjawab
serangkaian pertanyaan tentang kebiasaan kerja mereka.
Hasil penelitiannya, yang kemudian ditulisnya dalam buku Great
at Work: How Top Performers Do Less, Work Better (Simon & Schuster,
2018), menyimpulkan bahwa ternyata, orang-orang yang berprestasi tidaklah
bekerja lebih keras. Mereka bekerja “lebih cerdas.”
Apa itu bekerja lebih cerdas? Pertama, berhenti menyalahkan bos Anda atas kinerja Anda yang
buruk. Banyak orang mungkin berpikir bahwa mereka terkunci dalam proses kerja
yang ada dan menjadi tidak efisien karena atasan, organisasi, industri, atau
posisi mereka dalam hierarki organisasi.
Akan tetapi seperti yang ditemukan oleh penelitian Hansen,
banyak orang muda di banyak peran yang mampu mendesain ulang pekerjaan mereka
untuk menciptakan lebih banyak. Artinya, dalam situasi ketebatasan itu, banyak
juga orang bisa menjadi inovator kerja.
Hansen lalu merekomendasikan strategi yang dia sebut
"lakukan lebih sedikit, lalu terobsesi." Idenya adalah untuk
memusatkan perhatian pada beberapa prioritas utama dan membuang semua upaya
Anda ke dalamnya.
Karyawan yang menjadi responden dalam penelitian Hansen dan
bekerja dengan cara ini memiliki kinerja lebih baik, meski jumlahnya hanya 16%.
Yang menarik, Hansen menulis bahwa 24% dari semua karyawan menyalahkan
ketidakmampuan mereka untuk fokus pada kurangnya arahan atasan mereka atau
kompleksitas organisasi yang lebih luas di perusahaan mereka.
Mereka mungkin benar. Kebanyakan orang mengetahui tentang
bagaimana rasanya memiliki bos yang datang dengan membawa tugas baru setiap
jam, sehingga tidak mungkin bagi karyawan atau stafnya untuk berkonsentrasi.
Dalam konteks inilah Hansen merekomendasikan untuk
mengatakan "tidak" atau menolak setidaknya beberapa dari tugas baru
itu. Seperti Bishop, banyak orang dengan cepat mengatakan ya biola mendapat
tugas tambahan meski dia sendiri menyadari akan membuatnya tidak fokus.
Agen real estate tergoda memperluas areanya dengan untuk
mengcover satu lingkungan lagi; para insinyur menambahkan satu lagi fitur
produk; karyawan sumber daya manusia mengambil satu tugas lagi; pemasar setuju
untuk membantu koleganya dengan kampanye. Padahal, mengambil lebih banyak
tanggung jawab akan membuat mereka berada dalam situasi yang kurang
menguntungkan.
Menolak tugas yang diberikan oleh atasan memang tidak mudah.
Akan tetapi, bila hal itu dikomunikasikan dengan menunjukkan sesuatu yang lebih
baik demi kepentingan perusahaan, penolakan tentu tidak akan berakibat
negative.
Sebagai contoh, seorang konsultan manajemen junior dalam
penelitian Hansen mengatakan kepada seorang mitra di perusahaannya bahwa dia
tidak dapat menangani proyek lain jika mitra tersebut menginginkan pekerjaan
yang sangat baik. Mitranya setuju dengan gagasan konsultan tadi dan mundur.
Yang kedua adalah memaksimalkan usaha atau melakukan sesuatu
dengan tujuan untuk melakukan lebih banyak usaha, bukan lebih banyak waktu.
Salah satu kunci utama dari Great at Work adalah bahwa jumlah jam yang
digunakan bekerja tidak terlalu berpengaruh pada kinerja atau setidaknya tidak
sebanyak yang dikira banyak orang.
Bagaimana seseorang dapat lebih efektif dengan sedikit usaha? Tahukah Anda, misalnya, bahwa 20 persen
pelanggan bertanggung jawab atas 80 persen pendapatan? Bahwa 20 persen dari
waktu kita merupakan 80 persen dari pekerjaan yang kita capai? Itu yang disebut sebagai hukum Pareto 80-20.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar