Orang Amerika dikenal sebagai pemilik sikap optimistis. Coba lihat saja di banyak literature komunikasi atau pemasaran, bahkan mungkin sosiologi. Sikap ini – katanya – yang membedakan orang Amerika dengan orang-orang di negara-negara sedang berkembang atau di belahan bumi selatan.
Namun, dalam artikelnya di The Atlantic, Januari-Februari 2018, Sarah Elizabeth Adler menulis hal
yang sebaliknya. Menurut dia, terlepas dari reputasi orang Amerika yang
cenderung optimistis, berbagai penelitian justru menunjukkan sebaliknya. Hampir
tiga perempat orang dewasa AS pesimistis dengan masa depan negaranya. [1]
Apakah pertanda buruk? Bisa jadi tidak semuanya buruk.
Beberapa dekade penelitian telah menemukan bahwa berpikir positif tidak selalu
begitu positif. Dalam beberapa kasus, pesimis lebih baik daripada mereka yang
memiliki watak cerah.
Pasangan suami istri yang sangat optimistis tentang masa depan
hubungan mereka lebih mungkin mengalami kemunduran hubungan. [2] Optimisme juga
dapat dikaitkan dengan pendapatan yang lebih rendah.
Sebuah studi data dari rumah tangga Inggris menemukan bahwa
selama dua dekade, terutama wiraswasta yang optimis, memiliki penghasilan
sekitar 25 persen lebih rendah daripada mereka yang pesimistis. [3] Peneliti
National Cancer Institute menemukan bahwa orang yang mengecilkan risiko
penyakit jantung lebih mungkin menunjukkan tanda-tanda awal penyakit jantung.
[4]
Berbagai analisis mencoba menjelaskan fenomena ini. Salah
satunya adalah pemikiran, bisa jadi jadi karena pandangan yang mencerahkan (baca
positif) itu membuat orang terlalu percaya diri. Misalnya, pemilik rumah yang
meremehkan peluang mereka terpapar radon lebih kecil kemungkinannya untuk
membeli alat tes radon daripada mereka yang memiliki rasa risiko yang lebih
realistis—optimisme mereka membuat mereka rentan. [5] Radon merupakan gas yang berbahaya
bagi kesehatan karena dapat memicu kanker paru paru.
Optimisme juga bisa melahirkan kekecewaan. Dalam sebuah penelitian,
mahasiswa psikologi disurvei segera sebelum dan sesudah menerima hasil ujian.
Siswa yang mengantisipasi nilai yang lebih tinggi daripada yang mereka terima
merasa kesal setelah mengetahui nilai mereka; siswa yang meremehkan nilai
mereka (yaitu, pesimis) merasa lebih baik sesudahnya. [6]
Berpikiran negatif bisa jadi memiliki manfaat sosial. Dalam
beberapa hal, orang-orang pesimis lebih baik daripada orang-orang dengan watak
optimistis. Dibandingkan dengan suasana hati yang ceria, suasana hati yang
buruk sering dikaitkan dengan gaya komunikasi yang lebih efektif.
Demikian pula, kesedihan telah dikaitkan dengan berkurangnya
ketergantungan pada stereotip negatif. [7, 8] Penelitian menyebutkan bahwa
orang yang merasa sedih, juga bisa membuat orang berperilaku lebih adil. Orang
yang melihat klip video sedih misalnya, sebelum memainkan permainan lebih murah
hati dengan pasangannya daripada mereka yang melihat klip bahagia.
Tahun 2013, Bob Knight dan rekannya Bob Hammel menulis buku The Power of Negative Thinking: An Unconventional Approach to Achieving
Positive Results (New Harvest; 240 halaman). Di buku itu, pelatih bola basket
legendaris itu mengibaratkan sikap pesimistis itu sebagai kuda. Artinya, jika
keinginan adalah kuda, pengemis akan menungganginya.
Dalam olahraga dan kehidupan sehari-hari, kata Knight, "berpikir
negatif" akan menghasilkan hasil yang lebih positif. Sebuah kemenangan
seringkali diraih oleh tim yang membuat kesalahan paling sedikit. Gagasan ini
yang membuat Knight selalu menanamkan disiplin dengan "bersiap untuk
menang" daripada berharap untuk menang.
Hal itu berarti – dalam pelatihan – Knight berusaha memahami
sisi negatifnya dan melatih timnya untuk mencegah hal-hal yang bisa salah. Ketika
timnya menang, dia memastikan mereka tidak terpaku pada kesuksesan mereka,
tetapi langsung melihat tantangan di pertandingan berikutnya. Dia menerapkan
pelajaran ini untuk strategi bisnis juga.
Jadi bagaimana Anda bersikap agar mendapatkan hasil maksimal?
Pada 1980-an, dua peneliti Universitas Michigan menggambarkan strategi yang
mereka sebut "pesimisme defensif," di mana orang memanfaatkan kecemasan
mereka untuk kebaikan. [10]
Sepasang studi lanjutan menemukan bahwa dengan menetapkan
harapan yang rendah dan membayangkan skenario terburuk, pesimis defensif
mengoptimalkan kinerja mereka pada berbagai tugas, dari dart dan masalah
matematika untuk memenuhi tujuan kehidupan nyata. [11, 12]
Pendekatan ini mungkin berhasil sepanjang hidup seseorang
juga. Sebuah studi selama 30 tahun terhadap lebih dari 10.000 orang Jerman
menemukan, orang dewasa berusia lebih tua yang bersikap meremehkan kepuasan
masa depan, lebih kecil kemungkinan hidupnya berakhir secara tidak memuaskan daripada
mereka yang optimistis. [13]
Pesimisme defensif bukanlah strategi baru. Sekitar 2.300
tahun silam, Stoikisme atau Stoa -- aliran filsafat Yunani kuno pada awal abad
ke-3 SM – sudah mengajukan gagasan yang disebut "Premeditation of evils."
"Premeditation of evils" berarti meluangkan waktu
sejenak untuk memikirkan bahwa rencana tertentu bisa salah. Ini mungkin terdengar tia
menyenangkan, tetapi sebenarnya menenangkan. Mari kita lihat sebuah contoh.
Katakanlah Anda memulai bisnis sampingan. Anda berharap bisnis
sampingan itu akan menjadi pekerjaan penuh waktu Anda dalam beberapa tahun ke
depan. Anda bersemangat, dan yakin akan sangat sukses. Namun, kita tidak
memungkiri bahwa di benak kita, selal membayangi kekhawatiran 80% bisnis gagal
di tahun pertama.
Jadi, mungkin sudah waktunya untuk merevisi pepatah lama:
Lupakan berharap untuk yang terbaik. Sebaliknya, fokuslah pada persiapan untuk
yang terburuk.
The Studies:
[1] Jones et al., “The Divide Over
America’s Future” (Public Religion Research Institute, Oct. 2016)
[2] Neff and Geers, “Optimistic
Expectations in Early Marriage” (Journal of Personality and Social
Psychology, July 2013)
[3] Dawson et al., “The Power of
(Non) Positive Thinking” (Institute for the Study of Labor, July 2015)
[4] Ferrer et al., “Unrealistic
Optimism Is Associated With Subclinical Atherosclerosis” (Health Psychology,
Nov. 2012)
[5] Weinstein and Lyon, “Mindset,
Optimistic Bias About Personal Risk and Health-Protective Behavior” (British
Journal of Health Psychology, Nov. 1999)
[6] Sweeny and Shepperd, “The
Costs of Optimism and the Benefits of Pessimism” (Emotion, Oct. 2010)
[7] Koch et al., “Can Negative
Mood Improve Your Conversation?” (European Journal of Social Psychology,
Aug. 2013)
[8] Lambert et al., “Mood and the
Correction of Positive Versus Negative Stereotypes” (Journal of Personality
and Social Psychology, May 1997)
[9] Forgas and Tan, “Mood Effects
on Selfishness Versus Fairness” (Social Cognition, Aug. 2013)
[10] Norem and Cantor, “Defensive
Pessimism” (Journal of Personality and Social Psychology, Dec. 1986)
[11] Norem and
Illingworth, “Strategy-Dependent Effects of Reflecting on Self and Tasks” (Journal
of Personality and Social Psychology, Oct. 1993)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar