Kemarin saya bersama anak perempuan saya
nonton drama Korea di Netflix. Judulnya, Black Knight: The Man Who Guards Me.
Drakor yang dirilis pada 2017 ini dibintangi oleh Kim Rae Won, Shin Se
Kyung, Seo Ji Hye, dan Jang Mi Hee.
Selain bintangnya yang ganteng dan cantik,
settingnya – sebagaimana drakor-drakor lainnya – juga menawan. Ada daerah di
Pegunungan Alpen dan sebuah desa di Slovenia, tempat tinggal Moon Soo Ho (Kim
Rae Won), seorang pengusaha sukses yang memang tinggal di luar negeri. Bangunan
rumah berbatuan di atas bukit khas putih dengan pemandangan pantai yang eksotika
dan menarik.
Seperti film-film lainnya, cerita dalam
film itu penuh keajaiban dan khayalan. Setelah kematian orang tuanya, Soo Ho dibesarkan
oleh sahabat ayahnya. Dia tumbuh dewasa bersama putri sahabat ayahnya tadi, Jung
Hae Ra (Shin Se Kyung). Sejak orang tuanya mendadak bangkrut dan meninggal,
hidup Hae Ra menjadi sengsara. Hae Ra hidup sederhana dan bekerja di sebuah
agen perjalanan.
Cerita itu kemudian beralih dengan berbagai
keajaiban. Orang mungkin membayangkan cerita itu tidak mungkin terjadi dalam
dunianyata. Toh bagi saya ceritanya menarik. Selain didukug pemain yang ganteng
dan cantik serta setting panorama kota ang menawan, seperti Drako yang lain, ceritanya
selalu menampilkan kerja keras, intrik, bisnis kolutif yang sering bersinggungan
dengan pemerintah (bandingkan dengan sinetron Indonesia), dan konflik yang seringkali
berakhir dengan dua-dua memang tak ada yang kalah total.
Dimana khayalannya? Soo Hoo yang merasa
dikhianati oleh sahabat ayahnya itu pergi sehingga bertemu dengan seorang
perempuan misterius. Soo Ho yang hancur dan putus asa dinasehati perepuan itu,
bahwa keberuntungan besar sedang
menantinya. Soo Hoo lalu bekerja keras sehingga apa yang dikatakan perempuan
tadi menjadi nyata. Soo Ho berhasil menjadi pengusaha sukses.
Akan halnya Hae Ra, di tengah-tengah keputusasannya sebagai pekera di agen
perjalanannya, dia bermimpi mendapatkan jubah merah yang dulu ayahnya pesan
dari sebuah butik, Sharon Boutique. Jubah itulah yang mengubah nasibnya.
Diawali tiba-tiba dia dipertemukan dengan Soo Ho, keberuntungan-keberutungan
terus mengikutinya.
Masih di Asia, berbeda dengan cerita
tentang Soo Ho dan Haera yang penuh khayalan. Di dunia nyata, seperti yang
ditulis Whitney Johnson dalam buku Smart Growth: How to Grow Your People to
Grow Your Company (Harvard Business School Publishing, 2022), ada Astrid
Tuminez yang tampaknya dilahirkan dalam keadaan tak ada jalan seperti yang
dialami Soo Ho atau Hae Ra. Kodisi kehidupan Astrid, sepertinya tidak mempunyai
peluang untuk berubah.
Sebagai anak keenam dari tujuh bersaudara,
keluarganya pindah ketika dia berusia dua tahun dari desa pertanian terpencil
di Filipina ke daerah kumuh yang penuh kekerasan di ibu kota provinsi, Kota
Iloilo. Ayahnya berpenghasilan $ 50 per bulan, nilai yang orang tak bisa
bayangkan bagaimana sebuah keluarga dengan jumlah keluarga sembilan harus hidup
di daerah kota.
Ketika Tuminez berusia lima tahun, ibunya
pergi, meninggalkan saudara perempuannya yang berusia lima belas tahun, Marley.
Sebagai anak tertua, Marley, yang bertanggung jawab megurus adik-adiknya.
Mereka tinggal di gubuk berlantai bambu di atas laut. Tidak ada air mengalir,
sanitasi, atau listrik. Marley mencuci pakaian mereka dengan tangan. Mereka
memasak makanan mereka — terutama nasi — di atas tungku tanah dengan kayu.
Ketika Johnson mewawancarai Tuminez untuk
podcast Disrupt Yourself, dia mengatakan kepada Johnson, "Saya
ingat harus memasak nasi pada usia lima hingga enam tahun, dan saya takut akan
membakar gubuk kami." Pada kesempatan langka ketika mereka bisa membeli
ayam, Marley menyembelihnya sendiri dan memasaknya di atas api terbuka. Dia membuat
karamel susu kental manis untuk membuat permen bernama yema yang dijual
saudara-saudaranya di sekolah—sekali-kali sumber uang tambahan yang bagus.
Perubahan terjadi ketika para suster dari
ordo Katolik Daughters of Charity mengundang Tuminez dan saudari-saudarinya
untuk bersekolah di sekolah khusus bagi anak-anak kurang mampu. Awalnya di
kelas paling bawah, jauh di belakang siswa lain secara akademis, Tuminez
ditempatkan di kursi terakhir, di baris terakhir kelas. "Di situlah anak
paling bodoh duduk," katanya.
Tumirez bekerja keras untuk menyelesaikan
tahun ajaran pertamanya di atas kelasnya, "duduk tepat di depan." Dia
berkata, “Saya belajar membaca. Saya belajar mengerjakan angka. Saya terpapar
ke seluruh dunia pembelajaran ini.… Itu adalah dongeng.” Di perpustakaan
sekolahnya, dia mempelajari buku-buku tentang tempat-tempat yang jauh dan
eksotis seperti New York. Tuminez berani bermimpi bahwa suatu saat nanti, dia
akan tinggal di sana.
Sedikit sekali orang, jika ada (kecuali
mungkin Tuminez), akan membayangkan bahwa suatu hari dia akan lulus dari
Harvard (MA dalam studi tentang Soviet) dan MIT (PhD dalam ilmu politik),
berbicara bahasa Rusia tanpa cela, menjadi seorang eksekutif di Microsoft, dan
memimpin seorang Amerika universitas dengan lebih dari empat puluh ribu
mahasiswa—di antara prestasi luar biasa lainnya.
Johnson pertama kali bertemu Tuminez ketika
dia tinggal dan bekerja di kota yang dia impikan—New York. Dia baru saja
menyelesaikan beasiswa Sekolah Kennedy di Moskow, bekerja dengan para reformis
senior yang telah membantu meruntuhkan Tembok Berlin—orang-orang seperti Eduard
Shevardnadze dan Mikhail Gorbachev. Inilah individu yang tak kenal lelah, tak
tergoyahkan dalam tekadnya.
Johnson sempat kagum. Namun keheranannya kemudian
cepat berlalu. Meski demikian, ketika pada saru kesempatan kebetulan Johnson
bertemu dengan Tuminez di Bandara Boston beberapa tahun lalu, Johnson bertanya
pada diri sendiri, "Apa yang menghidupkan Astrid Tuminez?"
Setelah mewawancarainya secara mendalam,
sekarang saya tahu dia terdorong untuk mencapai potensinya. Ada kerinduan, dalam
Nurani yang dalam, untuk belajar dan tumbuh. Seperti Tuminez, tulis Johnson, orang
lahir ke dunia dengan praprogram untuk maju. Orang memiliki keadaan dan
keingintahuan yang berbeda, tetapi dorongan yang sama. Keinginan kuat untuk berkembang
adalah manusiawi.
Persoalannya, tulis Johnson, sisi lain kehidupan
memiliki cara meredam keinginan bawaan orang untuk belajar. Sebagian bisa dipungkiri,
orang sering mendapati dirinya mandek atau bosan di tempat kerja dan dalam
kehidupan pribadi kita. Disinilah kendalanya. Agar seseorang menjadi berkembang
dan maju, orang – seperti Hae Ra dan Tuminez -- termotivasi untuk berubah dan
membuat kemajuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar