Marketing bukan lagi tentang produk yang Anda ciptakan, tetapi tentang apa yang Anda ceritakan. Buatlah orang terkesan. Orang akan membeli sesuatu dari orang mereka sukai. – Prita Kemal Gani
Kalimat diatas saya kutip dari buku Prita Kemal Gani: 30 Tahun Sebagai Pendidik
Multi Peran menjadi Pemimpin, Tokoh Humas, Istri, dan Ibu (KPG - Kepustakaan
Pouler Gramedia, 2022). Narasi itu penting sebab bagaimana pun realitas kini
menunjukkan bahwa sebuah cerita – seperti yang dikatakan Prof Alo, guru besar dari
Universitas Nusa Cendana, Kupang – narasi atau cerita yang membentuk pemahaman
kita tentang dunia.
Cerita membuat orang lebih mudah untuk
memahami dunia, dan satu-satunya cara yang kita tahu untuk menyebarkan ide,
kata Seth Godin (2005). Apa pun yang dijual orang – apakah agama, kandidat, produk,
layanan, dan sebagainya) dibeli oleh seseorang bukan karena untuk memenuhi
kebutuhan yang sederhana, melainkan karena yang dijual itu telah menciptakan
keinginan emosional.
Premisnya adalah pemasar yang sukses tidak
berbicara tentang fitur atau bahkan manfaat. Sebaliknya, mereka bercerita.
Cerita tentang produk mereka yang memenuhi harga diri dan pandangan dunia
konsumen. “Cerita yang ingin kita percayai,” kata Godin.
Seperti diketahui, tantangan perusahaan
sepanjang kiprahnya adalah bagaimana mempertahankan pelanggan saat ini dan
menarik pelanggan baru. Grunig dan kawan-kawannya (2002) melihat lingkungan
yang dinamis seperti itu sebagai elemen penting dari public relations (PR) yang
baik.
Itu karena lingkungan yang berubah membutuhkan
perubahan pula dalam pola dan kebijakan komunikasi yang dilakukan perusahaan.
Implikasinya, keahlian dan kecakapan yang dibutuhkan juga berubah. Pada waktu
dan keadaan yang berbeda, kata Grunig, jenis keahlian tertentu lebih penting
daripada yang lain.
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan
kesuksesan organisasi—misalnya, kecakapan di bidang manufaktur selama Revolusi
Industri sangat dibutuhkan, bidang keuangan menjadi sangat penting saat era
merger dan akuisisi, pemasaran ketika merek dan perushaan baru bermunculan,
atau sumber daya manusia selama perampingan.
Secara historis,
perusahaan cenderung produk-sentris. Skala dan ruang lingkup ekonomi menjadi
pertimabngan yang sangat penting, karena keuntungan terutama merupakan cerminan
pangsa pasar. Akibatnya, perusahaan lebih berorientasi internal, dengan
perhatian mereka terfokus pada pembuatan produk unggulan daripada berorientasi
pada pembeli dan pengguna produk tersebut (Levitt 1960). Singkatnya, efisiensi
produksi memegang prioritas tertinggi.
Revolusi teknologi
informasi (TI) di bagian akhir abad ke-20 memperkenalkan peningkatan luar biasa
dalam mengumpulkan, menyimpan, menganalisis, dan mentransmisikan sejumlah besar
informasi. Perusahaan menyadari bahwa perubahan ini menghadirkan peluang besar
untuk berinvestasi di TI untuk mengelola hubungan pelanggan.
Manajemen hubungan
pelanggan (Customer Relationship
Management) menjadi kata kunci dan perusahaan mulai menginvestasikan miliaran
rupiah untuk membangun dan memperkuat perangkat lunak CRM, inisiatif pemasaran
basis data, dan infrastruktur TI untuk mendukung pemasaran berbasis teknologi.
Perusahaan-perusahaan ini termotivasi oleh kesempatan untuk membangun dan mencapai
dialog yang berkelanjutan di semua titik kontak pelanggan. Perlakuannya dipersonalisasi
pada titik paling berharga pada pelanggan.
Kini – ketika strategi bersaing makin
berfokus pada pelanggan, semakin banyak organisasi yang bergantung pada
hubungan masyarakat. Sampai beberapa tahun lalu, public relations berkembang
dengan konsep inti bercerita. Orang berusaha untuk bercerita dan berkata-kata,
orang mengasah kemampuannya untuk menyampaikan pesan yang menarik, dinikmati
oleh konsumen, pemerintah, media, dan siapa pun. Ujungnya adalah membangun
hubungan.
Kemudian media sosial tiba. Seperti ditulis
Faaez Samadi di PR Week, June 2016
silam, pada awalnya media sosial datang dengan
mengorbankan cerita yang bagus, karena orang-orang mengutamakan kecepatan interaksi
di atas makna dari interaksi itu sendiri. Untungnya tren itu, meskipun tidak
sepenuhnya hilang, kini menjadi lebih jarang. Media sosial dan cerita kini menjadi
teman tidur yang menyenangkan.
Integrasi media sosial dan cerita, ditambah
perubahan perilaku konsumen milenial, muncullah gelombang kedua, pengalaman (experiential). Dalam konteks marketing, Experiential
Marketing ada di berbagai industri. Perusahaan telah beralih dari pemasaran
"fitur-dan-manfaat" tradisional ke arah menciptakan pengalaman bagi
pelanggan mereka. Bagaimana dengan PR?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar