Komunikasi perubahan dan komunikasi
pembangunan memiliki beberapa kesamaan. Keduanya berfokus pada menghasilkan
perubahan positif dalam suatu lingkungan atau masyarakat, melibatkan individu
dan kelompok secara aktif dalam proses perubahan, dan memerlukan partisipasi
masyarakat dalam merancang dan melaksanakan program atau kebijakan.
Perbedaannya?
Tahun 2019, Christele J. Amoyan dan Pamela A. Custodio menulis artikel yang menyoroti masalah aktivitas pertambangan di Filipina dan dampaknya terhadap masyarakat terpinggirkan di wilayah tambang. Menurut mereka, kurangnya partisipasi dan pengaruh masyarakat dalam proses pengambilan keputusan berdampak pada penindasan dan ketidakadilan sosial.
Christele J. Amoyan saat ini merupakan
dosen di Departemen Komunikasi di Pamantasan ng Lungsod ng Maynila, sedangkan
Pamela A. Custodio adalah seorang peneliti dan konsultan komunikasi
pembangunan.
Dalam konteks pemberdayaan masyarakat ini, Christele
J. Amoyan dan Pamela A. Custodio mengajukan tesis tentang pentingnya komunikasi
pembangunan (DevCom) dalam memberdayakan masyarakat yang menghadapi masalah
sosial. Model komunikasinya adalah dengan menciptakan ruang dialogis untuk
mengangkat suara orang-orang yang terpinggirkan.
DevCom, menurut mereka, dapat menciptakan
ruang dialogis di mana suara yang terpinggirkan dapat didengar, dan perspektif
mereka dapat dimasukkan dalam proses pengambilan keputusan. Disini pentingnya melihat dinamika kekuasaan yang terlibat dalam kegiatan pertambangan, dan
perlunya DevCom untuk menjadikan masyarakat berpartisipati dan inklusif.
KOMUNIKASI PEMBANGUNAN
Meminjam pendapat Nora C. Quebral (2012), Amoyan
dan Custodio mendefinisikan komunikasi pembangunan (DevCom) sebagai teori
komunikasi yang berkembang dari disiplin akademik di Asia Tenggara. Tujuan
akhir DevCom adalah memberdayakan individu dan komunitas untuk mewujudkan
potensi penuh mereka. Sejak kelahirannya pada tahun 1950-an, DevCom awalnya
bertindak sebagai komunikator agenda pedesaan dan pertanian. Namun, teori ini
terus berkembang dan mulai terlibat dalam wacana sosial-ekonomi, serta
berkembang seiring dengan era baru teknologi informasi dan komunikasi.
Ketika mengangkat masalah terpinggirkannya
penambang di Filipina, Amoyan dan Custodio menyoroti perlunya diskusi yang
bukan hanya membahas DevCom dalam konteks teoritis, melainkan pada tindakan
praktis yang dapat meningkatkan komunitas dan menciptakan perubahan sosial.
Secara keseluruhan, penulis membuat argumen yang meyakinkan tentang potensi Nora C. Quebral untuk menciptakan praktik pembangunan yang lebih adil dan berkelanjutan.
Berdialog dalam konteks komunikasi
pembangunan (DevCom) sangat penting untuk memberdayakan individu dan komunitas
yang terpinggirkan, termasuk dalam konteks aktivitas pertambangan. Berdialog
dapat menciptakan ruang dialogis di mana suara-suara yang terpinggirkan dapat
didengar dan perspektif mereka dapat dimasukkan dalam proses pengambilan
keputusan.
Dalam konteks pertambangan, berdialog
penting untuk mengatasi dinamika kekuasaan yang terlibat dalam aktivitas
pertambangan, dan DevCom harus menjadi partisipatif dan inklusif dalam
memasukkan suara dan perspektif yang beragam. Lebih jauh, berdialog tidak hanya
berbicara mengenai teori, tetapi juga harus fokus pada tindakan konkret yang
dapat meningkatkan masyarakat dan menciptakan perubahan sosial yang berkelanjutan.
Gagasan tersebut memiliki makna bahwa aspek
yang lebih kritis dari DevCom tidaklah murni teoretis. Sebagai komunikator
untuk perubahan sosial, DevCom berkonsentrasi pada penerapan teori ke dalam
tindakan yang sungguh-sungguh yang akan mengangkat orang dari segala bentuk
kemiskinan.
Konsep komunikasi pembangunan terus
berkembang dan mulai terlibat dalam wacana sosial-ekonomi, serta berkembang dengan
era baru teknologi informasi dan komunikasi. Dalam prakteknya, DevCom
menggunakan pendekatan pengembangan yang berbeda dan menempatkan orang di pusat
transformasi sosial dengan kapasitas manusia kolektif mereka, dari perspektif
pembangunan pedesaan terpadu.
Pertanyaan penting yang mereka ajukan
adalah bagaimana DevCom dapat membantu mengatasi situasi konflik sosial di
negara-negara berkembang, dan memberi suara kepada mayoritas populasi yang
terpinggirkan dalam dialog, terutama ketika perhatian terpusat di kabupaten dan
kota perkotaan.
Namun, sebelum itu, Amoyan dan Custodio
menyarankan untuk mengkritik pertanyaan Quebral tentang "Bagaimana memberi
suara kepada yang tidak bersuara?" Mengutip Freire (1985), ketiadaan suara
bukan berarti ketiadaan tanggapan. Sebaliknya, proposisi ini menyampaikan pesan
bahwa ketiadaan suara sebagai bentuk dari kurangnya konten kritis dari mereka
yang menderita ketidakadilan (Freire, 1985).
Dalam pandangan Freire, "kurangnya
konten kritis" merujuk pada ketidakmampuan seseorang untuk secara kritis
menganalisis situasi sosial dan politik di sekitarnya, serta kesadaran akan
hak-hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara yang aktif.
Dalam konteks Filipina seperti yan
ditunjukkan Amoyan dan Custodio (2019), individu atau kelompok yang menderita
ketidakadilan kurang memiliki pengetahuan atau kesadaran tentang hak-hak mereka
dan kurang mampu mengartikulasikan perspektif mereka secara kritis. Mereka kurang
berpartisipasi dalam proses dialog dan pengambilan keputusan yang mempengaruhi
hidup mereka. Disinilah perlunya memperkuat suara mereka agar dapat terlibat
secara aktif dalam perubahan sosial dan pembangunan yang lebih adil.
DIALOG
Dalam konteks dialog sebagai model
komunikasi, ada persamaan dan sekaligus perbedaan antara komunikasi perubahan
dan komunikasi pembangun. Persamaan pandangan antara komunikasi pembangunan dan
komunikasi perubahan, keduanya mendorong partisipasi aktif individu atau
kelompok yang terlibat dalam perubahan.
Dalam konteks pembangunan maupun perubahan,
dialog dianggap penting untuk menciptakan ruang bagi individu atau kelompok
yang terpinggirkan untuk menyuarakan perspektif mereka. Keduanya juga mendorong
keterlibatan partisipatif dan inklusif dari seluruh pihak yang terlibat dalam
perubahan untuk mencapai hasil yang lebih baik dan lebih berkelanjutan.
Persamaan lainnya antara
komunikasi pembangunan dan komunikasi perubahan adalah pada fokus keduanya
dalam membawa perubahan pada individu, kelompok, dan masyarakat secara
keseluruhan. Kedua disiplin ini juga memperhatikan aspek partisipatif dan
inklusif dalam proses perubahan.
Namun, perbedaan
mendasar antara keduanya terletak pada tujuan akhirnya. Tujuan akhir dari
komunikasi pembangunan adalah memberdayakan individu dan komunitas untuk
mencapai potensi penuh mereka dan membangun masyarakat yang lebih baik dan
berkelanjutan. Sementara tujuan akhir dari komunikasi perubahan adalah
mempengaruhi perubahan perilaku, sikap, dan pandangan individu atau kelompok
tertentu dalam konteks organisasi atau perusahaan.
Selain itu, dalam
praktiknya, komunikasi pembangunan lebih sering digunakan dalam konteks
pembangunan sosial, ekonomi, dan politik, sementara komunikasi perubahan lebih
sering digunakan dalam konteks perubahan organisasi atau perusahaan. Komunikasi
perubahan cenderung lebih terfokus pada peningkatan efisiensi dan produktivitas
organisasi, sedangkan komunikasi pembangunan cenderung lebih terfokus pada
peningkatan kualitas hidup masyarakat secara keseluruhan.
Dalam hal strategi,
komunikasi pembangunan cenderung lebih mengutamakan strategi partisipatif dan
pemberdayaan masyarakat, sementara komunikasi perubahan cenderung lebih
mengutamakan strategi top-down dan menggunakan otoritas untuk mempengaruhi
perubahan.
REFERENSI
Amoyan, C. J., & Custodio, P. A.
(2019). Development Communication and the Dialogic Space: Finding the Voices Under the Mines. In M. J. Dutta
& D. B. Zapata (Eds.), Communicating for Social Change: Meaning, Power, and Resistance (pp.
71-87). Palgrave Macmillan.
Freire, P. (1985). The politics of
education: Culture, power, and liberation. South Hadley, MA.: Bergin & Garvey.
Librero, F. (2005). Status and trends in
development communication research in the Philippines. Media Asia, 32(1), 35–38
Quebral, N. C. (2012). Development
communication primer. Penang, MY: Southbound Sdn. Bhd.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar