Tahun 2017, aktris Hollywood, Alyssa Milano, mengajukan tagar #MeToo di Twitter untuk memberikan dukungan kepada korban pelecehan seksual. Gerakan ini kemudian menyebar ke seluruh dunia dan melibatkan jutaan orang yang membagikan pengalaman mereka terkait pelecehan seksual melalui media sosial dan kampanye publik.
Milano adalah seorang aktris, produser, dan
aktivis asal Amerika Serikat. Ia dikenal atas perannya dalam sejumlah film dan
serial televisi, seperti "Who's the Boss?", "Charmed", dan
"Melrose Place". Sebagai seorang aktris Hollywood yang dikenal luas, Milano
memiliki posisi sosial yang relatif tinggi dalam masyarakat dan industri
hiburan. Sebagai seorang publik figur, ia memiliki pengaruh yang cukup besar
terhadap penggemar dan pengikutnya di media sosial.
Beberapa tokoh terkenal seperti Ashley Judd, dan Taylor Swift telah menjadi bagian dari gerakan ini
dengan menceritakan pengalaman mereka terkait pelecehan seksual yang mereka
alami. Ashley Judd misalnya, menceritakan pengalamannya terkait pelecehan
seksual yang dilakukan oleh produser film Harvey Weinstein. Sementara Taylor
Swift menceritakan pengalamannya terkait pelecehan seksual yang dialami saat
berpose untuk foto bersama seorang DJ.
Selain mereka, beerapa artis juga pernah
mengalami pelecehan dan mereka berani berbagi pengalaman mereka. Rose McGowan menceritakan
pengalamannya terkait pelecehan seksual yang dilakukan oleh Harvey Weinstein
dan berperan penting dalam mengangkat isu ini ke permukaan. Ada lagi, Asia
Argento -aktris Italia - yang menceritakan pengalamannya terkait pelecehan
seksual yang dilakukan oleh Harvey Weinstein, dan Kesha (penyanyi) yang
menceritakan pengalamannya terkait pelecehan seksual yang dilakukan oleh
produser musik Dr. Luke.
Rose McGowan adalah seorang aktris,
penulis, dan aktivis asal Amerika Serikat. Ia terkenal dalam perannya dalam
beberapa film seperti "Scream", "Jawbreaker", dan
"Grindhouse". Ia juga dikenal sebagai salah satu korban pelecehan
seksual oleh produser film Harvey Weinstein.
Setelah mengungkapkan pengalamannya, ia
menjadi salah satu penggiat utama dalam gerakan #MeToo dan berperan penting
dalam mengangkat isu pelecehan seksual di industri hiburan dan mendorong
perubahan dalam budaya kerja yang lebih aman dan adil. McGowan juga merupakan
penulis buku otobiografi yang berjudul "Brave" yang menceritakan
pengalamannya dalam industri film dan perjuangannya sebagai aktivis.
Para korban pelecehan
seksual ini secara ternag-terangan menunjukkan dampak yang telah mereka rasakan.
Ini memberikan peluang bagi mereka untuk mendapatkan dukungan dan simpati dari
masyarakat, dan sekaligus memperkuat gerakan #MeToo sebagai sebuah gerakan
sosial. Para korban membagikan kisah-kisah mereka melalui media sosial dan
berbagai media lainnya, yang membantu membangun kesadaran tentang masalah ini
dan mendorong tindakan.
Fenomena ini
memberikan petunjuk bahwa -- dalam gerakan #MeToo -- storytelling menjadi alat
yang sangat penting untuk memperkuat sebuah Gerakan. Banyaknya korban pelecehan
seksual yang berani berbicara dan membagikan pengalaman mereka dengan cara yang
sangat emosional dan mendalam. Ini memungkinkan orang lain memahami betapa
pentingnya isu tersebut.
Storytelling dalam
gerakan #MeToo juga membantu memperjuangkan perubahan dalam hukum, kebijakan
organisasi, dan budaya seksual yang lebih aman dan adil. Dengan memperlihatkan
dampak nyata dari pelecehan seksual dan kebutuhan untuk perubahan, storytelling
dalam gerakan #MeToo membantu mengubah pandangan masyarakat tentang isu ini dan
memperjuangkan tindakan nyata untuk memerangi pelecehan seksual.
Gerakan #MeToo adalah
contoh yang sangat kuat dari bagaimana gerakan pengalaman dan storytelling
dapat digunakan untuk menciptakan perubahan sosial dan membantu orang untuk
terlibat secara aktif dalam isu-isu penting yang mempengaruhi kehidupan mereka.
Storytelling dapat menjadi alat yang sangat efektif dalam menciptakan perubahan
sosial dan membantu orang untuk terlibat secara aktif dalam isu-isu penting
yang mempengaruhi kehidupan mereka.
Tahun 2017, Cojuharenco
dan Patient menulis artikel Journal of Management. Artikel ini mmbahas tentang bagaimana
storytelling dapat mempengaruhi orang lain, baik secara individual maupun
kelompok. Menurut mereka, ada empat empat elemen penting dalam storytelling,
yakni konten, kredibilitas, emosi, dan koneksi.
Konten mengacu pada
apa yang diceritakan dan bagaimana ceritanya disusun. Kredibilitas mengacu pada
kepercayaan orang terhadap narator atau sumber cerita. Emosi terkait dengan
bagaimana cerita dapat memengaruhi emosi orang dan koneksi terkait dengan
bagaimana cerita dapat membentuk hubungan dan koneksi antara narator dan
pendengar.
Dalam pandangan Tufte (2017),
Gerakan #MeToo menggunakan elemen-elemen dramaturgi, seperti cerita (naratif),
karakter, dan adegan, untuk menciptakan pesan dan aksi yang efektif dalam
mencapai tujuan perubahan sosial. Konsep ini mengacu pada cara komunikasi dan
tindakan yang dapat diorganisir dan dipersiapkan untuk menciptakan perubahan
sosial yang diinginkan.
Tahun 1959, Irving
Goffmann menulis buku "The Presentation of Self in Everyday Life"
yang membahas tentang konsep dramaturgi dalam kehidupan sehari-hari. Goffman
menganggap kehidupan sosial sebagai panggung di mana setiap individu memainkan
peran yang berbeda-beda. Seperti seorang aktor, setiap orang mempersiapkan diri
dan mempresentasikan dirinya secara berbeda tergantung pada situasi dan orang
yang ada di sekitarnya.
Buku ini membahas
bagaimana individu memanipulasi citra dirinya dan menciptakan "kesan"
tertentu dalam interaksi sosial mereka. Goffman menjelaskan bahwa kesan yang
dihasilkan dari interaksi sosial adalah hasil dari upaya individu untuk
mempresentasikan diri sesuai dengan apa yang diharapkan oleh orang lain dan
konteks sosial yang ada.
Goffman juga membahas
tentang peran kelas sosial dalam mempengaruhi cara individu mempresentasikan
diri. Dia menunjukkan bahwa individu dari kelas sosial yang berbeda dapat
memainkan peran yang berbeda dalam interaksi sosial, dan citra diri mereka akan
dipengaruhi oleh identitas sosial mereka.
Dalam konteks Gerakan
#MeToo, Tufte (2017) membandingkan gerakan sosial dengan drama, di mana ada
elemen-elemen penting yang harus dipertimbangkan agar aksi dan pesan dapat
disampaikan secara efektif. Seperti dalam drama, gerakan sosial harus
mempertimbangkan beberapa elemen penting, termasuk cerita (naratif), karakter,
dan adegan, untuk menciptakan sebuah "dramaturgy" atau tatacara drama
yang efektif untuk mencapai tujuan gerakan sosial.
Cerita (naratif) dalam
dramaturgy of social change merujuk pada cara pesan atau informasi disampaikan
dalam gerakan sosial. Pesan tersebut harus disusun sedemikian rupa sehingga
dapat mempengaruhi pandangan masyarakat dan memicu tindakan yang diinginkan.
Karakter dalam
dramaturgy of social change merujuk pada siapa yang terlibat dalam gerakan
sosial dan bagaimana karakter tersebut dipersepsikan oleh masyarakat. Karakter
yang kuat dan konsisten dapat membantu membangun dukungan dan mengubah
pandangan masyarakat terhadap isu sosial.
Adegan dalam
dramaturgy of social change merujuk pada lingkungan dan konteks di mana gerakan
sosial berlangsung. Lingkungan ini dapat mempengaruhi cara pesan dan tindakan
diinterpretasikan oleh masyarakat.
Dengan memperhatikan
elemen-elemen ini, dramaturgy of social change dapat membantu gerakan
sosial untuk menciptakan pesan dan aksi yang efektif untuk mencapai tujuan
perubahan sosial yang diinginkan.
REFERENSI
Cojuharenco, I., &
Patient, D. (2017). Storytelling and social influence: A literature review,
theoretical framework, and
agenda for future research. Journal of Management, 43(1), 166-195.
Goffman, I. (1959).
The presentation of self in everyday life. Anchor Books.
Tufte, T. (2017).
Dramaturgy of social change: The #MeToo movement. In T. Tacchi & T. Tufte
(Eds.), Communicating for change:
Concepts to think with (pp. 67-80). ANU Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar