Awal tahun 1980 Apple mencapai puncak kesuksesannya dengan produk-produk inovatif seperti Apple I dan Apple II. Steve Jobs, bersama dengan Steve Wozniak dan Tim Cook, berhasil menciptakan sebuah perusahaan yang merubah cara komputer pribadi secara revolusioner.
Namun, seiring
berjalannya waktu, kepemimpinan Jobs mulai menimbulkan ketegangan dalam
perusahaan. Jobs dikenal karena sikapnya yang keras kepala dan seringkali
merasa bahwa visinya adalah satu-satunya yang benar.
Pada saat itu, John
Sculley, seorang eksekutif dari PepsiCo, diundang untuk menjadi CEO Apple,
dengan harapan bahwa dia bisa membantu mengelola perusahaan yang semakin
kompleks.
Pertentangan antara
Jobs dan Sculley segera muncul. Mereka memiliki pandangan yang berbeda mengenai
arah strategis perusahaan. Jobs ingin fokus pada inovasi dan produk yang mahal,
sementara Sculley lebih memilih pendekatan yang lebih konvensional dan mengutamakan
keuntungan jangka pendek.
Pendekatan Jobs yang
didorong oleh kepercayaan pada visinya sendiri, kadang-kadang terwujud sebagai
sikap mengabaikan ide dan kontribusi orang lain. Ini akhirnya menyebabkan
ketegangan dalam perusahaan, terutama dengan Sculley.
Ketegangan ini
mencapai puncaknya ketika Jobs mencoba menggulingkan Sculley dari posisinya
sebagai CEO. Namun, upayanya gagal, dan pada tanggal 31 Mei 1985, dalam sebuah
rapat dewan yang dramatis, Steve Jobs dipecat dari perusahaan yang dia dirikan
sendiri.
"Saya pikir kita semua perlu
berhati-hati terhadap arrogansi arrogansiyang selalu mengintip ketika kita
berhasil,” katanya dalam sebuah wawancara tahun 2003.
“Saya dipecat dari
Apple saat berusia 30 tahun dan diundang untuk kembali 12 tahun kemudian. Jadi
itu sulit saat itu terjadi, tetapi mungkin itu adalah hal terbaik yang pernah
terjadi pada saya."
Meskipun pemecatan
tersebut tampaknya merupakan akhir dari karier Jobs, itu sebenarnya adalah awal
dari babak baru dalam hidupnya. Setelah dipecat, dia mendirikan perusahaan
komputer lain yang disebut NeXT.
Perusahaan ini
berfokus pada komputer workstation canggih untuk keperluan pendidikan dan
bisnis. Selain itu, Jobs juga mengakuisisi Pixar Animation Studios, yang
kemudian menghasilkan film-film sukses seperti "Toy Story."
Perjalanan Jobs selama
masa di luar Apple mengajarkannya banyak pelajaran berharga. Dia belajar
tentang kerendahan hati, manajemen yang lebih baik, dan pentingnya kolaborasi.
Pada akhirnya, NeXT dan Pixar mengalami sukses, dan Jobs menjadi seorang miliarder
sekali lagi.
Pada tahun 1996, Apple
sedang mengalami kesulitan dan memutuskan untuk mengakuisisi NeXT. Steve Jobs
kembali ke Apple sebagai penasehat dan akhirnya mengambil alih perusahaan
tersebut sebagai CEO pada tahun 1997. Kembalinya Jobs ke Apple menandai awal dari
periode renaissance untuk perusahaan tersebut. Dia memimpin Apple meluncurkan
produk-produk inovatif seperti iMac, iPod, iPhone, dan iPad, yang mengubah
industri teknologi dan mengembalikan Apple ke puncak kesuksesan.
Arrogansi sering kali
merupakan hasil sampingan kesuksesan. Ketika seseorang atau organisasi mencapai
puncak prestasi, cenderung merasa puas dan terlalu percaya diri. Ini
menciptakan lingkungan di mana masukan penting dan perspektif baru sering
diabaikan, karena keyakinan bahwa apa yang berhasil sebelumnya akan selalu
berhasil di masa depan. Namun, pandangan ini berbahaya dan seringkali keliru.
Pertama, arrogansimenghambat
pembelajaran dan adaptasi. Di dunia yang terus berubah, kunci kesuksesan adalah
kemampuan untuk terus belajar dan beradaptasi dengan perubahan. Arrogansimenciptakan
dinding di mana umpan balik negatif sering diabaikan atau dianggap tidak
relevan. Hal ini mengakibatkan kesulitan dalam mengidentifikasi kesalahan dan
peluang untuk perbaikan.
Tanpa kemampuan untuk
belajar dari kesalahan, pertumbuhan menjadi terhambat dan peluang untuk inovasi
hilang.
Kedua, arrogansidapat
merusak hubungan dan kerjasama. Dalam tim atau organisasi, sikap sombong dari
seorang pemimpin atau anggota kunci dapat menciptakan ketidakpuasan dan konflik
internal.
Ini dapat menghambat
komunikasi yang efektif dan kerjasama, yang keduanya krusial untuk keberhasilan
jangka panjang. Dalam dunia bisnis yang semakin terhubung dan bergantung pada
kerjasama, kemampuan untuk bekerja sama dengan orang lain adalah esensial.
Ketiga, arrogansi mendorong
ketidaksetujuan terhadap perubahan. Dalam konteks bisnis dan teknologi,
perubahan adalah kenyataan. Perusahaan yang tidak mampu beradaptasi dengan
perubahan pasar, teknologi, dan preferensi konsumen dengan cepat akan
tertinggal.
Sikap sombong yang
meremehkan kebutuhan untuk berubah atau berinovasi dapat menyebabkan kesalahan
strategis yang mahal. Ini adalah pelajaran yang sudah terbukti berulang kali
dalam sejarah bisnis, di mana perusahaan besar jatuh karena ketidakmampuan mereka
untuk beradaptasi dengan perubahan.
Arrogansi menghambat
kemampuan memimpin dengan efektif. Pemimpin yang sombong sering kali tidak
mampu menginspirasi atau memotivasi tim mereka. Mereka mungkin gagal mengakui
kontribusi tim dan kurangnya empati bisa menciptakan lingkungan kerja yang
tidak menyenangkan.
Sebaliknya, pemimpin
yang rendah hati, yang menyadari bahwa mereka tidak selalu memiliki semua
jawaban dan terbuka untuk belajar dari orang lain, cenderung lebih berhasil
dalam memotivasi tim mereka menuju kesuksesan.
Kisah Steve Jobs
adalah contoh nyata bagaimana kesombongan dapat berdampak pada karier
seseorang, bahkan seorang visioner sekalipun. Meskipun Jobs memiliki visi yang
luar biasa dan mencapai kesuksesan besar dengan Apple, ketidakmampuannya untuk
berkolaborasi dan merespons masukan orang lain menyebabkan konflik internal
yang akhirnya mengarah pada pemecatannya.
Namun, Jobs juga
menunjukkan bahwa orang dapat belajar dari kesalahan mereka dan tumbuh sebagai
individu. Pengalaman di luar Apple membentuk ulang cara dia berinteraksi dan
memimpin, dan ketika dia kembali ke perusahaan, dia menjadi lebih terbuka
terhadap kolaborasi dan memahami pentingnya kerendahan hati.
Dalam dunia yang terus
berubah, kemampuan untuk belajar, beradaptasi, dan berkolaborasi adalah kunci
untuk pertumbuhan dan kemajuan yang berkelanjutan. Oleh karena itu, penting
untuk selalu menjaga diri dari kesombongan dan tetap terbuka terhadap pembelajaran
serta ide-ide orang lain. Kesombongan bukanlah tanda keberhasilan, melainkan
penghalang potensial terbesar bagi pertumbuhan kita sebagai individu dan
organisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar