Minggu, 08 Desember 2024

GEN-AI DALAM PENELITIAN: ETIKA ATAU EFISIENSI?


Generative AI mengubah cara peneliti bekerja, tetapi di balik kemudahannya, ada batasan etika yang menjadi bom waktu. Bagaimana jika artikel ditolak karena deteksi AI?

Beberapa hari lalu, saat Anne Gregory, Professor of Corporate Communication  Huddersfield University, sharing tentang penulisan jurnal di Research Center LSPR of Communications & Business Institute, saya sempat menanyakan soal penggunaan Generative Artificial Intelligence (GenAI) dalam penulisan di jurnal. Jawaban Anne, tergantung pada jurnalnya. Maksudnya ada jurnal yang menuntut tidak ada sama sekali penggunaan AI dalam penulisan, ada juga yang membolehkan.

Dalam konteks memboleh ini, Anne Gregory mengatakan bahwa ada kebutuhan untuk mengumukan bahwa penelitian dan penulisannya laporan yang dikirim ke jurnal itui menggunakan bantuan AI.

Dalam diskusi di komunitas peminat ilmu perilaku konsumen beberapa bulan lalu, saya juga sempat menanyakan hal setrupa kepada Prof. Fandy Tjiptono. Saat itu, komunitas tersdebut mendiskusikan soal toipik-topik terkini dalam penelitian perilaku konsumen. Jawaban Prof Fandy juga seperti yang disampaikan Anne Gregory.

Pengalaman saya dan teman-teman saat mengirimkan artikel untuk sebuah jurnal, artikel kami ditolak karena penggunaan AI (deteksi Turnitin) melebihi 25 %. Kami disarankan untuk menurunkan besaran penggunaan Ainya lebih lebih rendah 25%.

Yang saya alami dengan penolakan artikel karena deteksi AI yang tinggi menunjukkan salah satu tantangan nyata dalam penggunaan teknologi AI, termasuk dalam konteks penelitian kualitatif. Hal ini mencerminkan pentingnya memahami batasan dan ekspektasi yang diterapkan oleh institusi akademik dan penerbit jurnal terkait dengan etika penggunaan AI.

Kendala semacam ini tidak hanya menyoroti perlunya penyesuaian penggunaan GenAI untuk memenuhi standar akademik, tetapi juga menekankan urgensi untuk mengeksplorasi dan mengembangkan praktik yang etis dan transparan.

Namun, harus diakui potensi GenAI dalam mendukung berbagai aspek penelitian kualitatif tetap signifikan jika diterapkan secara bijaksana dan bertanggung jawab.

GenAI menawarkan peluang besar dalam meningkatkan kualitas penelitian kualitatif dengan berfungsi sebagai co-author, platform percakapan, pendidik, dan asisten peneliti. Namun, penerapan GenAI memunculkan tantangan etika yang harus diperhatikan, seperti privasi data, transparansi, serta keadilan dalam proses penelitian.

Dalam konteks ini, etika menjadi landasan penting untuk memastikan penggunaan GenAI dilakukan secara bertanggung jawab dan sesuai dengan prinsip-prinsip moral, terutama dalam melindungi kerahasiaan data, memperoleh persetujuan partisipan, dan menghindari potensi bahaya bagi subjek penelitian (Vianello et al., 2023).

Penggunaan GenAI dalam penelitian kualitatif memerlukan kejelasan dan keterbukaan, termasuk pengungkapan bahwa hasil penelitian sebagian dihasilkan dengan bantuan alat ini. Selain itu, penting untuk mempertimbangkan bias bawaan dalam data pelatihan GenAI, yang dapat memengaruhi hasil analisis.

Bias ini, seperti yang dijelaskan oleh Anis & French (2023), dapat menyebabkan hasil yang tidak akurat atau tidak adil jika tidak ditangani dengan baik. Oleh karena itu, transparansi dalam penggunaan GenAI dan pengakuan keterbatasannya menjadi aspek penting dalam menjaga validitas dan reliabilitas penelitian.

Di sisi lain, Elali & Rachid (2023) menunjukkan bahwa GenAI dapat digunakan untuk fabrikasi dan plagiarisme dalam publikasi ilmiah, yang mengancam integritas penelitian. Mereka mengusulkan peningkatan proses tinjauan sejawat yang lebih transparan dan pengembangan pedoman etika untuk mengatasi tantangan ini.

Sementara itu, Marshall & Naff (2023) menyoroti bahwa meskipun GenAI dapat memperkenalkan metode baru dalam pengumpulan dan analisis data, penggunaannya juga membawa risiko etika yang besar.

Dalam penggunaan GenAI, kontrol interpretasi tetap berada di tangan peneliti manusia. Peneliti harus tetap menjaga nilai dan asumsi mereka dalam proses interpretasi untuk memastikan hasil yang bermakna dan etis.

Dalam banyak kasus, alat ini berfungsi untuk meningkatkan kemampuan peneliti, bukan untuk menggantikannya. GenAI harus dipandang sebagai instrumen yang mendukung, bukan sebagai entitas otonom dalam penelitian kualitatif.

REFERENSI

Anis, S., & French, J. A. (2023). Efficient, explicatory, and equitable: Why qualitative researchers should embrace AI, but cautiously. Business & Society, 62(6), 1139–1144. https://doi.org/10.1177/00076503231163286

Elali, F. R., & Rachid, L. N. (2023). AI-generated research paper fabrication and plagiarism in the scientific community. Patterns, 4(3), 1–4. https://doi.org/10.1016/j.patter.2023.100706

Marshall, D. T., & Naff, D. B. (2023). The ethics of using artificial intelligence in qualitative research. https://doi.org/10.31235/osf.io/3rnbh

Vianello, A., Laine, S., & Tuomi, E. (2023). Improving trustworthiness of AI solutions: A qualitative approach to support ethically grounded AI design. International Journal of Human-Computer Interaction, 39(1), 1405–1422. https://doi.org/10.1080/10447318.2022.2095478